DEFINISI
Sejarah
Secara
terminologi diabetes mellitus berasal dari bahasa Yunani yaitu kata pertamanya diabetes atau diabainein yang berarti mengalirkan (siphon=pipa aliran), ini
merujuk pada buang air kecil / urinasi berlebihan yang dikaitkan dengan penderita
Diabetes Melitus (DM). Istilah diabetes ini dikemukakan oleh ilmuwan Aretaeus. Kemudian
kata kedua mellitus berarti “manis
seperti madu”, dikarenakan rasa manis pada urine penderita yang dapat
mengundang semut pada saat itu.
Beberapa sumber mengatakan penambahan kata melitus ini dilakukan oleh Thomas Willis pada tahun 1675, sedangkan beberapa sumber lain menyatakan istilah ini dikemukakan oleh ahli bedah kebangsaan Inggris bernama John Rollo pada tahun 1798 yang dilakukannya untuk membedakan dengan penderita diabetes yang air seninya tidak memiliki rasa manis (diabetes insipidus).
Beberapa sumber mengatakan penambahan kata melitus ini dilakukan oleh Thomas Willis pada tahun 1675, sedangkan beberapa sumber lain menyatakan istilah ini dikemukakan oleh ahli bedah kebangsaan Inggris bernama John Rollo pada tahun 1798 yang dilakukannya untuk membedakan dengan penderita diabetes yang air seninya tidak memiliki rasa manis (diabetes insipidus).
Sebenarnya identifikasi keadaan ini sudah dilakukan sejak dahulu,
pada tahun 1500 SM ilmuwan India menamakan penyakit ini sebagai madhumeha yang berarti “air seni madu”,
dokter kebangsaan India Sushruta dan kemudian ahli bedah India Charaka pada
tahun 400-500 mampu mengkategorikan penyakit ini menjadi dua tipe yang kemudian
akan dikenal sebagai diabetes mellitus tipe I dan II. Dokter ternama dari
persia, Ibnu Sina (Avicenna) (tahun 980-1037), dalam karyanya “Meriam
Kedokteran” (The Canon of Medicine) tidak
hanya menghubungkan penyakit ini dengan nafsu makan yang tidak normal dan
gangren diabetik tetapi juga menemukan ramuan dari beberapa biji-bijian (lupin,
fenugreek, zedoary) sebagai sarana pengobatan.
Pengertian
Diabetes
Melitus yang dikenal di kalangan awam sebagai penyakit kencing manis atau
penyakit gula darah adalah golongan penyakit kronis degeneratif yang ditandai
dengan peningkatan kadar gula dalam darah sebagai akibat adanya gangguan sistem
metabolisme dalam tubuh. Diabetes Melitus merupakan keadaan hiperglikemia
kronik yang disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang
menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah,
disertai lesi pada membran basalis yang ditemukan pada pemeriksaan dengan
mikroskop elektron. Menurut American Diabetes Association (ADA) Diabetes
Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya. Beberapa definisi lain dari DM :
DM
merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar
glukosa dalam darah atau hiperglikemia. (Brunner dan Suddarth, 2002).
DM
adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen
dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat.(Price and Wilson)
DM
adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh
karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan insulin
baik absolut maupun relatif (Arjatmo, 2002).
Apabila dikelompokkan menurut sifatnya DM dapat
dibagi menjadi:
- Diabetes
melitus tergantung insulin
- Diabetes
melitus tidak tergantung insulin, terdiri dari penderita gemuk dan kurus
- Diabetes
melitus terkait malnutrisi
- Diabetes melitus yang terkait keadaan atau gejala tertentu seperti penyakit pankreas, penyakit hormonal, obat-obatan / bahan kimia, kelainan insulin / reseptornya, sindrom genetik, gestasional (kehamilan) dll
Gambaran Pankreas. Gambar dikutip dari staf Blausen.com |
EPIDEMIOLOGI
Di
antara penyakit degeneratif, diabetes adalah salah satu di antara penyakit tidak
menular yang akan meningkat jumlahnya di masa yang akan datang. Diabetes sudah
merupakan salah satu ancaman utama bagi kesehatan uma manusia pada abad 21.
Perserikaaan Bangsa-Bangsa (WHO) membuat perkiraan bahwa pada tahun 2025 jumlah
pengidap diabetes di atas umur 20 tahun akan berjumlah 300 juta orang.
Menurut
data organisasi Persatuan Rumah Sakit di Indonesia (PERSI) tahun 2008,
Indonesia kini menempati urutan ke-4 terbesar dalam jumlah penderita diabetes
mellitus di dunia.
Pada
2006, jumlah penyandang diabetes (diabetasi) di Indonesia mencapai 14 juta
orang. Dari jumlah itu, baru 50% penderita yang sadar mengidap, dan sekitar 30%
di antaranya melakukan pengobatan secara teratur. Menurut beberapa penelitian
epidemiologi, prevalensi diabetes di Indonesia berkisar 1,5% sampai 2,3%,
kecuali di Manado yang cenderung lebih tinggi, yaitu 6,1 % (PERSI, 2008).
Secara
epidemiologi diabetes sering kali tidak terdeteksi dan dikatakan onset atau
mulai terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga
morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi ini.
Penelitian lain menyatakan bahwa dengan adanya urbanisasi, populasi diabetes
tipe 2 akan meningkat 5 – 10 kali lipat karena terjadi perubahan perilaku
tradisional menjadi urban.
Penelitian
terakhir yang dilakukan Litbang Depkes 2008, didapatkan prevalensi nasional
untuk TFT 10,25% dan diabetes 5,7% (1,5 terdiri dari pasien diabetes yang sudah
terdiagnosis sebelumnya, sedangkan sisanya 4,2% merupakan kasus baru). Secara
epidemiologi DM seringkali tidak terdeteksi. Berbagai faktor genetik,
lingkungan dan cara hidup berperan dalam perjalanan penyakit diabetes. Ada
kecenderungan penyakit ini timbul dalam keluarga. Disamping itu juga ditemukan
perbedaan kekerapan dan komplikasi diantara ras, negara dan kebudayaan.
Dari
segi epidemiologi, ada beberapa jenis diabetes. Dulu ada yang disebut diabetes
pada anak, atau diabetes juvenilis dan diabetes dewasa atau “maturity-onset
diabetes”. Karena istilah ini kurang tepat, sekarang yang pertama disebut DM
tipe 1 dan yang kedua disebut DM tipe 2. Ada pula jenis lain, yaitu diabetes
melitus gestasional yang timbul hanya pada saat hamil, dan diabetes yang disebabkan
oleh karena kerusakan pankreas akibat kurang gizi disebut MRDM (Malnutrition
Related DM) atau Diabetes Melitus Terkait Malnutrisi (DMTM).
Kekerapan
DM tipe 1 di negara Barat ± 10% dari DM tipe 2. Bahkan di negara tropik jauh
lebih sedikit lagi. Gambaran kliniknya biasanya timbul pada masa kanak-kanak
dan puncaknya pada masa akil balik. Tetapi ada juga yang timbul pada masa
dewasa. DM tipe 2 adalah jenis yang paling banyak ditemukan (lebih dari 90%).
Timbul makin sering setelah umur 40 dengan catatan pada dekade ke 7 kekerapan
diabetes mencapai 3 sampai 4 kali lebih tinggi daripada rata-rata orang dewasa.
Pada keadaan dengan kadar glukosa darah tidak terlalu tinggi atau belum ada
komplikasi, biasanya pasien tidak berobat ke rumah sakit atau ke dokter. Ada
juga yang sudah di diagnosis sebagai diabetes tetapi karena kekurangan biaya
biasanya pasien tidak berobat lagi. Hal ini menyebabkan jumlah pasien yang
tidak terdiagnosis lebih banyak daripada yang terdiagnosis. Menurut penelitian
keadaan ini pada negara maju sudah lebih dari 50% yang tidak terdiagnosis dan
dapat dibayangkan berapa besar angka itu di negara berkembang termasuk
Indonesia (Slamet Suyono Dalam Pusat Diabetes dan Lipid, 2007).
Penelitian
lain menyatakan bahwa dengan adanya urbanisasi, populasi DM tipe 2 akan meningkat
menjadi 5 – 10 kali lipat karena terjadi perubahan perilaku rural-tradisional
menjadi urban. Faktor resiko yang berubah secara epidemiologis adalah
bertambahnya usia, jumlah dan lamanya obesitas, distribusi lemak tubuh,
kurangnya aktivitas jasmani dan hiperinsulinemia. Semua faktor ini berinteraksi
dengan beberapa faktor genetik yang berhubungan dengan terjadinya DM tipe 2 (Soegondo,
1999). Tanpa intervensi yang efektif, kekerapan DM tipe 2 akan meningkat
disebabkan oleh berbagai hal misalnya bertambahnya usia harapan hidup,
berkurangnya kematian akibat infeksi dan meningkatnya faktor resiko yang
disebabkan oleh karena gaya hidup yang salah seperti kegemukan, kurang gerak/
aktivitas dan pola makan tidak sehat dan tidak teratur (Slamet Suyono Dalam
Pusat Diabetes dan Lipid, 2007).
