Perjuangan umat manusia melawan kanker telah ada sejak waktu yang sangat lama, bahkan mungkin tidak tercatat dalam sejarah dimulai sejak kapan kita terus dihadapkan pada masalah kesehatan yang sangat krusial ini. Hingga saat ini penyakit ini menjadi momok kesehatan karena secara umum dikenal sifat penyakit ini yang sulit untuk disembuhkan atau dibalikkan proses kerusakannya. Berikut ini kami sampaikan beberapa teknik penyembuhan kanker yang terbukti secara ilmiah telah memberikan hasil yang cukup menjanjikan.
Selama ini, penanganan kedokteran konvensional untuk kanker biasanya adalah mencakup antara lain pembedahan, kemoterapi, dan terapi radiasi. Meskipun akhirnya muncul beragam pilihan pengobatan dan usaha penyembuhan diluar kedokteran konvensional, dari yang berlatarbelakang tradisional maupun alternatif, belum terdapat pengobatan yang secara obyektif ilmiah terbukti membasmi kanker secara tuntas. Kami berusaha menemukan teknik terapi yang diduga memiliki bukti terkuat baik dari jurnal, artikel, riset ilmiah maupun pemberitaan yang luas dan semaksimal mungkin berprinsip pada evidence-based. Dua metode yang akan kami kemukakan adalah yang pertama mengenai CAR T-Cell Therapy dan yang kedua adalah metode dengan memutus supply makanan sel kanker dengan restriksi gula dan pemberian antagonis glutamin. Meskipun hanya dua metode yang kami bahas namun tidak tertutup kemungkinan akan kami perbaharui artikel ini dengan menambahkan pengobatan-pengobatan terbaru yang lebih efektif dan/atau lebih cost efficient.
Selama ini, penanganan kedokteran konvensional untuk kanker biasanya adalah mencakup antara lain pembedahan, kemoterapi, dan terapi radiasi. Meskipun akhirnya muncul beragam pilihan pengobatan dan usaha penyembuhan diluar kedokteran konvensional, dari yang berlatarbelakang tradisional maupun alternatif, belum terdapat pengobatan yang secara obyektif ilmiah terbukti membasmi kanker secara tuntas. Kami berusaha menemukan teknik terapi yang diduga memiliki bukti terkuat baik dari jurnal, artikel, riset ilmiah maupun pemberitaan yang luas dan semaksimal mungkin berprinsip pada evidence-based. Dua metode yang akan kami kemukakan adalah yang pertama mengenai CAR T-Cell Therapy dan yang kedua adalah metode dengan memutus supply makanan sel kanker dengan restriksi gula dan pemberian antagonis glutamin. Meskipun hanya dua metode yang kami bahas namun tidak tertutup kemungkinan akan kami perbaharui artikel ini dengan menambahkan pengobatan-pengobatan terbaru yang lebih efektif dan/atau lebih cost efficient.
Update Juni 2022 : Pada akhir bulan Mei 2022, Sebuah uji coba skala kecil suatu obat yang bernama Dostarlimab, yang dilaksanakan terhadap sekelompok penderita karsinoma rektal di kota New York, menunjukkan hasil yang sangat menjanjikan.(Sumber) Uji coba ini dilakukan terhadap 18 penderita kanker kolorektal , dengan hasil 100% tidak ditemukan sisa karsinoma melalui pemindaian MRI pada pasien-pasien tersebut. Sebelumnya, diketahui Dostarlimab, yang dijual dengan nama merek Jemperli, adalah sebuah antibodi monoklonal yang digunakan sebagai obat untuk pengobatan kanker endometrium. Dostarlimab adalah antibody monoclonal yang memblokir reseptor kematian terprogram-1 / program death receptor 1 (PD-1). Pada prinsipnya obat ini adalah salah satu kelas obat yang mencegah kerja PD-1, yang merupakan reseptor yang berperan seperti pengatur fungsi kerja kekebalan tubuh seperti contohnya ya regulasi T-cell. Ini adalah obat imunoterapi yang bekerja bukan dengan menyerang kanker itu sendiri secara langsung, tetapi sebenarnya membuat sistem kekebalan tubuh seseorang pada dasarnya melakukan pekerjaan tersebut. Ini adalah obat-obatan yang telah ada di melanoma dan kanker lainnya seperti kanker endometrial untuk waktu yang cukup lama, tetapi benar-benar belum menjadi bagian dari perawatan rutin kanker kolorektal sampai baru-baru ini saja, setelah disetujui untuk dilakukan penelitian mismatch repair deficient (dMMR) pada tumor solid maupun stadium lanjut. Kejadian ini merupakan momen yang membuat kita semua optimistic sembari tetap kita menunggu uji coba dalam skala yang lebih besar dengan perkembangan klnis berkala selanjutnya.
