Demam berdarah dengue merupakan penyakit tropis infeksius yang masih sangat relevan dalam upaya pencarian solusinya, baik dalam hal pencegahan maupun penatalaksanaan. Salah satu terobosan terkini dalam hal pencegahannya adalah mengembangkan nyamuk yang dimasuki bakteri Wolbachia, metode ini berguna baik untuk mengurangi jumlah nyamuk aedes aegypti sebagai vektor maupun fokus dan manfaat yang lebih besar yang diperoleh yaitu menghentikan transmisi virus dengue kepada manusia.
Berikut gambaran sederhana cara kerja metode ini :
Berikut gambaran sederhana cara kerja metode ini :
Dari video tersebut dapat disimpulkan apabila seekor nyamuk jantan ber-Wolbachia berpasangan dengan betina yang tidak memilikinya maka telurnya tidak akan dapat menetas. Sedangkan jika nyamuk jantan tidak ber-Wolbachia berpasangan dengan nyamuk betina ber-Wolbachia maka telurnya akan dapat menetas dan semua keturunannya mengandung bakteri Wolbachia. Jika kedua nyamuk baik jantan maupun betina memiliki bakteri ini dan berpasangan maka telurnya menetas dan semua keturunannya ber-Wolbachia. Sedangkan Wolbachia sendiri menghambat transmisi virus dengue dari nyamuk aedes kepada manusia, sehingga apabila jumlah nyamuk yang memiliki bakteri ini bertambah dikarenakan perkawinan dengan nyamuk aedes lokal yang berada pada suatu wilayah maka penyebaran penyakit demam berdarah diharapkan akan sangat berkurang.
Apa itu Wolbachia?
Wolbachia adalah suatu golongan genus bakteri yang menginfeksi spesies arthopoda, yang sebagian besar terdiri dari jenis-jenis serangga tertentu dan juga beberapa nematoda. Bakteri ini adalah mikroba parasitik yang paling umum di dunia dan kemungkinan adalah parasit reproduktif yang paling umum ditemukan di bumi. Interaksinya dengan inang seringkali rumit, dan pada beberapa kasus telah berkembang menjadi hubungan yang lebih bersifat mutualistik ketimbang parasitik. Beberapa hospes (inang) tidak dapat bereproduksi atau bahkan tidak dapat hidup tanpa adanya infeksi Wolbachia. Sebuah penelitian menyimpulkan bahwa lebih dari 16% spesies serangga neotropik membawa bakteri genus ini, dan sebanyak 25 sampai dengan 70 persen dari seluruh spesies serangga merupakan hospes yang potensial.
Apa itu Wolbachia?
Wolbachia adalah suatu golongan genus bakteri yang menginfeksi spesies arthopoda, yang sebagian besar terdiri dari jenis-jenis serangga tertentu dan juga beberapa nematoda. Bakteri ini adalah mikroba parasitik yang paling umum di dunia dan kemungkinan adalah parasit reproduktif yang paling umum ditemukan di bumi. Interaksinya dengan inang seringkali rumit, dan pada beberapa kasus telah berkembang menjadi hubungan yang lebih bersifat mutualistik ketimbang parasitik. Beberapa hospes (inang) tidak dapat bereproduksi atau bahkan tidak dapat hidup tanpa adanya infeksi Wolbachia. Sebuah penelitian menyimpulkan bahwa lebih dari 16% spesies serangga neotropik membawa bakteri genus ini, dan sebanyak 25 sampai dengan 70 persen dari seluruh spesies serangga merupakan hospes yang potensial.
Selain serangga, Wolbachia juga menginfeksi berbagai spesies isopod, laba-laba, kutu, dan nematoda filaria (sejenis cacing yang bersifat parasit), termasuk yang menyebabkan onchocerciasis dan elefantiasis (kaki gajah) pada manusia, begitu juga cacing jantung pada binatang peliharaan. Cacing filaria penyebab penyakit ini tidak hanya terinfeksi Wolbachia, tapi tampaknya bakteri ini memiliki berbagai peran dalam penyakit-penyakit tersebut. Sebagian besar patogenitas nematoda filaria terjadi karena respon imunnya terhadap Wolbachia di tubuh mereka. Penghilangan Wolbachia dari nematoda filaria umumnya mengakibatkan kematian mereka atau menghilangnya fertilitas mereka. Dikarenakan hal tersebut, strategi terkini untuk mengendalikan penyakit-penyakit nematoda filaria diantaranya adalah eliminasi Wolbachia yang bersimbiosis dengan mereka melalui antibiotik doksisiklin, ketimbang secara langsung membunuh nematoda dengan pengobatan antinematoda yang lebih toksik.