Faktor
resiko yang berubah secara epidemiologi diperkirakan adalah : bertambahnya
usia, lebih banyak dan lebih lamanya obesitas, distribusi lemak tubuh,
kurangnya aktifitas jasmani dan hiperinsulinemia. Semua faktor ini berinteraksi
dengan beberapa faktor genetik yang berhubungan dengan terjadinya DM tipe 2.
Kaki diabetik merupakan salah satu komplikasi kronik DM yang paling ditakuti. Seringkali kaki diabetes berakhir dengan kecacatan dan kematian. Sampai saat ini, di Indonesia kaki diabetes merupakan masalah rumit. Disamping itu ketidaktahuan masyarakat mengenai kaki diabetes sangat mencolok, ditambah dengan permasalahan biaya pengelolaan yang besar yang tidak terjangkau oleh masyarakat pada umumnya, semua menambah peliknya masalah kaki diabetik.
Sekitar
18,2 juta orang di Amerika Serikat menderita DM dan diantara pasien ini 5,2
juta orang tidak terdiagnosis. Risiko mengalami diabetes untuk bayi yang
dilahirkan pada tahun 2000 diperkirakan adalah 32,8% untuk pria dan 38,5% untuk
wanita. DM tipe 1 ditemukan pada 5% sampai 10% pasien dengan diabetes dan
prevalensinya pada orang yang berusia kurang dari 20 tahun adalah sekitar 1
dalam 400. DM tipe 1 tidak memiliki variasi musiman dan perbedaan jenis kelamin
secara klinis tidak bermakna. DM tipe 2 dijumpai pada 90% sampai 95% dari semua
pasien dengan diabetes. Prevalensinya berbeda di antara kelompok ras dan etnis
yang berbeda (Afrika-Amerika 11,4%, Latino 8,2%, dan Amerika Asli 14,9%)
(Cramer dan Manyon, 2007).
KLASIFIKASI
DAN ETIOLOGI
Klasifikasi Diabetes Melitus menurut PERKENI 2006
dalam dilihat dalam tabel dibawah ini :
Jenis
|
Etiologi
|
Tipe
1
|
Destruksi sel β, umumnya menjurus ke defisiensi
insulin absolut
|
Tipe
2
|
Bervariasi, mulai dari
resistensi insulin yang disertai defisiensi insulin relatif hingga defek
sekresi insulin yang dibarengi resistensi insulin.
|
Tipe
lain
|
|
Diabetes
Melitus gestasional
|
Intoleransi glukosa yang timbul
atau terdeteksi pada kehamilan pertama dan gangguan toleransi glukosa setelah
terminasi kehamilan.
|
1. DM tipe 1, insulin dependent diabetes mellitus
(IDDM)
Diabetes
jenis ini terjadi akibat kerusakan sel β pulau Langerhans pankreas. Dahulu, DM
tipe 1 disebut juga diabetes onset-anak (atau onset-remaja) dan diabetes
rentan-ketosis (karena sering menimbulkan ketosis). Onset DM tipe 1 biasanya
terjadi sebelum usia 25-30 tahun (tetapi tidak selalu demikian karena orang
dewasa dan lansia yang kurus juga dapat mengalami diabetes jenis ini). Sekresi
insulin mengalami defisiensi (jumlahnya sangat rendah atau tidak ada sama
sekali). Dengan demikian, tanpa pengobatan dengan insulin (pengawasan dilakukan
melalui pemberian insulin bersamaan dengan adaptasi diet), pasien biasanya akan
mudah terjerumus ke dalam situasi ketoasidosis diabetik (Arisman, 2011).
Gejala
biasanya muncul secara mendadak, berat dan perjalanannya sangat progresif; jika
tidak diawasi, dapat berkembang menjadi ketoasidosis dan koma. Ketika diagnosa
ditegakkan, pasien biasanya memiliki berat badan yang rendah. Hasil tes deteksi
antibodi islet hanya bernilai sekitar 50-80% dan KGD >140 mg/dL (Arisman,
2011).
2. DM tipe 2, non-insulin dependent diabetes mellitus
(NIDDM)
DM
ini disebabkan resistensi insulin dan/atau kegagalan relatif sel β. Resistensi
insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa
oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel β tidak
mampu mengimbangi resistensi insulin
tersebut sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan
ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, maupun
pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Ini
menandakan sel β pankreas mengalami
desensitisasi terhadap glukosa.
DM
jenis ini disebut juga diabetes onset-matur (atau onset-dewasa) dan diabetes
resistan-ketosis (istilah NIDDM sebenarnya tidak tepat karena 25% diabetes,
pada kenyataannya, harus diobati dengan insulin; bedanya mereka tidak mewakili
kurang-lebih 85% kasus DM di Negara maju, dengan prevalensi sangat tinggi (35%
orang dewasa) pada masyarakat yang mengubah gaya hidup tradisional menjadi
modern (Arisman, 2011).
DM
tipe 2 mempunyai onset pada usia pertengahan (40-an tahun), atau lebih tua, dan
cenderung tidak berkembang kearah ketosis. Kebanyakan penderita memiliki berat
badan yang lebih. Atas dasar ini pula, penyandang DM jenis ini dikelompokkan
menjadi dua : (1) kelompok obes dan (2) kelompok non-obes. Kemungkinan untuk
menderita DM tipe 2 akan berlipat ganda jika berat badan bertambah sebanyak 20%
di atas berat badan ideal dan usia bertambah 10 tahun atau di atas 40 tahun
(Arisman, 2011).
Gejala
muncul perlahan-lahan dan biasanya ringan (kadang-kadang bahkan belum
menampakkan gejala selama bertahun-tahun) serta progresivitas gejala berjalan
lambat. Koma hiperosmolar dapat terjadi pada kasus-kasus berat. Namun,
ketoasidosis jarang sekali muncul, kecuali pada kasus yang disertai stress atau
infeksi. Kadar insulin menurun atau bahkan tinggi, atau mungkin juga insulin
bekerja tidak efektif (Arisman, 2011).
Pengendaliannya
boleh jadi hanya berupa diet dan (jika tidak ada kontraindikasi) olahraga, atau
dengan pemberian obat hipoglisemik (Arisman, 2011).
Perbedaan DM tipe 1 dan 2 dapat digambarkan didalam
tabel di bawah ini:
DM tipe 1
|
DM tipe 2
|
|
Onset
|
Anak/dewasa
muda
(<25
tahun)
|
Biasanya
setelah usia pertengahan
|
Proporsi
|
<10% dari semua penyandang
DM
|
>90% dari semua penyandang
DM
|
Riwayat
Keluarga
|
Tidak
lazim
|
Sangat
lazim
|
Gejala
|
Akut/sub-akut
|
Lambat
|
Ketoasidosis
|
Sering
sekali
|
Jarang,
kecuali jika sakit/stress
|
Antibodi
ICA, GAD
|
Sangat sering positif
|
Biasanya negatif
|
Obesitas
saat onset
|
Tidak
obesitas
|
Obesitas
sebelum onset
|
Kaitan
dengan HLA tipe tertentu
|
Ada
|
Tidak ada
|
Kaitan
dengan penyakit autoimun
|
Kadang-kadang
ada
|
Tidak
ada
|
C-peptida
darah/urin
|
Sangat rendah
|
Rendah/normal/tinggi
|
Kegunaan
insulin
|
Penyelamat
nyawa
|
Kadang-kadang diperlukan
sebagai pengawasan gula darah
|
Penyebab
|
Pankreas tidak mampu membuat
insulin
|
Produksi insulin masih ada,
tetapi sel target tidak peka
|
Kegunaan
diet
|
Mengawasi
gula darah (makan/jajan harus diatur seputar pemberian insulin agar tidak
terjadi hipoglisemia)
|
Menurunkan
BB (jadwal tidak harus ketat, kecuali kalau insulin juga diberikan)
|
Kegunaan
latihan fisik
|
Merangsang sirkulasi dan
membantu tubuh dalam penggunaan insulin
|
Membuat tubuh menjadi lebih
peka terhadap insulinnya sendiri, di samping menggunakan energi untuk
mengurangi Berat Badan
|
3. DM tipe lain
Diabetes
jenis ini dahulu kerap disebut diabetes sekunder, atau DM tipe lain. Etiologi
diabetes jenis ini, meliputi : (a) penyakit pada pankreas yang merusak sel β,
seperti hemokromatosis, pankreatitis, fibrosis kistik; (b) sindrom hormonal
yang mengganggu sekresi dan/atau menghambat kerja insulin, seperti akromegali,
feokromositoma, dan sindrom Cushing; (c) obat-obat yang menggangu sekresi insulin
(fenitoin [Dilantin]) atau menghambat kerja insulin (estrogen dan
glukokortikoid); (d) kondisi tertentu yang jarang terjadi, seperti kelainan
pada reseptor insulin; dan (e) sindrom genetik. (Arisman, 2011)
Bila
dijabarkan lebih lanjut etiologi DM tipe lain :
- Defek genetik fungsi sel beta :
- Kromosom 12, HNF - 1α (dahulu Maturity Onset Diabetes of the Young (MODY) 3)
- Kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 2)
- Kromosom 20, HNF - 4α (dahulu MODY 1)
- Kromosom 13, insuli promoter factor – 1 (IPF – 1, dahulu MODY 4)
- Kromosom 17, HNF - 1β (dahulu MODY 5)
- Kromosom2, neuro D1(dahulu MODY 6)
- DNA mitokondria
- Defek genetik kerja insulin : resistensi insulin tipe A, leprechaunism, sindrom Rabson Mendenhall, diabetes lipatrofik, lainnya.