Update Juli 2019 : Vaksin SurVaxM menunjukkan potensi sangat menjanjikan sebagai salah satu bentuk penanganan untuk penyintas kanker khususnya penderita glioblastoma, dokter Robert Fenstermaker and dokter Michael Ciesielski dari Roswell Park Comprehensive Cancer Center menemukan bahwa SurVaxM (SVN53-67/M57-KLH, MimiVax) yang mereka kembangkan, mampu menargetkan survivin, sebuah antigen spesifik tumor yang ditemukan secara universal pada pasien glioblastoma. Survivin pada pasien glioblastoma merupakan pertanda prognostik buruk, dan semakin sedikit jumlahnya semakin baik untuk pasien. Hasil penelitian terkini dilakukan dan disajikan oleh dokter Manmeet Ahluwalia, dari Miller Family Endowed Chair in NeuroOncology di Cleveland Clinic, dalam presentasi podium selama sebuah pertemuan. Para peneliti dari Beth Israel Deaconess Medical Center, Dana-Farber Cancer Institute / Sekolah Kedokteran Harvard dan Rumah Sakit Umum Massachusetts juga berkontribusi dalam penelitian ini. Enam puluh tiga pasien dengan glioblastoma yang baru didiagnosis, diobati dengan perawatan standar yang ditambah SurVaxM sebagai bagian dari uji coba fase II ini. Studi ini mengungkapkan bahwa: - Kombinasi pengobatan ini ditoleransi dengan baik. Efek samping yang diamati umumnya ringan, tanpa toksisitas yang membatasi rejimen yang disebabkan oleh SurVaxM.
- 96,7% pasien tidak mengalami perkembangan penyakit dalam enam bulan pertama setelah memulai kombinasi pengobatan ini.
- 94,2% dari peserta penelitian masih hidup satu tahun setelah diagnosis mereka, berbeda dengan 65% dari pasien dalam kelompok perbandingan dengan riwayat sama lainnya.
Kami akan terus mengikuti perkembangan penerapan vaksin SurVaxM ini dan implentasinya baik dalam fase-fase pengujian berikutnya maupun saat mulai dikenalkan ke publik yang lebih luas.
Selama puluhan tahun, dasar penanganan kanker diantaranya adalah dengan melakukan kemoterapi, terapi radiasi, maupun pembedahan. Pada dua dekade terakhir muncul terapi baru berupa terapi tertarget seperti dengan pemberian imatinib dan trastuzumab, obat yang menarget sel kanker dengan mengincar perubahan molekuler spesifik yang sering muncul pada sel-sel kanker tersebut, juga menjadi terapi pilihan baru untuk berbagai kanker.
Namun selama beberapa tahun belakangan ini, imunoterapi, terapi yang memanfaatkan dan memperkuat sistem imun pasien untuk menyerang tumor muncul sebagai, yang mulai dikenal di kalangan komunitas kanker dengan julukan “pilar kelima” penanganan kanker.
Pendekatan imunoterapi yang sedang mendapat banyak perhatian dikenal dengan adoptive cell transfer (ACT): mengumpulkan dan menggunakan sel imun pasien itu sendiri dan menggunakannya untuk mengobati kanker. Terdapat beberapa tipe ACT, seperti TILs (Tumor Infiltrating Lymphocytes), TCRs (T-Cell Reseptors) dan CARs (Chimeric Antigen Receptors), namun sejauh ini salah satu tipe yang perkembangannya paling maju adalah CAR T-cell Therapy, atau terapi sel T dengan reseptor antigen chimeric.
Sejak beberapa waktu lalu, penerapan terapi CAR T-cell hanya terbatas pada uji coba di klinik-klinik, sebagian besar pada pasien kanker darah lanjut. Meski demikian pengobatan ini mengundang perhatian para peneliti dan masyarakat umum dikarenakan hasil yang luar biasa pada beberapa pasien, baik dewasa dan anak, yang mana pada pasien tersebut pengobatan jenis lain tidak banyak membantu.