Beginilah penampakan bakteri Wolbachia secara mikroskopis. Foto oleh Scott O'Neill dari Public Library of Science dengan izin CC BY 2.5 |
Strain (jenis) Wolbachia yang terdapat secara alami, menunjukkan sebagai jalur upaya strategis untuk pengendalian vektor dikarenakan keberadaannya dalam populasi artopoda, seperti nyamuk. Dikarenakan karakteristik unik Wolbachia yang menyebabkan inkompatibilitas sitoplasma, strain ini dapat bermanfaat sebagai pengendali genetik dalam suatu populasi. Betina yang terinfeksi Wolbachia mampu menghasilkan keturunan dengan berpasangan dengan jantan yang terinfeksi maupun tidak, sedangkan betina yang tidak terinfeksi hanya mampu menghasilkan keturunan yang dapat hidup apabila berpasangan dengan jantan yang tidak terinfeksi. Hal ini dapat memberikan keuntungan frekuensi reproduktif pada betina yang terinfeksi, dimana hal ini pada akhirnya akan meningkatkan jumlah Wolbachia pada populasi. Simulasi komputer memprediksi bahwa memperkenalkan strain Wolbachia dalam suatu populasi alami akan mengurangi transmisi patogen dan mengurangi beban penyakit secara keseluruhan. Suatu contoh adalah pemanfaatan Wolbachia yang dapat digunakan untuk mengendalikan dengue dan malaria dengan mengeliminasi nyamuk-nyamuk yang lebih tua yang mengandung parasit penyakit-penyakit tersebut. Meningkatkan bertahan hidupnya dan reproduksi serangga (nyamuk) yang lebih muda mengurangi beban seleksi evolusi untuk resistensi terhadap Wolbachia. Strain Wolbachia yang dapat mengurangi transmisi dengue antara lain wAllbB dan wMelPop pada Aedes aegypti, wMel pada Aedes albopictus dan Aedes aegypti. Selain sebagai penghambat virus dengue (DENV) pada beberapa spesies genus Aedes, Wolbachia juga teridentifikasi menghambat replikasi virus chikungunya (CHIKV) pada A. aegypti. Strain Wmel dari Wolbachia pipientis secara signifikan infeksi dan angka diseminasi dari CHIKV pada nyamuk, dibandingkan nyamuk kontrol yang tidak memiliki Wolbachia, fenomena serupa diamati pada infeksi virus yellow fever yang akhirnya menunjukkan bakterium ini merupakan solusi yang menjanjikan dalam menghambat YFV dan CHIKV.
Penelitian lain yang menguji efek Wolbachia pada replikasi West Nile Virus (WNV), pada cell line Aag2 yang diambil dari sel A. aegypti, menunjukkan bahwa meskipun terdapat adanya peningkatan replikasi genomik viral RNA pada cell line yang terinfeksi Wolbachia, produksi virus yang tersekresi terhambat secara signifikan. Begitu juga, efek anitviral pada nyamuk yang terinfeksi secara intratorakal bergantung pada jenis strain bakteri Wolbachia, dan replikasi virus pada nyamuk yang diberi makan secara oral mampu dihambat secara total oleh strain Wolbachia berjenis wMelPop.
Namun demikian, kasus dimana Wolbachia mampu mengurangi transmisi dari patogen harus diteliti dengan seksama dan hati-hati. Contohnya, suatu studi menunjukkan bahwa virus West Nile dapat meningkat dengan keberadaan Wolbachia jenis strain wAlbB pada nyamuk Culex tarsalis. Angka virus tampak lebih tinggi secara signifikan dibanding nyamuk yang tidak terinfeksi. Memang, wAlbB menghambat REL1, yang merupakan aktivator dari jalur antiviral Toll. Pelepasan nyamuk yang diinfeksi secara buatan pada lingkungan, untuk suatu program pengendalian penyakut yang disebar oleh vektor harus dilakukan dengan penuh kewaspadaan, terlebih bila merupakan kasus pertama perbaikan suatu penyakit manusia dari nyamuk.
Wolbachia kemungkinan dapat menginduksi aktivasi oksigen reaktif dari spesies tertentu pada jalur Toll (keturunan genetik), yang merupakan hal penting untuk aktivasi peptida, defensin dan cecropins antimikrobial yang membantu menghambat proliferasi virus dengue. Infeksi Wolbachia juga dapat meningkatkan resistensi nyamuk terhadap malaria, yang ditunjukkan pada Anopheles stephensi dimana strain wAlbB dari Wolbachia yang mengganggu siklus dari Plasmodium falciparum.