- Penyakit eksokrin pancreas : pancreatitis, trauma/pankreaktomi, neoplasma, fibrosis kistik, hemokromatosis, pankreatopati fibro kalkulus, lainnya.
- Endokrinopati: akromegali, sindrom cushing, feokromositoma, hipertiroidisme somatostatinoma, aldosteronoma, lainnya.
- Karena obat/zat kimia : vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid, hormone tiroid, diazoxid, agonis β adrenergic, tiazid, dilantin, interferon alfa, lainnya.
- Infeksi :rubella congenital, CMV, lainnya.
- Imunologi (jarang) : sindrom “stiff- man”, antibody anti reseptor insulin, lainnya.
- Sindrom genetik lain : sindrom down, sindrom klinefelter, sindrom turner, sindrom wolfram’s, ataksia friedriech’s, chorea Huntington, sindrom Laurence – Moon – Beild, distrofi miotonik, porfiria, sidrom Prader Willi, lainnya.
4. Diabetes Mellitus kehamilan
(DMK) / Gestasional
Diabetes
mellitus kehamilan didefinisikan sebagai setiap intoleransi glukosa yang timbul
atau terdeteksi pada kehamilan pertama, tanpa memandang derajat intoleransi
serta tidak memperhatikan apakah gejala ini lenyap atau menetap selepas
melahirkan. Diabetes jenis ini biasanya muncul pada kehamilan trimester kedua
dan ketiga. Kategori ini mencakup DM yang terdiagnosa ketika hamil (sebelumnya
tidak diketahui). Wanita yang sebelumnya diketahui telah mengidap DM, kemudian
hamil, tidak termasuk ke dalam kategori ini. (Arisman, 2011)
ANATOMI
- FISIOLOGI
Pankreas
merupakan sekumpulan kelenjar yang panjangnya kira – kira 15 cm, lebar 5 cm,
mulai dari duodenum sampai ke limpa dan beratnya rata – rata 60 – 90 gram.
Terbentang pada vertebrata lumbalis 1 dan 2 di belakang lambung.
Pankreas merupakan kelenjar endokrin terbesar yang terdapat di dalam tubuh baik hewan maupun manusia. Bagian depan ( kepala ) kelenjar pankreas terletak pada lekukan yang dibentuk oleh duodenum dan bagian pilorus dari lambung. Bagian badan yang merupakan bagian utama dari organ ini merentang ke arah limpa dengan bagian ekornya menyentuh atau terletak pada alat ini. Dari segi perkembangan embriologis, kelenjar pankreas terbentuk dari epitel yang berasal dari lapisan epitel yang membentuk usus.
Pankreas terdiri dari dua jaringan utama, yaitu :
- Asini sekresi getah pencernaan ke dalam duodenum.
- Pulau Langerhans yang tidak tidak mengeluarkan sekretnya keluar, tetapi menyekresi insulin dan glukagon langsung ke darah. (endokrin)
Pulau – pulau Langerhans yang menjadi sistem
endokrinologis dari pankreas tersebar di seluruh pankreas dengan jumlah hanya 1
– 5 % dari volume total pankreas dan menerima 10-15% aliran darah total
pankreas. Pulau langerhans berbentuk ovoid dengan besar masing-masing pulau
berbeda. Besar pulau langerhans yang terkecil adalah 50 mikrometer, sedangkan
yang terbesar 300 mikrometer, terbanyak adalah yang besarnya 100 – 225
mikrometer. Jumlah semua pulau langerhans di pankreas diperkirakan antara 1 – 2
juta.
Pulau langerhans manusia, mengandung tiga jenis sel
utama, yaitu :
- Sel - sel alpha, jumlahnya sekitar 20 – 40 % ; memproduksi glikagon yang manjadi faktor hiperglikemik, suatu hormon yang mempunyai “ anti insulin like activity “.
- Sel - sel beta, jumlahnya sekitar 60 – 80 % , membuat insulin.
- Sel - sel delta, jumlahnya sekitar 5 – 15 %, membuat somatostatin.
Gambaran pankreas beserta jaringan dan sel-selnya. Gambar dikutip dari picshype.com |
Masing - masing sel tersebut, dapat dibedakan berdasarkan struktur dan sifat pewarnaan. Di bawah mikroskop pulau-pulau langerhans ini nampak berwarna pucat dan banyak mengandung pembuluh darah kapiler. Pada penderita DM, sel beta sering ada tetapi berbeda dengan sel beta yang normal dimana sel beta tidak menunjukkan reaksi pewarnaan untuk insulin sehingga dianggap tidak berfungsi.
Insulin
merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808 Da untuk insulin manusia.
Molekul insulin terdiri dari dua rantai polipeptida yang tidak sama, yaitu
rantai A dan B. Kedua rantai ini dihubungkan oleh dua jembatan ( perangkai ),
yang terdiri dari disulfida. Rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B
terdiri dari 30 asam amino. Insulin dapat larut pada pH 4 – 7 dengan titik
isoelektrik 5,3 – 5,31. Sebelum insulin dapat berfungsi, ia harus berikatan
dengan protein reseptor yang besar di dalam membran sel.
Insulin
di sintesis sel beta pankreas dari proinsulin dan disimpan dalam butiran
berselaput yang berasal dari kompleks Golgi. Pengaturan sekresi insulin
dipengaruhi efek umpan balik kadar glukosa darah pada pankreas. Bila kadar
glukosa darah meningkat diatas 100 mg/100ml darah, sekresi insulin meningkat
cepat. Bila kadar glukosa normal atau rendah, produksi insulin akan menurun. Insulin merupakan zat utama
yang bertanggungjawab dalam mempertahankan kadar gula darah yang tepat. Insulin
menyebabkan gula berpindah ke dalam sel sehingga bisa menghasilkan energi atau
disimpan sebagai cadangan energi. Peningkatan kadar gula darah setelah makan atau minum
merangsang pankreas untuk menghasilkan insulin sehingga mencegah kenaikan kadar
gula darah yang lebih lanjut dan menyebabkan kadar gula darah menurun secara
perlahan.
Pada saat melakukan aktivitas fisik kadar gula darah
juga bisa menurun karena otot menggunakan glukosa untuk energi.
Selain
kadar glukosa darah, faktor lain seperti asam amino, asam lemak, dan hormon
gastrointestina merangsang sekresi insulin dalam derajat berbeda-beda. Fungsi
metabolisme utama insulin untuk meningkatkan kecepatan transport glukosa
melalui membran sel ke jaringan terutama sel – sel otot, fibroblas dan sel
lemak.
Pengaturan Kadar
Gula Darah Tubuh
Yang
berperan penting dalam fisiologi pengaturan kadar glukosa darah adalah hepar,
pankreas, adenohipofise dan kelenjar adrenal. Pengaruh lain berasal dari :
kelenjar tiroid, kerja fisik, serta faktor imunologi dan herediter.
a. Hepar
Setelah absorbsi makanan oleh usus, glukosa
dialirkan kehepar melalui vena porta. Sebagian dari glukosa tersebut disimpan
sebagai glikogen. Pada saat itu kadar glukosa dalam vena porta lebih tinggi
daripada vena hepatik. Setelah absorbsi selesai, glikogen dalam hepar dipecah
lagi menjadi glukosa. Pada saat ini kadar glukosa dalam vena hepatik lebih
tinggi daripada dalam vena porta. Jadi jelaslah bahwa hepar dalam hal ini
berperan sebagai glukostat.