Pada tahun 2017, dua kasus terapi CAR T-cell disetujui oleh lembaga the Food and Drug Administration (FDA) dari amerika, satu untuk pengobatan leukemia limfoblastik akut / acute lymphoblastic leukemia (ALL) dan yang satu lagi untuk limfoma tahap lanjut. Walaupun terdapat kesuksesan untuk kanker hematopoetik demikian, para peneliti tetap memperingatkan, bahwa dalam banyak hal, masih terdapat dalam tahap awal untuk terapi CAR T-cell ini dan terapi ACT lainnya, termasuk pertanyaan mengenai apakah terapi-terapi ini akan efektif untuk tumor solid seperti pada kanker payudara dan kanker kolorektal.
“Bentuk lain ACT sedang dikembangkan” demikian diungkapkan Steven Rosenberg, M.D., Ph.D., kepala bagian bedah dari NCI’s Center for Cancer Research (CCR), seorang pelopor imunoterapi yang dimana laboratoriumnya adalah yang pertama melaporkan pengobatan sukses kanker dengan terapi CAR T-cell.
Setelah puluhan tahun melalui penelitian yang melelahkan, bidang ini telah mencapai masa puncak, lanjut dikatakan dr. Rosenberg. Dalam beberapa tahun belakangan ini, perkembangan terapi CAR sel-T dan pendekatan ACT lainnya telah mengalami percepatan, dengan para peneliti mengembangkan suatu pemahaman yang lebih baik akan bagaimana terapi ini bekerja pada pasien dan mengaplikasikan pengetahuan tersebut dengan melakukan perbaikan mengenai arah pengembangan dan pengujian selanjutnya.
Dalam beberapa tahun kedepan, saya pikir kita akan melihat kemajuan drastis dan melampaui batasan-batasan masa lalu dari bayangan orang-orang akan kemungkinan yang dapat tercapai dari pengobatan berbasis adoptive cell transfer ini, lanjut dikatakan oleh dr.Rosenberg.
Apa itu Car T-cell therapy?
Definisi
Car T cell therapy adalah suatu jenis imunoterapi yang memodifikasi dan memberdayakan sel T dari seorang pasien untuk membunuh dan membasmi sel kanker pada tubuh pasien tersebut.
Sebelumnya mari kita ulas kembali dengan istilah sederhana mengenai prinsip-prinsip dibelakang metode ini.
Sistem imun adalah pertahanan tubuh dalam menghadapi hal-hal seperti infeksi dan kanker. Ia terdiri dari miliaran sel yang terbagi menjadi berbagai jenis tipe yang berbeda.
Limfosit, salah satu jenis dari sel darah putih, merupakan suatu bagian yang besar dari sistem imun. Terdapat tiga jenis limfosit:
- Limfosit B (sel B) yang bertugas membuat antibodi untuk melawan infeksi
- Limfosit T (sel T), memiliki beberapa fungsi, diantaranya membantu limfosit B untuk membuat antibody untuk melawan infeksi, dan secara langsung membunuh sel-sel yang terinfeksi di dalam tubuh
- Sel natural killer (NK) yang juga bertugas menyerang sel terinfeksi dan membasmi virus
- Adalah suatu jenis pengobatan yang memanfaatkan sistem imun dari pasien itu sendiri untuk melawan suatu penyakit, dalam hal ini adalah kanker
- Meningkatkan kemampuan tubuh untuk mendeteksi dan membunuh sel kanker
- Berdasarkan konsep bahwa sel imun atau antibodi dapat mengenali dan membasmi sel kanker
Sel-sel imunitas atau antibodi dapat diproduksi di laboratorium dibawah kondisi dengan pengendalian ketat dan kemudian diberikan kepada pasien dalam upaya untuk mencoba menyembuhkan kanker. Banyak jenis immunoterapi yang telah disetujui baik untuk diterapkan maupun untuk percobaan klinis untuk menentukan efektifitas dalam pengobatan beragam jenis kanker.
Cara kerja CAR T-Cell therapy
- Sel T diambil dari pasien. Sel T pasien diambil melalui cara aferesis (apheresis), yaitu sebuah prosedur dimana darah diambil dari tubuh dan kemudian satu atau lebih komponen darah (seperti trombosit, plasme atau sel darah putih) dipisahkan. Kemudian kelak nanti komponen yang tersisa dikembalikan lagi ke dalam tubuh.