Beberapa ahli juga mengusulkan untuk memerangi penyebaran virus Zika dengan membudidayakan dan melepas nyamuk yang dengan sengaja diinfeksi strain Wolbachia yang sesuai. Sebuah studi menunjukkan bahwa Wolbachia mampu menghambat penyebaran virus Zika pada nyamuk di Brasil.
Perkembangan Program Nyamuk ber-Wolbachia di Indonesia
Cegah DBD, Pelepasan Nyamuk ber-Wolbachia di DIY Hampir Capai Target
Sejak Januari 2014 lalu, para peneliti Pusat Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran UGM yang tergabung dalam Eliminate Dengue Project (EDP) telah melakukan pelepasan nyamuk ber-Wolbachia ke pemukiman warga di wilayah Yogyakarta, tepatnya di Kronggahan dan Nogotirto, Kabupaten Sleman. Kini, pelepasan tersebut hampir mencapai target.
Ketika ditemui di UGM, dr Riris Andono Ahmad, MPH, Ph.D., yang merupakan peneliti utama EDP menuturkan bahwa proporsi nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia di situs penelitian hampir mencapai angka 70 persen. Itu berarti, dari seluruh nyamuk yang ada di lokasi penelitian, 70 persennya merupakan nyamuk yang memiliki Wolbachia. Sementara itu, peneliti menargetkan angka sekitar 80 persen.
“Sampai saat ini sudah mendekati proporsi sekitar 70 persen dari populasi nyamuk yang di sana, itu sudah mengandung Wolbachia. Jadi kami mencoba untuk mencapai angka sekitar 80, kemudian kami akan berhenti melepaskan karena kami menganggap pada angka tersebut, kami cukup yakin dia bisa berkembang biak dan bertahan di situ,” terangnya.
Pelepasan nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia sendiri bertujuan menguji apakah populasi nyamuk yang dikembangkan di laboratorium itu dapat bertahan di lingkungan alami. Sebab jika bertahan dan menghasilkan keturunan, nyamuk-nyamuk tersebut akan membentuk generasi nyamuk yang tak bisa menyebarkan virus dengue. Hal ini dikarenakan sifat Wolbachia yang dapat mempersingkat masa hidup nyamuk sekaligus menghalangi replikasi virus dengue. Metode ini diharapkan dapat menekan jumlah kasus DBD.
Meski demikian, kini penelitian baru menapaki tahap pengujian ketahanan nyamuk. Artinya, penyebaran nyamuk bukan dilakukan untuk menguji pengaruhnya terhadap jumlah kasus demam berdarah, yang merupakan endemi di lokasi penelitian.
“Tujuan fase ini belum sampai melihat dampak Wolbachia terhadap penularan demam berdarah, karena yang kami lakukan adalah untuk melihat apakah nyamuk yang memunyai Wolbachia itu bisa bertahan hidup di alam. Karena nyamuk ini merupakan sesuatu yang kami ternakkan di lab kemudian kami lepaskan di alam,” tuturnya.
“Rencananya kami melepas nyamuk dalam kurun waktu sekitar 20 minggu. Setelah itu, akan kami pantau hingga akhir tahun 2015,” sambung pria yang lebih akrab disapa Doni itu.
Meski persentase tersebut masih sedikit berfluktuasi dalam dua minggu terakhir, dr Doni cukup yakin dengan prospek penelitian itu pasalnya data menunjukkan tren naik. Akan tetapi, pencapaian ini baru pada dua wilayah desa saja, yakni Nogtirto dan Kronggahan. Masih ada empat desa lain yang juga akan mendapat pelepasan nyamuk.
Di Australia, penelitian serupa telah dilakukan. Setelah dua tahun masa pelepasan, proporsi nyamuk ber-Wolbachia diketahui mencapai 90%. Meski demikian mereka tak dapat melanjutkan penelitian untuk mengukur pengaruh pelepasan ini terhadap jumlah kasus DBD. Hal tersebut karena Australia bukan merupakan negara endemi deman berdarah. Itulah salah satu sebab mengapa Australia kemudian menjalin kerjasama dengan berbagai negara, salah satunya Indonesia.
Di Laboratorium Inilah Nyamuk Ber-Wolbachia yang Dilepas di Sleman Diciptakan
Nyamuk modifikasi yang mengandung bakteri Wolbachia dilepas di Sleman, Yogyakarta sejak 2014. Nyamuk ini diyakini ampuh mengontrol penularan virus penyebab Demam Derdarah Dengue (DBD).