Dalam
keadaan biasa, persediaan glikogen dalam hepar cukup untuk mempertahankan kadar
glukosa darah selama beberapa jam.
b. Pankreas
Sekresi insulin kedalam darah diatur oleh berbagai
faktor yaitu :
- Jumlah makanan yang masuk
- Hormon saluran cerna
- Hormon susunan saraf (baik susunan saraf otonom maupun susunan saraf pusat)
Berbagai
zat dalam makanan dapat merangsang sekresi insulin. Pada manusia glukosa
merupakan stimulus terkuat, dimana pemberian oral lebih kuat merangsang sekresi
insulin daripada pemberian intra vena. Perangsangan sekresi insulin ini dengan
perantaraan hormon intestinal. Yang dimaksud hormon intestinal adalah sekretin,
gastrin, pankreozimin, dan glukagon intestinal.
Selain
insulin, hormon pankreas yang juga penting ikut mengatur metabolisme
karbohidrat adalah glukagon. Glukagon menyebabkan glikogenolisis dengan jalan
merangsang adenilsiklase, suatu enzim yang penting untuk mengaktifkan enzim
fosforilase. Penurunan cadangan glikogen dalam hepar menyebabkan bertambahnya
deaminasi dan transaminasi asam amino, sehingga glukoneogenesis menjadi lebih
aktif.
c. Sistem
adrenergik (Kelenjar adenohipofise dan kelenjar adrenal)
Kerja
zat
adrenergik/simpatik/simpatomimetik
terhadap metabolisme adalah :
- Meningkatkan glikogenolisis dihepar dan otot rangka
- Meningkatkan lipolisis dan pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak
Hepar
mempunyai Glukosa 6 Phosfatase, tetapi otot rangka tidak mempunyai, sehingga
hepar melepas glukosa sedangkan otot rangka melepas asam laktat.
Zat
adrenergik juga menyebabkan
penghambatan sekresi insulin.
Diketahui
bahwa sekresi insulin distimulasi oleh aktifitas reseptor β (beta) adrenergik.
Tetapi dalam pengaruhnya, reseptor α (alpha) adrenergik lebih dominan dan ini
menghambat aktifitas reseptor β sehingga sekresi insulin dihambat.
Epinefrin
juga menyebabkan berkurangnya ambilan (uptake) glukosa oleh jaringan perifer,
akibatnya peningkatan kadar glukosa darah dan laktat darah, serta penurunan
glikogen dalam hepar dan otot rangka.
Epinefrin
meningkatkan aktifitas enzim lipase trigliserida dalam jaringan lemak sehingga
mempercepat pemecahan trigliserida menjadi asam lemak bebas (free fatty acid =
FFA) dan gliserol. Akibatnya kadar asam lemak bebas dalam darah menintgkat.
Aktifitas enzim lipase trigliserida tersebut terjadi karena aktifitas reseptor
β yang berakibat terbentuknya siklik AMP.
Pentingnya
pengaturan glukosa darah adalah karena secara normal glukosa merupakan
satu-satunya bahan makanan yang dapat digunakan oleh otak, retina, epitel
germinal gonad dalam jumlah yang cukup untuk menyuplai jaringan tersebut secara
optimal sesuai dengan energi yang dibutuhkannya. Oleh karena itu, konsentrasi
glukosa darah harus dipertahankan pada kadar normal. Konsentrasi glukosa darah
juga perlu dijaga agar tidak meningkat terlalu tinggi karena empat alasan
berikut : (1) glukosa dapat menimbulkan sejumlah besar tekanan osmotik dalam
cairan ekstrasel, dan bila konsentrasi glukosa meningkat sangat berlebihan,
akan dapat mengakibatkan timbulnya dehidrasi sel; (2) tingginya konsentrasi
glukosa darah menyebabkan keluarnya glukosa dalam air seni; (3) Hilangnya
glukosa melalui urin juga menimbulkan diuresis osmotik oleh ginjal, yang dapat
mengurangi jumlah cairan tubuh dan elektrolit; (4) peningkatan jangka panjang
glukosa darah dapat menyebabkan kerusakan pada banyak jaringan, terutama
pembuluh darah. Kerusakan vaskular, akibat diabetes melitus yang tidak
terkontrol, akan berakibat pada peningkatan risiko terkena serangan jantung,
stroke, penyakit ginjal stadium akhir dan kebutaan (Guyton, 2008).
Gambaran Pengaturan gula darah
yang normal (fisiologis)
|
PATOFISIOLOGI
Seperti
suatu mesin, tubuh memerlukan bahan untuk membentuk sel baru dan mengganti sel
yang rusak. Disamping itu juga memerlukan energi supaya sel tubuh dapat
berfungsi dengan baik. Energi sebagai bahan bakar itu berasal dari bahan makanan
yang terdiri dari karbohidrat, protein dan lemak.
Di
dalam saluran pencernaan makanan dipecah menjadi bahan dasar dari makanan itu.
Karbohidrat menjadi glukosa, protein menjadi asam amino dan lemak menjadi asam
lemak. Ketiga zat makanan itu akan diserap oleh usus kemudian masuk kedalam
pembuluh darah dan diedarkan ke seluruh untuk dipergunakan oleh organ-organ
didalam tubuh sebagai bahan bakar. Supaya dapat berfungsi sebagai bahan bakar,
zat makanan itu harus masuk dulu kedalam sel supaya dapat diolah. Di dalam sel,
zat makanan terutama glukosa dibakar melalui berbagai proses kimia, yang hasil
akhirnya adalah timbulnya energi. Proses ini disebut metabolisme. Dalam proses
metabolisme itu insulin (suatu zat/ hormon yang dikeluarkan oleh sel beta pankreas)
memegang peranan yang sangat penting yaitu bertugas memasukan glukosa ke dalam
sel, untuk selanjutnya digunakan sebagai bahan bakar. Insulin yang dikeluarkan
oleh sel beta dalam pulau-pulau Langerhans (kumpulan sel yang berbentuk pulau
di dalam pankreas dengan jumlah ± 100.000) yang jumlahnya sekitar 100 sel beta
tadi dapat diibaratkan sebagai anak kunci yang dapat membuka pintu masuknya
glukosa kedalam sel, untuk kemudian dimetabolisir menjadi tenaga. Bila insulin
tidak ada, maka glukosa tidak dapat masuk sel. Dan akibatnya glukosa akan tetap
berada didalam pembuluh darah, yang artinya kadarnya didalam darah meningkat.
Dalam keadaan seperti ini tubuh akan menjadi lemas karena tidak ada sumber
energi di dalam sel. Inilah yang terjadi pada DM tipe 1. Tidak adanya insulin
pada DM tipe 1 karena pada jenis ini timbul reaksi otoimun yang disebabkan
karena adanya peradangan pada sel beta (insulitis). Insulitis bisa disebabkan
karena macam-macam diantaranya virus, seperti virus cocksakie, rubela, CMV,
herpes, dan lain-lain. Kerusakan sel beta tersebut dapat terjadi sejak kecil
ataupun setelah dewasa (Suyono, 1999).
Sedangkan
pada DM tipe 2 jumlah insulin normal, malah mungkin lebih banyak. Tetapi jumlah
reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang. Reseptor ini
dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk kedalam sel. Pada keadaan
tadi jumlah lubang kuncinya yang kurang, hingga meskipun anak kuncinya
(insulin) banyak, tetapi karena lubang kuncinya (reseptor) kurang, maka glukosa
yang masuk sel akan sedikit sehingga sel akan kekurangan bahan bakar (glukosa)
dan glukosa di dalam pembuluh darah akan meningkat. Dengan demikian keadaan ini
sama dengan pada DM tipe 1. Perbedaanya adalah pada DM tipe 2 disamping kadar
glukosa tinggi, juga kadar insulin tinggi atau normal. Keadaan ini disebut
resistensi insulin (Suyono, 1999). Atau insulin yang tidak berfungsi
semestinya.
Penyebab
resistensi insulin pada DM tipe 2 sebenarnya tidak begitu jelas, tetapi
faktor-faktor di bawah ini banyak berperan, antara lain:
- Obesitas terutama yang bersifat sentral (bentuk apel)
- Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
- Kurang gerak badan
- Faktor keturunan (herediter)
Baik pada DM tipe 1 maupun pada DM tipe 2 kadar
glukosa darah jelas meningkat dan bila kadar itu melewati batas ambang ginjal,
maka glukosa itu akan keluar melalui urin. Mungkin inilah sebabnya penyakit ini
disebut juga penyakit kencing manis (Suyono, 1999).
Keadaan
normal kadar glukosa darah berkisar antara 70-110 mg/dl, setelah makan kadar
glukosa darah dapat meningkat 120-140 mg/dl dan akan menjadi normal dengan
cepat. Kelebihan glukosa dalam darah disimpan sebagai glikogen dalam hati dan
sel-sel otot (glicogenesis) yang diatur oleh hormon insulin yang
bersifat anabolik. Kadar glukosa darah normal dipertahankan selama keadaan
puasa karena glukosa dilepaskan dari cadangan-cadangan tubuh (glycogenolisisi)
oleh hormon glucagon yang bersifat katabolik (Arisman, 2011)
Mekanisme
regulasi kadar glukosa darah, hormon insulin merupakan satu-satunya hormon yang
menurunkan glukosa darah (PERKENI, 2006).