- Sel T dimodifikasi di dalam laboratorium. Sel T tadi kemudian dikirim ke laboratorium atau suatu fasilitas pembuatan obat dimana kemudian akan direkayasa secara genetis, dengan mengenalkan DNA tertentu, untuk memproduksi Chimeric Antigen Receptor (CAR) pada permukaan sel-sel tersebut.
- Setelah modifikasi ini, sel T menjadi “sel T chimeric antigen receptors”.(sel T CAR/CAR T-cells) CAR ini adalah protein yang membuat sel T mampu mengenali suatu antigen pada sel tumor target.
- CAR T-cell hasil rekayasa kemudian digandakan. Jumlah sel T pasien yang telah dimodifikasi secara genetis ditambah dengan pertumbuhan penggandaan sel dalam laboratorium. Ketika jumlah yang dikehendaki tercapai, sel T CAR ini kemudian dibekukan dan dikirim ke rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan dimana pasien tersebut sedang menjalani pengobatan.
- Sel T CAR yang beku kemudian dicairkan dan dimasukkan ke tubuh pasien. Pada rumah sakit atau tempat layanan kesehatan, kebanyakan pasien diberikan satu atau beberapa agen kemoterapi yang dinamakan “lymphodepletion” sebelum diberikan infusi yang berisi Sel T CAR. CAR T cells/ Sel CAR T yang telah dikembalikan ke aliran darah pasien kemudian memperbanyak diri atau mengalami multiplikasi sehingga jumlahnya meningkat. Para sel “penyerang” ini kemudian akan mengenali, dan menyerang sel yang memiliki antigen target pada permukaannya.
- Sel T CAR dapat mencegah timbulnya rekurensi. Sel T CAR dapat membasmi seluruh sel kanker dan dapat tetap berada di dalam tubuh berbulan-bulan setelah infuse (pemasukan ke dalam tubuh) dilakukan. Terapi ini menghasilkan remisi jangka oanjang untuk beberapa tipe kanker darah.
Efek samping terapi Sel-T CAR
Cytokine-Release Syndrome (CRS). Efek samping yang berpotensi serius ini seringkali dikaitkan dengan terapi Sel-T CAR. Sitokin / cytokine (pembawa pesan kimia yang membantu sel T melaksanakan berbagai fungsinya) diproduksi ketika Sel-T CAR menggandakan diri di dalam tubuh dan membasmi sel kanker. Gejala CRS dapat beragam dari gejala mirip flu diantaranya mual, kelelahan, nyeri kepala, demam hingga gejala lebih serius, seperti tekanan darah rendah, takikardia (detak jantung yang tak normal), kebocoran kapiler (cairan dan proten bocor dari pembuluh darah kecil dan mengalir menuju jaringan tubuh, yang mengakibatkan tekanan darah sangat rendah), cardiac arrest, cardiac arrhythmia, gagal jantung, hemofagositik limfohistiositosis / hemophagocytic lymphohistiocytosis (immunodefisiensi yang mengancam jiwa), sindrom aktifasi makrofag/ macrophage activation syndrome (MAS/HLH) (komplikasi fatal dari penyakit rematik), hipoksia (kurangnya oksigen mencapai jaringan tubuh), insufisiensi renal (fungsi yang rendah dari ginjal), oksigenasi paru yang rendah, dan kegagalan multi organ. CRS parah memerlukan perawatan intensif. Beberapa pasien juga dapat merasakan gejala neurologis (lihat toksisitas neurologis di bawah).
Tergantung dari kondisi pasien dan Sel-T CAR, CRS dapat terjadi dalam 1 hingga 21 hari setelah infusi Sel-T CAR tersebut. Durasi CRS beragam dan tergantung dari jenis intervensi untuk mengatasinya, biasanya dapat teratasi dalam 1 hingga 2 minggu setelah penanganan.
Toksisitas Neurologis. Frekuensi, keparahan dan sifat efek neurologis beragam antara produk CAR T-cell yang berbeda. Gejala yang dapat ditemukan diantaranya adalah gangguan berbicara (afasia), kebingungan, delirium, kedutan otot involunter, halusinasi, atau berkurangnya respons. Kejang juga pernah dilaporkan.
Neurotoksisitas dalam kebanyakan kasus adalah reversibel dan gejala dapat menghilang setelah beberapa hari tanpa penanganan atau efek jangka panjang. Namun dapat juga terjadi efek samping merugikan neurologis yang fatal. Penyebab neurotoksisitas dalam bidang ini sedang diteliti dan dicari tau oleh para peneliti.