Pelepasan nyamuk tersebut dilakukan sebagai bagian dari Eliminate Dengue Program (EDP). Proyek eksperimen serupa juga dilakukan di Queensland Australia, Rio de Jainero Brazil, Bello Colombia, dan Nha Trang Vietnam.
Nyamuk-nyamuk yang dilepaskan dalam uji coba tersebut berasal dari sebuah laboratorium di Monash University di Melbourne. Di laboratorium inilah nyamuk-nyamuk tersebut disuntik Wolbachia, untuk kemudian dilepaskan di berbagai lokasi yang rawan penularan Dengue.
Riset untuk mengamati keberhasilan uji coba tersebut juga dilakukan di laboratorium yang sama. Sampel nyamuk yang ditangkap dari lokasi uji coba diamati satu persatu, untuk dilihat apakah populasi nyamuk dengan Wolbachia meningkat di setiap lokasi.
Pengamatan di Cairns, di wilayah timur laut Queensland misalnya, menunjukkan bahwa bakteri Wolbachia tetap berada di level tinggi dalam populasi nyamuk. Dalam pengamatan sejak 2011, tidak ada penularan dengue secara lokal.
Sedangkan di Yogyakarta, pelepasan nyamuk dimulai sejak 2014 dan akan dilanjutkan dalam skala lebih besar pada 2016 yang diikuti dengan impact study hingga tahun 2019.
Modifikasi nyamuk Aedes aegypti dengan disuntik Wolbachia menjadi pilihan untuk mengontrol penularan Dengue. Dibandingkan dengan modifikasi genetik, metode ini dinilai paling efisien karena Wolbachia secara alami ada pada 60 persen populasi serangga.
Nyamuk yang mengandung Wolbachia bisa terinfeksi virus Dengue tetapi tidak bisa menularkannya ke manusia. Nyamuk betina yang mengandung Wolbachia akan menghasilkan keturunan yang juga mengandung bakteri yang sama, sehingga jika Wolbachia meningkat di populasi nyamuk maka penularan Dengue di lingkungan bisa ditekan.
"Di dalam tubuh nyamuk, Wolbachia dan virus Dengue berkompetisi mendapatkan makanan untuk bisa bertahan. Dalam kompetisi, Wolbachia menang dan menge-blok virus Dengue," kata Prof Cameron Simmons dari Institute of Vector Borne Disease, di Monash University, Kamis (18/8/2016).
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa metode yang sama juga bisa dilakukan untuk mengontrol Zika, kerabat virus Dengue yang juga ditularkan lewat nyamuk Aedes. Bukti terbaru tentang hal tersebut terungkap dalam sebuah penelitian di jurnal Scientific Reports baru-baru ini.
Ini Bedanya Penelitian Nyamuk Ber-Wolbachia di Indonesia dengan Negara Lain
Penelitian Eliminate Dengue Program (EDP) menggunakan nyamuk ber-Wolbachia untuk menekan kasus demam berdarah dengeu (DBD) tidak hanya dilakukan di Indonesia. Negara-negara lain seperti Vietnam, Australia dan Brasil juga melakukan penelitian menggunakan metode serupa.
Lalu, adakah bedanya hasil penelitian di Indonesia dengan di negara-negara lain? Prof Adi Utarini, peneliti utama EDP dari Universitas Gadjah Mada, mengatakan beberapa negara tidak memiliki hasil kesuksesan yang sama seperti di Indonesia. Salah satu contohnya adalah Vietnam yang menggunakan strain wolbachia yang berbeda.
"Karena strain Wolbachia yang digunakan di Vietnam berbeda dengan Indonesia, nyamuk ber-Wolbachianya kalah dari nyamuk lokal. Jadi ketika diteliti lagi, nyamuk ber-wolbachia yang dilepas itu hilang sama sekali karena proses kawin silang tidak berjalan maksimal," tutur wanita yang akrab disapa Prof Uut tersebut, dalam temu media di Gedung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jl MH Thamrin, Jakarta Pusat, Jumat (2/9/2016).
Hal senada juga terjadi di Brasil. Brasil menggunakan strain bakteri wolbachia yang sama seperti di Indonesia. Namun disebutkan Prof Uut, prosedur pelepasan nyamuk tidak berjalan dengan baik. Nyamuk di Brasil juga memiliki tingkat resistensi bakteri wolbachia yang tinggi sehingga proses kawin silang juga tidak berjalan maksimal.
Sebenarnya bakteri wolbachia merupakan bakteri alami yang terdapat dalam 60 persen jenis serangga, termasuk kupu-kupu, lebah dan lalat buah. Bakteri ini tidak terdapat di nyamuk Aedes aegypti, vektor penular DBD terbesar.