Insulin
adalah hormon protein dibuat dari dua rantai peptida (rantai A dan rantai
B) dihubungkan pada dua lokasi melalui jembatan disulfida. Dalam bentuk ini
lah insulin dilepaskan ke dalam darah dan beraksi pada sel target. Insulin
disintesa di dalam sel β di reticulum endoplasmik, sebagai rantai
peptida lebih besar yang disebut proinsulin (Mardiati, 2000).
Pada
diabetes melitus defisiensi atau resistensi hormon insulin menyebabkan kadar
gula darah menjadi tinggi karena menurunnya ambilan glukosa oleh jaringan otot
dan adiposa serta peningkatan pengeluaran glukosa oleh hati, akibatnya otot
tidak mendapatkan energi dari glukosa dan membuat alternatif dengan membakar
lemak dan protein (Mardiati, 2000). Dampak lebih jauh terjadi
komplikasi-komplikasi yang secara biokimia menyebabkan kerusakan jaringan atau
komplikasi tersebut akibat terdapatnya : (1) Glikosilasi, kadar gula yang
tinggi memudahkan ikatan glukosa pada berbagai protein yang dapat ireversibel
yang sering mengganggu fungsi protein; (2) Jalur poliol (peningkatan
aktifitas aldose reductase), jaringan mengandung aldose reductase (saraf,
ginjal, lensa mata) dapat menyebabkan metabolisme kadar gula yang tinggi
menjadi sorbitol dan fructose. Produk jalur poliol ini
berakumulasi dalam jaringan yang terkena menyebabkan bengkak osmotik dan
kerusakan sel (Salzler, Crawford dan Kumar, 2007).
Kasus
diabetes yang terbanyak dijumpai adalah diabetes mellitus tipe 2, yang umumnya
mempunyai latar belakang kelainan yang diawali
dengan terjadinya resistensi insulin. Awalnya resistensi insulin masih
belum menyebabkan diabetes secara klinik.Pada saat tersebut sel beta pancreas
masih dapat mengkompensasi keadaan ini dan terjadi suatu hiperinsulinemia dan
glukosa darah masih normal atau baru sedikit meningkat. Kemudian setelah
terjadi ketidak sanggupan sel beta pankreas, baru akan terjadi diabetes
mellitus secara klinik, yang ditandai dengan terjadinya peningkatan kadar
glukosa darah yang memenuhi kriteria diagnosis diabetes melitus.
Terjadinya
masalah kaki diawali adanya hiperglikemia pada penyandang DM yang menyebabkan
kelainan neuropati dan kelainan pada pembuluh darah.Hiperglikemi pada DM dapat
terjadi karena masukan karbohidrat yang berlebih, pemakaian glukosa di jaringan
tepi berkurang, akibat produksi glukosa hati yang bertambah, serta akibat
insulin berkurang jumlahnya maupun kerjanya. Dengan memperhatikan mekanisme
asal terjadinya hiperglikemi ini, dapat ditempuh berbagai langkah yang tepat
dalam usaha untuk menurunkan kadar glukosa darah sampai batas yang aman untuk
menghindari tejadinya komplikasi kronik DM.
Neuropati,
baik neuropati sensorik maupun motorik dan autonomik akan mengakibatkan
berbagai perubahan pada kulit dan otot, yang kemudian menyebabkan terjadinya
perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan selanjutnya akan mempermudah
terjadinya ulkus. Adanya kerentanan terhadap infeksi menyebabkan infeksi mudah
merebak menjadi infeksi yang luas. Faktor aliran darah yang kurang juga akan
lebih lanjut menambah rumitnya pengelolaan kaki diabetik.
Pasien
– pasien yang mengalami defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar
glukosa plasma puasa yang normal atau toleransi sesudah makan. Pada
hiperglikemia yng parah yang melebihi ambang ginjal normal ( konsentrasi
glukosa darah sebesar 160 – 180 mg/100 ml ), akan timbul glikosuria karena
tubulus – tubulus renalis tidak dapat menyerap kembali semua glukosa.
Glukosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang menyebabkan poliuri
disertai kehilangan sodium, klorida, potasium, dan pospat. Adanya poliuri
menyebabkan dehidrasi dan timbul polidipsi. Akibat glukosa yang keluar bersama
urine maka pasien akan mengalami keseimbangan protein negatif dan berat badan
menurun serta cenderung terjadi polifagi. Akibat yang lain adalah astenia atau
kekurangan energi sehingga pasien menjadi cepat telah dan mengantuk yang
disebabkan oleh berkurangnya atau hilangnya protein tubuh dan juga berkurangnya
penggunaan karbohidrat untuk energi.
Hiperglikemia
yang lama akan menyebabkan arterosklerosis, penebalan membran basalis dan
perubahan pada saraf perifer. Ini akan memudahkan terjadinya gangren.
DIAGNOSIS
DM
tipe 2 jarang didiagnosis
sebelum
komplikasi dari DM muncul, dan 1/3 dari masyarakat mungkin belum terdiagnosis. Diagnosis
DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis tidak dapat
ditegakkan atas dasar adanya glukosuria
saja, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah
pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan
bahan darah plasma vena.
Penggunaaan darah utuh (Whole Blood), vena ataupun
kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka – angka kriteria
diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO.
Tes
yang memungkinkan untuk diperiksa pada pasien diabetes adalah : gula darah
puasa, tes oral toleransi glukosa, dan pemerikasaan HbA1C. Sedangkan untuk
tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila
terdapatkeluhan klasik dan keluhan
lain DM seperti tersebut dibawah ini .
- Keluhan klasik DM berupa : Poliuria, Polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dijelaskan sebabnya.
- Keluhan lainnya berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Diabetes
Mellitus tipe 2 merupakan diabetes dengan defek progresif pada sekresi insulin
akibat resistensi insulin. Diagnosis diabetes apabila seseorang memenuhi satu
atau lebih dari kriteria di bawah ini .
No.
|
Kriteria diagnosis DM
|
1.
|
A1C > 6,5 pada
dua kali pemeriksaan
(Tes
A1C harus dilakukan menggunakan laboratorium yang menggunakan metode
berstandar Program Nasional Glikohemoglobin)
|
2.
|
Gejala
klasik + kadar glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL (7,0 mmol/L)
Puasa
diartikan pasen tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
Atau
|
3.
|
Kadar
glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 m/dL (11,1 mmol/L)
TTGO
dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75
gr glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air
Atau
|
4.
|
Gejala
klasik + glukosa darah sewaktu ≥ 200
mg/dL (11,1 mmol/L)
Glukosa
plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan yang sesaat pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu makan teakhir
|
Ada
perbedaan antara uji diagnostik
DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang sudah
menunjukkan gejala/tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk
mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, namun memiliki resiko
DM. Pemeriksaan
penyaring dikerjakan pada kelompok dengan salah satu resiko DM sebagai berikut
- Usia > 45 thn.
- Berat badan lebih : . 110 % berat badan idaman atau indeks massa tubuh (IMT) 23
kg/m2.
- Hipertensi (TD ≥ 140/90 mmHg)
- Riwayat DM dalam garis keturunan
- Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat, atau BB lahir bayi
> 4.000 gr
- Riwayat DM gestasional
- Riwayat toleransi gula terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa
terganggu (GDPT)
- Memiliki riwayat penyakit kardiovaskuler.
- Kolesterol HDL ≤35 mg/dL dan atau trigliserida ≥250 mg/dL.
Pemeriksaan
penyaring berguna untuk menjaring pasien potensial
DM, terutama
adalah TGT dan GDPT. Populasi dengan TGT dan GDPT
merupakan tahapan sementara menuju DM. Setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok
TGT akan berkembang menjadi DM, 1/3 tetap TGT dan 1/3 lainnya kembali normal.
Adanya TGT berkaitan dengan resistensi insulin.