Aplasia Sel B. Terapi Sel-T CAR yang menargetkan antigen yang ditemukan pada permukaan sel B bukan hanya menghancurkan sel B yang mengalami kanker tetapi juga dapat menghancurkan sel B yang normal. Sehingga aplasia sel B (Jumlah sel B yang menurun atau hilang sama sekali) adalah salah satu efek yang diperkirakan dari pengobatan Sel-T CAR spesifik-CD19 yang sukses dan digunakan sebagai indikator dalam aktivitas Sel-T CAR selanjutnya. Efek ini mengakibatkan berkurangnya kemampuan untuk membuat antibodi untuk melindungi tubuh terhadap infeksi. Terapi immunoglobulin pengganti secara intravena atau subkutan dapat diberikan untuk tujuan pencegahan infeksi. Penelitian jangka panjang perlu dilakukan untuk menilai efek lama dari terjadinya aplasia sel B.
Tumor Lysis Syndrome (TLS). Efek samping lainnya dari CAR T-cell therapy / terapi Sel-T CAR yang diketahui adalah sindrom lisis tumor atau TLS, sekelompok komplikasi metabolik yang dapat terjadi karena proses hancurnya sel yang mati (lisis)- biasanya terjadi pada saat onset pengobatan kanker. Namun demikian, TLS juga dapat terjadi secara tertunda setelah satu bulan atau lebih dari CAR T-cell therapy. TLS dapat mengakibatkan kerusakan organ dan dapat menjadi komplikasi yang mengancam jiwa, yang mana merupakan komplikasi pengobatan apapun yang menyebabkan hancurnya sel kanker , termasuk terapi sel-T CAR. Komplikasi ini dapat ditangani dengan terapi suportif.
Reaksi Anafilaksis (Reaksi alergi yang dapat fatal). Terdapat suatu kemungkinan pada pasien yang melakukan terapi sel-T CAR untuk mengalami respon imun yang hebat terhadap CAR itu sendiri yang dinamakan anafilaksis. Gejala yang berkaitan dengan anafilaksis diantaranya distress pernafasan, tekanan darah rendah, pembengkakan pada daerah muka, dan urtikaria (biduran). Terdapat beberapa laporan terjadinya reaksi anafilaksis akut. Pengawasan dan penanganan segera dari efek samping yang dapat mengancam jiwa sangat penting pada pasien yang menerma terapi Sel-T CAR.
Hasil dan penerapan CAR T-cell therapy
Hasil awal dari ujicoba CAR T-cell therapy telah menghasilkan hasil yang cukup memuaskan pada pasien dengan kanker darah :
Acute lymphoblastic leukemia (ALL)
CAR T-cell dengan jenis yang dinamakan 19-28z, telah menunjukkan aktifitas menjanjikan pada pasien dewasa dengan leukemia limfoblastik akut (ALL) sel B yang persisten terhadap terapi lainnya, pada sebuah uji coba klinis yang dilaporkan oleh the New England Journal of Medicine. Produk ini dikembangkan di the Memorial Sloan Kettering (MSK) Cancer Center, New York.
Para peneliti MSK melaporkan bahwa pengobatan dengan satu infus CAR sel-T 19-28z menghasilkan angka remisi yang cukup tinggi, 44 dari 54 pasien (83%) mengalami remisi total. Yang membedakan penelitian ini dengan yang lainnya adalah bahwa penelitian ini mengikuti (follow up) pasien sampai selama lima setengah tahun. Hasil ini menawarkan wawasan mengenai apa saja manfaat yang dapat diambil dari terapi ini, ungkap para peneliti.
“Ini adalah studi follow-up terlama pada orang-orang dengan ALL yang menjalani pengobatan terapi CAR” demikian dikatakan dr. Jae Park, seorang onkologis dari MSK kepada Medscape Medical News . “Ini mengkonfirmasikan keunggulan sel-T CAR sebagai terapi kanker yang efektif pada dewasa dengan ALL, dan pasien dengan beban penyakit berat maupun ringan menunjukkan remisi yang segera”, lanjutnya.