Penelitian EDP menyuntikkan bakteri Wolbachia ke dalam nyamuk, dengan harapan bakteri ini mampu menekan perkembangan virus dengue sehingga angka kasus DBD mengalami penurunan. Hasil sementara dari penelitian di Bantul dan Sleman menunjukkan adanya peningkatan nyamuk ber-Wolbachia di populasi nyamuk lokal.
"Jadi kita kawin silangkan nyamuk ber-Wolbachia ini dengan nyamuk lokal sebelum dilepas. Hasil di Sleman dan Bantu, 80-85 persen nyamuknya sudah memiliki bakteri Wolbachia," tandasnya lagi.
Selain menekan kasus DBD, Prof Uut menyebut nyamuk ber-Wolbachia juga dapat menghambat perkembangan virus Zika dan Chikungunya. Salah satu alasannya adalah virus-virus tersebut masih satu keluarga, yakni flavavirus. Selain itu, bisa jadi hal ini juga dikarenakan virus-virus tersebut berada dalam nyamuk yang sama.
"Kita fokus DBD dulu karena bebannya lebih tinggi DBD di Indonesia daripada Zika. Nah, Chikungunya dan Zika ini sekalianlah karena nyamuknya kan sama, jadi satu paket" tutupnya.
Benarkah Kasus DBD Sleman Turun karena Nyamuk Ber-Wolbachia?
Jumlah kasus demam berdarah di Kabupaten Sleman, Yogyakarta, menunjukkan tren menurun sejak Januari hingga April 2014. Apakah itu merupakan efek dari pelepasan nyamuk ber-Wolbachia yang diyakini dapat menekan persebaran virus dengue?
Belum tentu, demikian simpulan yang didapat detikHealth dari pernyataan pihak-pihak terkait, yakni Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman dan peneliti dari Pusat Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran UGM yang tergabung dalam Eliminate Dengue Project (EDP). Tren yang menurun boleh jadi dipegaruhi beberapa faktor, yang salah satunya tren tahunan kasus demam berdarah di Kabupaten Sleman itu sendiri.
Ketika ditemui di kantornya, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, dr Mafilindati Nuraini MKes mengatakan bahwa awal tahun ini kasus demam berdarah masih cukup tinggi di Sleman. Meski demikian, sejak Januari hingga April 2014 tercatat penurunan jumlah kasus setiap bulannya. Jumlah kasus pada bulan-bulan tersebut secara berturut-turut adalah 73, 62, 55, dan 22 kasus.
Penurunan tersebut tidak serta merta merupakan efek pelepasan nyamuk ber-Wolbachia. Pasalnya tren yang sama juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.
“Sepanjang tahun kasus DBD tetap ada karena Sleman termasuk masih endemis terhadap DBD. Biasanya tinggi pada awal-awal musim hujan dan sepanjang musim hujan, seperti Januari, Februari, Maret, kemudian November, Desember,” ujarnya.
Hal ini diamini pihak peneliti dari EDP. Menurut mereka, masih terlalu dini untuk dapat dilakukan pengkajian mengenai efek pelepasan nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia terhadap persebaran dengue di Sleman, khususnya di dua wilayah yang mengalami pelepasan nyamuk, yakni Kronggahan dan Nogotirto. Penyebabnya tak lain karena kini penelitian mereka masih dalam tahap pelepasan guna menguji kemampuan nyamuk untuk dapat bertahan hidup dan berkembang biak di alam.
“Tujuan fase ini belum sampai melihat dampak Wolbachia terhadap penularan demam berdarah, karena yang kami lakukan untuk melihat apakah nyamuk yang memunyai Wolbachia itu bisa bertahan hidup di alam,” ujar dr Riris Andono Ahmad, MPH, PhD, peneliti utama EDP.
Bakteri Wolbachia yang dilepas di wilayah Kronggahan dan Nogotirto sejak Januari lalu merupakan bakteri tak berbahaya yang dapat mempersingkat masa hidup nyamuk sekaligus menghalangi replikasi virus dengue dalam tubuh Aedes aegypti.
Nyamuk yang telah direkayasa sehingga memiliki bakteri ini tidak akan bisa menyebarkan virus dengue. Hal ini diyakini dapat menekan kasus demam berdarah dengan lebih efektif. Kendati demikian, peneliti utama EDP menuturkan masih harus dilakukan beberapa fase penelitian lagi sebelum dapat disimpulkan efektivitaasnya dalam menekan kasus demam berdarah.