Pre
diabetes merupakan keadaan hiperglikemi yang belum memenuhi kriteria untuk diabetes, namun sudah menunjukkan kenaikan
gula darah, golongan
ini dapat
beresiko menjadi diabetes tipe 2. Diagnosis untuk pre diabetes dibuat saat
seseorang memenuhi satu atau lebih criteria dibawah ini
- A1C 5,7% - 6,4% (sesuai dengan spesifikasi laboratorium)
- Gula darah Puasa 100mg/dl – 125 mg/dl
- Tes oral toleransi glukosa-2 jam plasma : 140 mg/dl – 199 mg/dl
Sedangkan
modifikasi faktor resiko pada kaki diabetik adalah :
- Stop merokok
- Memperbaiki berbagai resiko terkait aterosklerosis seperti :
- Hiperglikemia
- Hipertensi
- Dislipidemia
Kadar
glukosa darah sewaktu dan glukosa darah puasa sebagai patokan penyaring dapat
dilihat pada table berikut :
Bukan DM
|
Belum pasti
|
DM
|
||
Kadar glukosa darah sewaktu (mg/dL)
|
Plasma
vena
Darah
kapiler
|
<
100
< 90
|
100 –
199
90 –
199
|
≥ 200
≥ 200
|
Kadar glukosa darah puasa (mg/dL)
|
Plasma vena
Darah kapiler
|
<100
<90
|
100 – 125
90 - 99
|
≥ 126
≥ 126
|
Catatan : untuk kelompok resiko tinggi yang tidak mempunyai kelainan hasil, dilakukan ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia >45 thn tanpa resiko lain, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.
Skema Diagnosis Diabetes Melitus |
DIAGNOSIS BANDING
- Hiperglikemia reaktif
- Toleransi Glukosa Terganggu (TGT)
- Glukosa darah puasa terganggu (GDPT)
KOMPLIKASI
Tingkat
prevalensi diabetes melitus cukup tinggi. Di duga terdapat sekitar 16 juta
kasus diabetes di Amerika Serikat dan setiap tahunnya didiagnosis 600.000 kasus
baru. Diabetes merupakan penyebab kematian ketiga di Amerika Serikat dan
merupakan penyebab utama kebutaan pada orang dewasa akibat retinopati diabetik.
Pada usia yang sama, penderita diabetes paling sedikit dua setengah kali
lebih sering terkena serangan jantung dibandingkan dengan mereka yang tidak
menderita diabetes. Tujuh puluh lima persen penderita diabetes akhirnya
meninggal karena penyakit vaskuler. Serangan jantung. Gagal ginjal, stroke dan
gangren adalah komplikasi yang paling utama. Selain itu, kematian fetus
intrauterin pada ibu-ibu yang menderita tidak terkontrol juga cukup banyak
ditemukan.
Apabila
glukosa darah tidak terkontrol dengan baik, beberapa tahun kemudian hampir
selalu akan timbul komplikasi. Komplikasi akibat diabetes dapat dibagi dalam
dua kelompok besar:
a. Komplikasi akut.
Timbul secara mendadak. Ini merupakan keadaan gawat
darurat. Keadaan ini bisa menjadi fatal apabila tidak ditangani dengan segera.
Termasuk dalam kelompok ini adalah hipoglikemia(glukosa darah terlalu rendah),
hiperglikemia(glukosa darah terlalu tinggi), dan terlalu banyak asam dalam
darah (ketoasidosis diabetik).
b. Komplikasi kronis.
Timbul secara perlahan, kadang tidak diketahui,
tetapi akhirnya berangsur menjadi makin berat dan membahayakan. Misalnya,
komplikasi pada saraf (neoropati), mata (retinopati, katarak, glaukoma), ginjal
(nefropati), jantung (angina, serangan jantung, tekanan darah tinggi, PJK),
pembuluh darah, hati (hepatitis, perlemakan hati/ fatty liver, batu empedu), tuberkulosis paru, gangguan saluran makan, infeksi sehingga mengganggu
fungsi kekebalan tubuh dan penyakit kulit(Bruise,vitiligo, necrobiosis
lipoidica, xanthelasma, alopecia, lipohypertrophy/ hipertropi
insulin, lipoatropi insulin, kulit kering karena
kerusakan saraf otonom sehingga keringat menjadi
berkurang, infeksi jamur seringkali diantara jari kaki, acanthosis nigricans /
penimbunan pigmen gelap dibelakang leher dan ketiak, kulit yang menebal pada
penderita DM yang lebih dari 10 tahun).
Komplikasi akut pada diabetes mellitus antara lain
(Boedisantoso R, 2007) :
a. Hipoglikemia
Hipoglikemia
adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan penurunan glukosa darah
< 60 mg/dl. Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrinergic (berdebar,
banyak keringat, gemetar, rasa lapar) dan gejala neuroglikopenik (pusing,
gelisah, kesadaran menurun sampai koma). Penyebab tersering hipoglikemia adalah
akibat obat hipoglikemia oral golongan sulfonilurea, khususnya klorpropamida
dan glibenklamida. Penyebab tersering lainnya antara lain : makan kurang dari
aturan yang ditentukan, berat badan turun, sesudah olahraga, sesudah melahirkan
dan lain-lain.
b. Ketoasidosis
Diabetik
ketoasidosis
diabetik (KAD) merupakan defisiensi insulin berat dan akut dari suatu
perjalanan penyakit DM yang ditandai dengan trias hiperglikemia, asidosi dan
ketosis. Timbulnya KAD merupakan ancaman kematian pada pasien DM.
c. Hiperglikemia
Non Ketotik
Hiperosmolar
Hiperglikemik Non Ketotik ditandai dengan hiperglikemia, hiperosmolar tanpa
disertai adanya ketosis. Gejala klinis utama adalah dehidrasi berat,
hiperglikemia berat dan sering kali gangguan neurologis dengan atau tanpa
adanya ketosis.
Akibat
kadar gula darah yang tidak terkontrol dan meninggi terus menerus yang
dikarenakan tidak dikelola dengan baik mengakibatkan adanya pertumbuhan sel dan
juga kematian sel yang tidak normal. Perubahan dasar itu terjadi pada endotel
pembuluh darah, sel otot pembuluh darah maupun pada sel masingeal ginjal,
semuanya menyebabkan perubahan pada pertumbuhan dan kematian sel yang akhirnya
akan menjadi komplikasi vaskular DM. Struktur pembuluh darah, saraf dan
struktur lainnya akan menjadi rusak. Zat kompleks yang terdiri dari gula di
dalam dinding pembuluh darah menyebabkan pembuluh darah menebal dan mengalami
kebocoran. Akibat penebalan ini maka aliran darah akan berkurang, terutama
menuju kulit dan saraf. Akibat mekanisme di atas akan menyebabkan beberapa
komplikasi antara lain (Waspadji, 2006) :
d. Retinopati
Terjadinya
gangguan aliran pembuluh darah sehingga mengakibatkan terjadi penyumbatan
kapiler. Semua kelainan tersebut akan menyebabkan kelainan mikrovaskular.
Selanjutnya sel retina akan berespon dengan meningkatnya ekspresi faktor
pertumbuhan endotel vaskular yang selanjutnya akan terbentuk neovaskularisasi
pembuluh darah yang menyebabkan glaukoma. Hal inilah yang menyebabkan kebutaan.
e. Nefropati
Hal-hal
yang dapat terjadi antara lain : peningkatan tekanan glomerular dan disertai
dengan meningkatnya matriks ektraseluler akan menyebabkan terjadinya penebalan
membran basal yang akan menyebabkan berkurangnya area filtrasi dan kemudian
terjadi perubahan selanjutnya yang mengarah terjadinya glomerulosklerosis.
Gejala-gejala yang akan timbul dimulai dengan mikroalbuminuria dna kemudian
berkembang menjadi proteinuria secara klinis selanjutnya akan terjadi penurunan
fungsi laju filtrasi glomerular dan berakhir dengan gagal ginjal.
f. Neuropati
Yang
paling sering dan paling penting gejala yang timbul berupa hilangnya sensasi
distal atau seperti kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri dan lebih terasa
sakit dimalam hari.
g. Penyakit jantung
koroner
Kadar
gula darah yang tidak terkontrol juga cenderung menyebabkan kadar zat berlemak
dalam darah meningkat, sehingga mempercepat aterosklerosis (penimbunan plak
lemak di dalam pembuluh darah). Aterosklerosis ini 2-6 kali lebih sering
terjadi pada penderita DM. Akibat aterosklerosis akan menyebabkan penyumbatan
dan kemudian menjadi penyakit jantung koroner.
h. Penyakit
pembuluh darah kapiler
Mengenali
dan mengelola berbagai faktor risiko terkait terjadinya kaki diabetes dan ulkus
diabetes merupakan hal yang paling sering pada penyakit pembuluh darah perifer
yang dikarenakan penurunan suplai darah di kaki.
Komplikasi
jangka panjang dari diabetes
Organ atau jaringan yang terkena
|
Yang terjadi
|
Komplikasi
|
Pembuluh
darah
|
Plak
aterosklerotik terbentuk & menyumbat arteri berukuran besar atau sedang
di jantung, otak, tungkai & penis.