Dengan persetujuan FDA dari tisagenlecleucel (KymriahTM), terapi sel-T CAR menjadi pilihan pengobatan komersial pasien leukemia limfoblastik akut (ALL) sel B yang mengalami relaps setelah kemoterapi intensif atau transplantasi stem sel. Pada beberapa penelitian, sampai dengan sembilan puluh persen orang dewasa dan anak dengan leukemia limfoblastik akut sel B yang berulangkali relaps, atau tidak memberikan respons terhadap terapi standar, mecapai remisi setelah menerima terapi sel-T CAR. Relaps mungkin dapat terjadi dikarenakan sel tumor kehilangan ekspresi dari antigen CD19, persistensi yang terbatas dari sel-T CAR, atau inhibisi dari aktifitas sel-T CAR.
Multiple myeloma
Pada desember 2017, hasil terkini dari terapi CAR yang menargetkan BCMA (B-cell Maturation antigen) dipresentasikan pada pertemuan tahunan the 2017 American Society of Hematology. Penelitian ini melihat bb2121 (Celgene) pada pasien multiple mieloma yang relaps atau tidak mengalami kemajuan dengan terapi lainnya. Diantara 21 pasien, satu kali infuse bb2121 menghasilkan angka respons sebesar 86%. Pada 18 pasien yang menerima infusi dosis tinggi sel-T CAR, angka respons meningkat menjadi 94%, dengan 10 pasien tercapai respons total.
Kanker darah lainnya
Studi dari terapi sel-T CAR pada kanker darah lainna, termasuk chronic lymphocytic leukemia (CLL), begitu juga acute myeloid leukemia (AML) menunjuk potensi besar. Penelitian juga sedang berjalan untuk mengeksplorasi penerapan terapi sel-T CAR untuk pengobatan tumor solid.
Walaupun banyak data yang muncul akan adanya respon positif dari terapi sel-T CAR (CAR T-cell therapy), kebanyakan pasien yang berpartisipasi dalam berbagai ujicoba klinis ini diikuti dalam jangka waktu yang relatif singkat . Mengikuti ujicoba ini dalam jangka waktu yang lama akan menyediakan informasi tambahan akan respon yang terjadi dalam periode panjang. Hal ini penting untuk penerapan yang luas baik pasien anak maupun dewasa. Pengambilan sampel studi yang lebih besar, yang dievaluasi dalam jangka waktu yang lebih lama akan mampu membantu para peneliti untuk lebih memahami dampak terapi jenis ini, cara untuk mengurangi toksisitas dan memperbaiki manajemen dari efek samping yang merugikan.
B. MEMBUAT SEL KANKER MATI KELAPARAN
Salah satu modalitas pengobatan kanker lainnya adalah melalui pendekatan dengan cara memandang kanker sebagai suatu kelainan metabolik. Pendekatan ini berdasarkan penelitian Thomas Seyfried, seorang dosen neurogenetika, neurokimia, dan bidang onkologi, di universitas Yale dan Boston College. Prinsip dasar dari pendekatan ini adalah bahwa proses kanker menargetkan mitokondria dari setiap sel yang terpengaruh, dengan mengubah kondisi bioenergetik dan biosintetik mitokondria (Sumber). Berbeda dengan sel normal yang mendapatkan energi dari respirasi secara aerob (fosforilasi oksidatif), pada dasarnya sel kanker berfungsi secara anaerobik (tanpa oksigen), sehingga dapat dikatakan sel kanker lebih mengandalkan fermentasi ketimbang respirasi (oksigen) untuk memperoleh energi. Dua bahan bakar utama yang digunakan oleh sel kanker adalah glukosa dan glutamine, pada penelusuran selanjutnya dikatakan estradiol juga berpengaruh namun signifikansinya masih belum diketahui.
Pendekatan ilmiah selama ini terhadap kanker umumnya pada dunia kedokteran dan biologi patologi konvensional adalah pendekatan kausalitas genetik dan mutasi. Pada prinsip pendekatan ini kanker diduga terjadi karena karsinogen atau onkogen seperti virus, radiasi dan lain-lain menyebabkan mutasi dan mutasi inilah yang akhirnya pada prosesnya akan mengakibatkan pertumbuhan sel yang tidak terkontrol. Namun dalam proses ini ternyata kerusakan atau modifikasi selalu terjadi pada mitokondria, organel sel yang dibutuhkan untuk respirasi. Pada awalnya karsinogen memasuki mitokondria sel dan mengakibatkan terbentuknya ROS (reactive oxygen species) yaitu gabungan karsinogen dan mutagen. Lebih lanjut mitokondria yang sudah mengalami perubahan ini juga akan menghasilkan ROS, yang kemudian akan mengakibatkan mutasi. Jadi menurut teori ini, mutasi merupakan akibat dari kerusakan yang ditimbulkan karsinogen pada mitokondria dan proses respirasi sel, bukan penyebab kanker.