Selain itu, lingkup wilayah pelepasan yang tergolong kecil juga tak ideal untuk dijadikan sebagai patokan. Untuk membuktikan bahwa pelepasan nyamuk Ber-Wolbachia efektif menekan kasus DBD, perlu dilakukan pelepasan dalam cakupan yang lebih luas, misalnya kota Jogja. Tentu saja fase tersebut hanya bisa dilakukan setelah nyamuk yang dilepas terbukti dapat bertahan dan berkembang di alam.
“Sebenarnya wilayahnya terlalu kecil untuk melihat pengaruhnya, jumlah kasus demam berdarah di wilayah itu terlalu kecil untuk bisa membuat simpulan seperti itu. Beda kalau pengamatannya dalam satu kota. Kita baru bisa mengatakan jika misalnya ada penurunan,” papar dr Riris, atau yang lebih akrab disapa dr Doni, Jumat (9/5/2014/).
UGM Perkenalkan Sosok Nyamuk Aedes Aegypti Ber-Wolbachia Ke Masyarakat
Tim Eliminate Dengue Project (EDP) Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada, mengajak warga Yogyakarta mengenal nyamuk Aedes Aegypti yang mengandung bakteri Wolbachia, pada tanggal 16 Juni 2016.
Dalam acara yang bertajuk open house itu, EDP Yogyakarta akan memperkenalkan nyamuk anti-demam berdarah itu ke masyarakat. Mulai dari proses penjentikan hingga pelepasannya.
Team Leader EDP Yogyakarta Bekti Andari mengatakan ajakan untuk melihat pengembangbiakan nyamuk ini untuk memperingati Asean Dengue Day (ADD) 2016 yang jatuh pada hari Rabu 15 Juni.
Masyarakat akan diajak ke laboratorium Gedung Pusat Antar Universitas (PAU) Jalan Teknika Utara Barek, Yogyakarta, tempat nyamuk itu dikembangbiakkan.
Pengunjung juga akan diperlihatkan bagaimana relawan tim EDP diisap darahnya oleh nyamuk-nyamuk itu. "Kami sudah siapkan relawan yang memang kesehatannya sudah diperiksa terlebih dulu. Dan kami memastikan nyamuk ini aman dari virus demam berdarah," kata Bekti, Rabu (15/6/2016).
Open house dibuka mulai pukul 09.00 hingga 12.00 WIB. Untuk sekali kunjungan hanya 15 orang yang boleh melihat. Bagi warga yang berminat melihat pengembangbiakan nyamuk ini bisa datang langsung ke laboratorium EDP atau daftar melalui email edp.yogya@gmail.com.
Nyamuk Aedes Aegypti berbakteri Wolbachia adalah protagonis untuk melawan nyamuk Aedes Aegypti yang menjadi aktor penyebab demam berdarah.
Caranya, mereka akan disebar untuk menjalankan misi kawin dengan nyamuk Aedes Aegypti dan memberi keturunan barisan nyamuk Aedes Aegypti yang sudah terpapar bakteri Wolbachia. Dengan begitu, populasi nyamuk Aedes Aegypti akan terus menurun.
Pemberantasan demam berdarah dengan teknik ini telah diakui Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Maret 2016. Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir telah mengunjungi laboratorium ini dan merelakan tangannya digigit nyamuk sebagai sumber makanan.
UGM Perluas Pelepasan Nyamuk Ber-Wolbachia
Peneliti Universitas Gadjah Mada terus mengembangkan metode Wolbachia untuk mengurangi penularan virus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia. Seperti diketahui, peneliti UGM menggunakan nyamuk Aedes aegypti yang sudah mengandung bakteri Wolbachia untuk menghambat perkembangan replikasi virus Dengue pada nyamuk tersebut. Metode ini tengah diteliti dengan melepaskan ribuan nyamuk ber-Wolbachia di dua padukuhan, Kronggahan dan Nogotirto, Sleman. Masing-masing setiap rumah disebar hingga 8-10 ekor nyamuk.
Selama 9 bulan pasca pelepasan awal tahun 2014 lalu, di dua wilayah penelitian tersebut diketahui ada peningkatan populasi nyamuk ber-Wolbachia hingga 60-80 persen. Peneliti mengklaim Wolbachia terus menyebar dalam populasi nyamuk stempat. “Pelepasan nyamuk setiap pekan ini akan kita lanjutkan hingga nantinya 100 persen nyamuk di sana memiliki Wolbachia,” kata peneliti Eliminate Dengeu Project (EDP) UGM, dr. Riris Andono Ahmad MPH, Ph.D., Kamis (25/9) di kantor EDP, Sekip N-14, Kampus UGM.