Dinding pembuluh darah kecil mengalami kerusakan sehingga pembuluh tidak dapat mentransfer oksigen secara normal & mengalami kebocoran |
Sirkulasi
yg jelek menyebabkan penyembuhan luka yg jelek & bisa menyebabkan penyakit
jantung, stroke, gangren kaki & tangan, impoten & infeksi
|
Mata
|
Terjadi
kerusakan pada pembuluh darah kecil retina
|
Gangguan
penglihatan & pada akhirnya bisa terjadi kebutaan
|
Ginjal
|
|
Fungsi
ginjal yg buruk (Gagal ginjal)
|
Saraf
|
Kerusakan
saraf karena glukosa tidak dimetabolisir secara normal & karena aliran
darah berkurang
|
|
Sistem saraf otonom
|
Kerusakan
pada saraf yg mengendalikan tekanan darah & saluran pencernaan
|
|
Kulit
|
Berkurangnya
aliran darah ke kulit & hilangnya rasa yg menyebabkan cedera berulang
|
Luka, infeksi dalam (ulkus diabetikum)
Penyembuhan luka yg jelek
|
Darah
|
Gangguan
fungsi sel darah putih
|
Mudah
terkena infeksi, terutama infeksi saluran kemih & kulit
|
Jaringan
ikat
|
Glukosa tidak
dimetabolisir secara normal sehingga jaringan menebal atau berkontraksi
|
Sindroma terowongan karpal Kontraktur
Dupuytren
|
Kaki Diabetik
Faktor –
faktor yang berpengaruh atas terjadinya gangren kaki diabetik dibagi menjadi
endogen dan faktor eksogen.
Faktor
endogen :
- Genetik, metabolik
- Angiopati diabetik
- Neuropati diabetik
Faktor
eksogen :
- Trauma
- Infeksi
- Obat
Seperti disebutkan sebelumnya kadar
gula darah yang tinggi yang berlangsung
lama akan menyebabkan arterosklerosis, penebalan
membran basalis dan perubahan pada saraf perifer. Hal ini akan meningkatkan kemungkinan
terjadinya gangren.
Ada
dua teori utama mengenai terjadinya komplikasi kronik DM akibat hiperglikemia,
yaitu teori sorbitol dan teori glikosilasi.
1. Teori Sorbitol
Hiperglikemia
akan menyebabkan penumpukan kadar glukosa pada sel dan jaringan tertentu dan
dapat mentransport glukosa tanpa insulin. Glukosa yang berlebihan ini tidak
akan termetabolisasi habis secara normal melalui glikolisis, tetapi sebagian
dengan perantaraan enzim aldose reduktase akan diubah menjadi sorbitol.
Sorbitol akan tertumpuk dalam sel / jaringan tersebut dan menyebabkan kerusakan
dan perubahan fungsi.
2. Teori Glikosilasi
Akibat
hiperglikemia akan menyebabkan terjadinya glikosilasi pada semua protein,
terutama yang mengandung senyawa lisin. Terjadinya proses glikosilasi pada
protein membran basal dapat menjelaskan semua komplikasi baik makro maupun
mikro vaskular.
Terjadinya
Kaki Diabetik (KD) sendiri disebabkan oleh faktor – faktor disebutkan sebelumnya.
Faktor utama yang berperan timbulnya KD adalah angiopati, neuropati dan
infeksi. Neuropati merupakan faktor penting untuk terjadinya KD. Adanya
neuropati perifer akan menyebabkan terjadinya gangguan sensorik maupun motorik.
Gangguan sensorik akan menyebabkan hilang atau menurunnya sensasi nyeri pada
kaki, sehingga akan mengalami trauma tanpa terasa yang mengakibatkan terjadinya
ulkus pada kaki gangguan motorik juga akan mengakibatkan terjadinya atrofi otot
kaki, sehingga merubah titik tumpu yang menyebabkan ulsetrasi pada kaki pasien.
Angiopati akan menyebabkan terganggunya aliran darah ke kaki. Apabila sumbatan
darah terjadi pada pembuluh darah yang lebih besar maka penderita akan merasa
sakit tungkainya sesudah ia berjalan pada jarak tertentu. Manifestasi gangguan
pembuluh darah yang lain dapat berupa : ujung kaki terasa dingin, nyeri kaki di
malam hari, denyut arteri hilang, kaki menjadi pucat bila dinaikkan. Adanya
angiopati tersebut akan menyebabkan terjadinya penurunan asupan nutrisi,
oksigen (zat asam) serta antibiotika sehingga menyebabkan luka sulit sembuh
(Levin,1993). Infeksi sering merupakan komplikasi yang menyertai KD akibat
berkurangnya aliran darah atau neuropati, sehingga faktor angiopati dan infeksi
berpengaruh terhdap penyembuhan atau pengobatan dari KD.
Klasifikasi gangren kaki
diabetik
Wagner
(1983) membagi gangren kaki diabetik menjadi enam tingkatan , yaitu :
- Derajat 0 : Tidak ada lesi terbuka, kulit masih utuh dengan kemungkinan disertai kelainan bentuk kaki seperti “ claw,callus “.
- Derajat I : Ulkus superfisial terbatas pada kulit.
- Derajat II : Ulkus dalam menembus tendon dan tulang.
- Derajat III : Abses dalam, dengan atau tanpa osteomielitis.
- Derajat IV : Gangren jari kaki atau bagian distal kaki dengan atau tanpa selulitis.
- Derajat V : Gangren seluruh kaki atau sebagian tungkai.
Sedangkan
Brand (1986) dan Ward (1987) membagi gangren kaki menjadi dua golongan :
1. Kaki
Diabetik akibat Iskemia ( KDI )
Disebabkan
penurunan aliran darah ke tungkai akibat adanya makroangiopati (
arterosklerosis ) dari pembuluh darah besar ditungkai, terutama di daerah
betis.
Gambaran
klinis KDI :
- Penderita mengeluh nyeri waktu istirahat.
- Pada perabaan terasa dingin.
- Pulsasi pembuluh darah kurang kuat.
- Didapatkan ulkus sampai gangren.
2. Kaki Diabetik akibat Neuropati ( KDN )
Terjadi
kerusakan syaraf somatik dan otonomik, tidak ada gangguan dari sirkulasi.
Klinis di jumpai kaki yang kering, hangat, kesemutan, mati rasa, oedem kaki,
dengan pulsasi pembuluh darah kaki teraba baik.
Diabetic honey moon period/phase
Diabetic honey moon period/phase adalah keadaan seolah-olah pasien dengan diagnosis diabetes melitus tipe 1 mengalami kesembuhan total padahal tidak. Beberapa pasien terutama anak-anak yang terdiagnosis diabetes melitus tipe 1 dapat mengalami hal ini, yaitu setelah pasien tersebut menerima terapi insulin yang sesuai dan teratur, mengalami perbaikan gejala dan hasil pembacaan laboratorium yang normal sehingga seakan-akan mengalami 'kesembuhan'. Sebagai contoh pasien sebelum menerima terapi insulin, nilai gula darah, hba1c dan c-peptide semua menunjukkan diagnosis diabetes melitus tipe 1 namun setelah terapi insulin dalam jangka waktu tertentu, semua hasil pembacaan laboratorium tersebut dalam batas normal bahkan dapat setelah terapi insulin dihentikan sampai berbulan-bulan. Hal ini dapat dijelaskan dengan patofisiologi diabetes melitus tipe 1 yaitu dengan hancurnya sel islet penghasil insulin pada pankreas, namun pada saat pasien terdiagnosis DM tipe 1 bisa saja masih terdapat sel islet yang tersisa, dan dengan pemberian insulin eksogen melalui terapi, insulin dari terapi tersebut dapat mempengaruhi sel islet tadi untuk menghasilkan jumlah insulin yang cukup untuk sementara waktu tertentu. Waktu 'kesembuhan palsu' atau periode 'bulan madu' ini dapat bervariasi pada pasien-pasien yang berbeda dari waktu berminggu-minggu bahkan sampai bertahun-tahun, namun setelah berakhir akan kembali menunjukkan gejala dan tanda diabetes melitus tipe 1, maka sebaiknya hal ini diperhatikan oleh praktisi medis di sentra pelayanan kesehatan masing-masing.
PENATALAKSANAAN
DAN PENGOBATAN
Penatalaksanaan
Diabetes Melitus dapat dilakukan dengan cara pengelolaan yang baik. Tujuan
penatalaksanaan secara umum menurut PERKENI (2006) adalah meningkatkan kualitas
hidup penderita Diabetes.
Penatalaksanaan
dikenal dengan empat pilar penatalaksanaan diabetes melitus, yang
meliputi : edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan pengelolaan
farmakologis. Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum
mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik
oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera
diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam
keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat
badan yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera
diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala
hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien, sedangkan
pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat
pelatihan khusus (PERKENI, 2006).