Bila dirangkum, beberapa langkah yang dapat diambil untuk mematikan sel kanker dengan cara memotong bahan bakar yang mereka gunakan untuk menghasilkan energi:
- Diet ketogenik, yaitu mengkonsumsi sumber makanan yang tidak mengandung refined carbohydrates seperti nasi, roti, mie, pasta dan lain-lain. Stop konsumsi glukosa dalam diet. Sumber bahan makanan utama dari sayuran, daging, lemak sehat seperti alpukat dan telur, serta sedikit buah-buahan. Dengan keadaan ketosis bahan bakar tubuh dari sel yang sehat beralih dari glukosa ke keton, sedangkan sel kanker tidak dapat hidup atau memperoleh energi dari benda keton (Referensi)
- Dapat dibantu dengan intermittent fasting, karena ditemukan intermittent fasting dapat meningkatkan proses autophagy (autofagi) sel-sel tubuh dan berbagai manfaat lainnya (Referensi). Puasa intermitten adalah makan pada jendela makan tertentu misalnya dalam 24 jam sehari, 8 jam orang tersebut diperbolehkan makan, dan kemudian 16 jam dia berpuasa. Pada saat berpuasa dia diperbolehkan minum minuman yang tidak berkalori seperti air putih dan teh tanpa gula. Jumlah jam disesuaikan dengan individu masing-masing.
- Dikarenakan glutamin terdapat dalam hampir semua makanan yang kita konsumsi, dapat kita hentikan atau kurangi asupan glutamin semaksimal mungkin dengan pemberian Antagonis / analog glutamin (DON) 6-Diazo-5-oxo-L-norleucine (Referensi 1, Referensi 2) atau suplementasi lainnya seperti ekstrak teh hijau yang mengandung EGCG (Epigallocatechin gallate), penelitian lain menunjukkan chloroquine juga dapat memberikan efek yang serupa namun masih harus ditelusuri
Penerapan terapi dari Thomas Seyfried ini telah menunjukkan hasil yang cukup prospektif, dengan keberhasilan berbagai kasus baik di sentra pelayanan medis di Amerika maupun di negara lain seperti Turki dan Venezuela. Sebenarnya terapi ini merupakan pengembangan dari penemuan yang dilakukan oleh Otto Warburg pada tahun 1920an, namun pada saat itu Warburg baru menemukan dan menyimpulkan bahwa deprivasi glukosa dapat menyebabkan kematian sel kanker, beliau belum menemukan bahwa fermentasi glutamin juga dapat dimanfaatkan oleh sel kanker untuk hidup, sehingga yang sebenarnya hanya kekurangan ini, dicap sebagai pendekatan yang salah oleh beberapa kalangan akademisi dan ilmuwan. Temuan lain yang cukup menarik dari Thomas Seyfried adalah mengenai inflammatory oncotaxis, yaitu teori bahwa salah satu penyebab metastasis atau bertambahnya keganasan dari suatu tumor adalah karena rangsangan pada tumor itu, biasanya lebih sering karena rangsangan sentuhan dari upaya pengobatan kanker itu sendiri, misalnya dengan biopsi. Proses metastasis sendiri diduga merupakan respon imun dari peristiwa tersebut dan sel kanker yang mengalami metastasis dibawa oleh makrofag yang telah bermutasi dan menjadi hibrida dengan sel kanker. Walaupun penemuan terapi ini sangat menjanjikan, agar pengobatan dengan pendekatan metabolik ini benar-benar tuntas, salah satu contoh kendala lain yang harus ditangani adalah mengenai sel kanker dapat juga memperoleh bahan bakar energi dari sel yang mati dari proses fagositosis yang dilakukan makrofag yang telah mengalami perubahan itu, sehingga target selanjutnya adalah mengincar lisosom dari sel kanker agar mereka tidak dapat mencerna, misalnya dengan pemberian antasida dan lain sebagainya. Hal-hal seperti ini mengindikasikan pendekatan dengan terapi metabolik seperti ini perlu terus ditelusuri dan dikembangkan agar celah-celah kesalahan yang dapat ditargetkan oleh kalangan akademisi dan industri pengobatan dapat tertangani dan kemudian akan dipertimbangkan secara serius sebagai salah satu pilihan terapi andalan.