Pemerhati ilmu kedokteran tropis ini mengatakan, besar kemungkinan pelepasan nyamuk ber-Wolbachia ini akan diperluas di masa mendatang setelah mendapatkan hasil dari penelitian dan pengamatan dari hasil dua padukuhan tersebut. “Hasilnya, sangat menjanjikan. Meski saat ini masih berlangsung tapi yang dapatkan nyamuk ber-Wolbachia bisa berkembang biak mengikuti fase alamiahnya,” katanya.
Rencananya dalam waktu dekat, kata Doni, demikian ia akrab disapa, EDP UGM akan melepas nyamuk ber-Wolbachia di empat lokasi penelitian di Kabupaten Bantul dan Sleman. Sementara pelepasan nyamuk Aedes aegypti di Krongahan dan Nogotirto sudah dimulai sejak awal Januari lalu. Hasilnya, diketahui sebagian besar nyamuk yang mengandung Wolbachia tersebut kawin dengan nyamuk biasa. Dipastikan Wolbachia akan diturunkan dari induk betina ke generasi selanjutnya.
Seperti diketahui, Wolbachia adalah bakteri alami yang terdapat pada sel tubuh serangga dan ditemukan di 60 persen spesies serangga seperti ngengat, lalat buah, capung, kumbang hingga nyamuk. Namun bakteri ini tidak ada pada nyamuk Aedes aegypti yang selama ini dikenal sebagai vektor penular virus Dengue.
Berdasarkan keterangan dari Doni, kemampuan Wolbachia menghambat menekan replikasi Dengue disebabkan kemampuan bakteri ini dalam berkompetisi dengan virus Dengue merebut makanan di sel tubuh nyamuk. “Adanya Wolbachia justru meningkatkan ketahanan tubuh nyamuk dari virus Dengue,” katanya.
Tapi apakah orang bisa tertular Wolbachia lewat gigitan nyamuk? Peneliti EDP lainnya, dr. Eggi Arguni, Sp.A(K), menuturkan sangat kecil kemungkinan nyamuk bisa menularkan Wolbachia ke manusia. Pasalnya diameter Wolbachia melebihi dari probosis, bagian dari mulut nyamuk untuk menghisap darah dan menembus kulit manusia. “Diameter Wolbachia lebih besar dari probosis nyamuk. Secara teori tidak mungkin menular apalagi Wolbachia tidak bisa hidup di sel mamalia,” imbuhnya.
Eggi menambahkan, setiap nyamuk yang dilepas di rumah-rumah penduduk sebelumnya telah diskrining agar bebas dari virus Dengue dan Chikungunya. Kekhawatiran dan penolakan kelompok masyarakat sebelumnya bahwa pelepasan nyamuk ber-Wolbachia memperbesar risiko penularan DBD ternyata tidak terbukti. Kendati selama 9 bulan pasca pelepasan nyamuk, hanya 9 kasus DBD yang ditemukan. Itupun masih diragukan apakah korban DBD tersebut terkena gigitan di tempat tinggalnya atau dari tempat lain. “Kemungkinan tertular di tempat yang lain sangat besar. Tapi yang perlu kita tegaskan, tidak ada penularan lokal di kedua wilayah tersebut, tidak ada indikasi yang kita temukan,” ungkapnya.
Penelitian bersama yang melibatkan beberapa negara seperti Australia, Vietnam, Brasil dan Kolombia ini masih terus dilakukan untuk mendapatkan hasil yang optimal. Jika nantinya terbukti efektif, tidak menutup kemungkinan pemanfaatan nyamuk ber-Wolbachia bisa menjadi alternatif untuk mengatasi penyebaran virus Dengue di Indonesia. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), penderita DBD di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat, meski angka kematian terus menurun. Sepanjang 2012, Kemenkes mencatat ada 90.245 penderita, angka kematian mencapai 816 orang.
Area Pelepasan Nyamuk Ber-Wolbachia Diperluas
Eliminate Dengue Project (EDP) Yogya akan memperluas area pelepasan nyamuk Aedes aegypti ber-wolbachia di 12 kelurahan di Kota Yogyakarta. Langkah tersebut dilakukan untuk menekan kasus demam berdarah dengue (DBD) di Yogyakarta.
Peneliti utama EDP Yogya, Adi Untarini mengatakan sejak Agustus 2016 timnya telah melepas nyamuk ber-wolbachia di tujuh kelurahan Kota Yogyakarta yakni Karangwaru, Wirobrajan, Pakuncen, Patangpuluhan, Kricak, Tegalrejo, dan Bener. Pelepasan wolbachia di daerah tersebut menunjukkan hasil yang positif.