Catatan untuk pertimbangan dan kesimpulan
Bila kita perhatikan, dalam beberapa dekade belakangan ini banyak pihak dari berbagai kalangan masing-masing telah menawarkan dan memberikan klaim atas kesuksesannya dalam upaya penyembuhan kanker. Hingga saat ini belum ditentukan gold standard definitif dan tuntas untuk memberantas karsinoma. Dari kalangan ilmuwan sampai awam umum hingga jalur alternatif maupun tradisional pernah mengklaim modalitas atau metode tertentu yang konon telah menunjukkan hasil, dari terapi sediaan sintetik pabrik maupun ramuan dari tradisional, herbal, tanaman, tumbuhan hingga berbagai cara yang dilakukan terhadap fisik tubuh langsung. Beberapa penemuan menjanjikan seperti amygdalin yang secara kurang tepat disebut sebagai suatu vitamin yaitu vitamin B17, yang berasal dari ekstrak biji buah aprikot (apricot), maupun senyawa EBC-46 yang berasal tumbuhan Fontainea picrosperma atau blushwood tree, yang tumbuh hanya di suatu daerah di Austalia, bahkan yang terbaru tanaman bajakah dari palangkaraya dan kalimantan patut dan boleh kita nantikan dengan optimisme namun juga penuh kewaspadaan dan ketelitian dengan bukti ilmiah dalam penerapan, keamanan, maupun hasil dari penemuan-penemuan ini. Kita hendaknya tetap terus cermat dan tetap mempelajari dengan seksama segala klaim yang kita pernah dengar atau pernah ditawarkan dan tidak langsung percaya sepenuhnya. Kedua modalitas yang dibahas di atas, menurut pandangan dan pendapat subyektif kami hingga saat artikel ini ditulis, merupakan dua metode dengan nilai tertinggi dalam hal perpaduan antara faktor paling didukung berdasarkan data dan metode ilmiah, serta faktor menunjukkan hasil yang paling menjanjikan. Kedua metode di atas baik oleh kami maupun para pencipta dan pengusungnya tidak menjanjikan kesembuhan seratus persen bagi penderita kanker, karena karsinoma adalah keadaan yang cukup rumit dan berbeda untuk setiap individu, dan kriteria bebas kanker sepenuhnya cukup sumir. Namun setidaknya kedua metode di atas menurut kami berdasarkan data, adalah metode yang paling dapat membantu dalam manajemen gejala dari penyakit kanker dalam jangka waktu panjang dan meningkatkan angka harapan hidup.
Kedua metode yang dibahas pun amat berbeda bila dilihat dari aspek-aspek tertentu. Keduanya sangat berbeda dari segi biaya, kepraktisan, sarana dan prasarana yang diperlukan serta hal lain sebagainya. CAR T-Cell Therapy atau terapi sel-T CAR sebagaimana layaknya imunoterapi terkini lainnya, menggunakan peralatan tercanggih baik instrumentasi maupun fasilitas yang diperlukan, hal ini tentu saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit, kisaran pengobatan ini dapat menelan biaya hingga ratusan ribu US dolar atau bila dirupiahkan mencapai puluhan milyar rupiah. Pun demikian pengobatan ini memerlukan fasilitas dan alat yang belum banyak ada di dunia, hanya beberapa di negara maju saja. Sedangkan modalitas yang kedua (pendekatan metabolik) dapat dikatakan adalah kebalikan dari metode imunoterapi bila dilihat dari segi ini karena biaya dan peralatan yang dibutuhkan relatif lebih murah dan sederhana. Karena kedua metode ini boleh dikatakan terhitung baru, secara umum efek samping jangka pendek maupun jangka panjang belum sepenuhnya dibakukan. Apabila berhubungan dengan sistem imun maka adalah wajar bila kita memikirkan segala aspek merugikan misalnya aspek autoimunitas atau kelainan autoimun maupun efek merugikan lainnya secara hematopoetik dan sistemik. Pun demikian dengan pendekatan metabolik kita juga belum mengetahui pengaruh panjangnya terhadap homeostasis tubuh secara sistemik maupun regional organ. Namun dengan menimbang tingginya angka kematian manusia di dunia akibat keganasan, kita seolah diburu oleh waktu untuk menemukan titik temu antara pengobatan dengan hasil terbaik walau tidak sempurna, efek negatif paling minimal, biaya yang reasonable untuk umum, dan acceptancy oleh kalangan akademisi, praktisi dan industri pengobatan global.