“Saat ini presentasi nyamuk ber-Wolbachia cukup tinggi. Di empat kelurahan kita hentikan pelepasan nyamuk ber-Wolbachia karena keberadaannya telah mencapai 60 persen,” papar Adi, Senin (20/3).
Ia mengemukakan, pelepasan nyamuk ber-Wolbachia akan dihentikan jika prosentase nyamuk ini sudah mencapai 60 persen. Kondisi ini memperlihatkan bahwa nyamuk ber-Wolbachia sudah mampu bertahan dan berkembangbiak secara alami.
“Kita akan segera melepas lagi di wilayah yang lebih luas untuk membuktikan efektivitas metode Wolbachia ini,” jelasnya. Pada tahun ini akan dilakukan pelepasan nyamuk ber-Wolbachia di 12 kelurahan di kota Yogyakarta.
Antara lain Cokrodiningratan, Terban, Pringgokusuman, Sosormenduran, Baciro, Suryatmajan, tegal Panggung, Ngupasan, Muja Muju, Kadipaten, Patehan, Wirogunan, Warungboto, Mantrijeron, Bangunharjo, serta Sorosutan. Pelepasan dimulai pada bulan Maret hingga November 2017 mendatang.
Menandai pelepasan Wolbachia tahap kedua ini EDP akan menggelar syukuran atau Kenduri Warga pada 22 Maret di pendopo Taman Siswa Yogyakarta. Pelepasan tahap kedua sendiri telah dimulai sejak awal Maret, beberapa diantaranya sudah dilepas di Terban, Klitren, Cokrodiningratan, Gowongan, Demanga, Mantrijeron.
Pelepasan akan berjalan terus hingga keberdaan nyamuk ber-Wolbachia di 12 klaster ini mencapai 60 persen. “Kota Yogyakarta kita pilih sebagai wilayah pelepasan nyamuk ber-Wolbachia karena daerah ini memiliki kasus DBD yang terbilang tinggi. Melalui pelepasan nyamuk ini harapannya bisa menurunkan angka kejadian DBD di wilayah ini,” ujar Adi.
Adapun pada 2014, EDP telah melakukan pelepasan nyamuk ber-Wolbachia di Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul. Sejak dilepas hingga saat ini prosentase nyamuk ber-Wolbachia di kedua kabupaten tersebut cukup tinggi mencapai 80-100 persen dan tidak terjadi penularan DBD di wilayah setempat.
Kepala Bidang Pencegahan dan penanggulangan Masalah Keshatan (P2MK) Dinas Kesehatan Provinsi DIY, Elvi Effendy menyampaikan, tingkat kejadian DBD di Yogyakarta berlangsung secara fluktuatif. Namun pada 2016 kejadiannya mengalami peningkatan hingga enam ribu kasus dibanding di tahun sebelumnya sebanyak empat ribu kasus.
“Di 2016 angkanya fantastis. Kasus naik, tetapi angka kematiannya mengalami penurunan. Hal ini tidak lepas dari semakin meningkatnya pemahaman masyarakat dan kesigapan petugas kesehatan secara cepat menangani persoalan ini,” kata Elvi.
Penanggulangan DBD ini menurut Elvi, tidak hanya menjadi tanggung jawab dinas kesehatan, tetapi menjadi tanggung jawab semua pihak. Karenanya ia berharap seluruh stakeholder ikut berperan dalam penanggulangan DBD.
Perkembangan selanjutnya akan diupdate berkala.
Kata Kunci Pencarian : Ilmu Penyakit Dalam, Infeksi tropis, communicable disease, Tesis, Desertasi, Artikel Ilmiah, Karya Tulis ilmiah, Jurnal, Makalah, Skripsi, disertasi, Referat, Refrat, modul BBDM, Belajar Bertolak Dari Masalah, Problem Based Learning, askep, asuhan keperawatan, SKP (Satuan Kredit Profesi), Kompetensi, pdf, word, .pdf, .doc, .docx
Perkembangan selanjutnya akan diupdate berkala.
Kata Kunci Pencarian : Ilmu Penyakit Dalam, Infeksi tropis, communicable disease, Tesis, Desertasi, Artikel Ilmiah, Karya Tulis ilmiah, Jurnal, Makalah, Skripsi, disertasi, Referat, Refrat, modul BBDM, Belajar Bertolak Dari Masalah, Problem Based Learning, askep, asuhan keperawatan, SKP (Satuan Kredit Profesi), Kompetensi, pdf, word, .pdf, .doc, .docx
0 comments:
Posting Komentar