1. Edukasi
Diabetes
Melitus umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk
dengan kokoh. Keberhasilan pengelolaan diabetes mandiri membutuhkan partisipasi
aktif penderita, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan harus mendampingi
penderita dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan
perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif pengembangan
ketrampilan dan motivasi. Edukasi secara individual dan pendekatan berdasarkan
penyelesaian masalah merupakan inti perubahan perilaku yang berhasil. Perubahan
perilaku hampir sama dengan proses edukasi yang memerlukan penilaian,
perencanaan, implementasi, dokumentasi dan evaluasi (PERKENI, 2006).
2. Terapi Gizi Medis
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan
komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein, lemak, sesuai dengan
kecukupan gizi baik sebagai berikut (PERKENI, 2006):
•
Karbohidrat
: 45 – 65% total asupan energi
•
Protein
: 10 – 20% total asupan energi
•
Lemak
: 20 – 25 % kebutuhan kalori
Jumlah
kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut, dan
kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal. Jumlah
kalori yang diperlukan dihitung dari berat badan ideal dikali kebutuhan kalori
basal (30 Kkal/kg BB untuk laki-laki dan 25 Kkal/kg BB untuk wanita). Kemudian
ditambah dengan kebutuhan kalori untuk aktifitas, koreksi status gizi, dan
kalori yang diperlukan untuk menghadapi stres akut sesuai dengan kebutuhan.
Pada dasarnya kebutuhan kalori pada diabetes tidak berbeda dengan non diabetes
yaitu harus dapat memenuhi kebutuhan untuk aktifitas baik fisik maupun psikis
dan untuk mempertahankan berat badan supaya mendekati ideal (PERKENI, 2006).
3. Latihan Jasmani
Kegiatan
jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu
selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM
tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan
tangga, berkebun harus tetap dilakukan Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan
Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006. Latihan jasmani selain untuk menjaga
kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas
insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang
dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti : jalan kaki,
bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya
disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif
sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah
mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang
gerak atau bermalas-malasan (PERKENI, 2006).
Tabel Anjuran
Aktivitas Fisik Sehari-hari
Kurangi
dan hindari aktivitas sedentari
|
Misalnya : menonton televisi, main game komputer, menggunakan
internet
|
Persering
aktivitas fisik tinggi pada waktu luang
|
Misalnya : jalan cepat, olah
otot, bersepeda, sepak bola, bola basket
|
Biasakan
aktivitas harian yang bergaya hidup sehat
|
Misalnya :
berjalan kaki ke
pasar (tidak menggunakan
mobil), menggunakan tangga (tidak menggunakan lift), menemui rekan kerja
(tidak hanya melalui telepon seluller), jalan dari tempat parkir yang jauh
|
Sumber : Konsesus Pengelolaan DM Tipe-2 di
Indonesia, PERKENI 2006
4. Pengelolaan
Farmakologis
I. Hipoglikemik
Oral (OHO).
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4
golongan, antara lain (Soegondo,2007) :
A. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) :
sulfonilurea dan glinid
a. Sulfonilurea
Obat
golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal
dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih.
Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti
orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit
kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.
b. Glinid
Glinid
merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan
pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2
macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat
fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral
dan diekskresi secara cepat melalui hati.
B. Penambah sensitivitas terhadap insulin : tiazolidindion
Tiazolidindion
Tiazolidindion
(rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR-γ), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak.
Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan
jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di
perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung
klas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan
faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan
pemantauan faal hati secara berkala.
C. Penghambat glukoneogenesis (metformin) Metformin
Metformin
Obat
ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di
samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada
penyandang diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin > 1,5 mg/dL) dan hati, serta
pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro-
vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek
samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau
sesudah makan.
D. Penghambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase
alfa
Obat
ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak
menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering
ditemukan ialah kembung dan flatulens. Mekanisme kerja OHO, efek samping utama,
serta pengaruh obat terhadap
penurunan A1C dapat dilihat pada tabel 2.6
(Soegondo, 2007).
Tabel Mekanisme
kerja, efek-samping utama dan pengaruh terhadap penurunan A1C (Hb-glikosilat)
Cara kerja utama
|
Efek samping utama
|
Penurunan A1C
|
|
Sulfonilurea
|
Meningkatkan sekresi insulin
|
BB naik, Hipoglikemia
|
1,5-2%
|
Glinid
|
Meningkatkan
sekresi insulin
|
BB naik, Hipoglikemia
|
?
|
Metformin
|
Menekan produksi glukosa hati
dan menambah sensitivitas terhadap insulin
|
Diare, dispepsia, asidosis
laktat
|
1,5-2%
|
Penghambat
Glukosidase Alfa
|
Menghambat
absorpsi glukosa
|
Flatulens, tinja lembek
|
0,5-1,0%
|
Tiazolidindion
|
Menambah sensitivitas terhadap
insulin
|
Edema
|
1,3%
|
Sumber : Buku
Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu, 2007
Menurut Tjokroprawiro Askandar, dkk, 2007, syarat
OHO berhasil baik bila diet dan latihan fisik
harus dilaksanakan dengan benar (3J),
Jumlah-Jadwal-Jenis dan diberikan pada penderita yang:
- Umur > 40 tahun.
- Lama DM-nya kurang dari 5 tahun.
- Belum pernah suntik insulin, atau bila pernah suntik insulin, kebutuhan insulin kurang dari 20 unit/ hari.
Penjabaran
lebih lanjut OHO :
1.
Sulfonilurea: tolbutamida, klorpropamida, tolazamida (
Tolinase ), glibenklamida, gliklazida, glipizida, dan glikidon. Empat
obat terakhir di namakan obat-obat generasi ke-2, daya kerjanya atas
dasar bobot 10-100 lebih kuat daripada
ketiga obat pertama yang termasuk obat-obat generasi ke-1..
Obat generasi ke-2 terbaru (1996) adalah glimepirida (Amaryl)
(15). Resorpsinya dari usus umumnya lancar dan lengkap, sebagian besar
terikat pada protein: antara 90-99%. Plasma-t 1/2-nya berkisar antara 4-5 jam (
tolbutamida,
glipizida ), 6-7 jam ( glibenklamida )
sampai 10 jam ( klorpropamida ).
Farmakodinamik: Penurunan kadar glukosa disebabkan oleh
perangsangan sekresi insulin di pancreas yang berbeda dengan perangsangan oleh
glukosa, karena ternyata pada saat hiperglikemia gagal merangsang sekresi
insulin dalam jumlah yang mencukupi, obat-obat tersebut masih mampu merangsang
sekresi insulin. Itulah disebabnya mengapa obat-obat ini sangat bemanfaat pada
penderita diabetes dewasa yang pankreasnya masih mampu memproduksi insulin.
Pada dosis tingggi, sulfonilurea menghambat penghancuran insulin pada hati.
Farmakokinetika. Absorsi
derivat sulfonilurea melalui usus baik, sehingga dapat diberikan peroral.
Setelah absorpsi, obat ini tersebar ke seluruh cairan ekstrasel. Dalam plasma
sebagian terikat pada protein plasma terutama albumin ( 70%-90% ).
Mula kerja serta farmakokinetiknya berbeda-beda untuk
setiap sediaan. Mula kerja tolbutamid cepat dan kadar maksimal dicapai dalam
3-5 jam. Dalam darah tolbultamid terikat
protein plasma. Di dalam hati
obat ini diubah menjadi karboksitolbutamid dan diekskresi melalui ginjal.
Farmakologi dan Indikasi
Sulfonilurea adalah turunan sulfanilamid tetapi tidak
mempunyai aktivitas antibakteri. Golongan ini bekerja merangsang sekresi
insulin di pankreas sehingga hanya efektif bila sel b-pankreas
masih dapat berproduksi.
Indikasi
: diabetes mellitus tipe II.
Kontra indikasi
Hipersensitif terhadap sulfonilurea, komplikasi
diabetes karena ketoasidosis dengan atau tanpa koma, komplikasi diabetes karena
kehamilan.
Efek samping : Hipoglikemia hingga koma tentu
dapat timbul. Reaksi ini lebih sering terjadi pada pasien usia lanjut dengan
gangguan fungsi hepar atau ginjal,
terutama yang menggunakan sediaan jangka panjang. Efek samping lain, reaksi
alergi jarang sekali terjadi, mual, muntah, diare, gejala hematologik, gangguan
saluran cerna, vertigo, bingung, ataksia dan sebagainya.
Peringatan : Sulfonilurea tidak boleh
diberikan sebagai obat tunggal pada pasien yang kebutuhan insulinnya tidak
stabil, DM berat, DM dengan kehamilan dan keadaan gawat. Obat-obat tersebut
harus digunakan dengan sangat hati – hati pada DM dengan gangguan fungsi hepar
dan ginjal, insufisiensi endokrin, keadaan gizi buruk dan pada pasien yang
mendapat obat golongan lain. Juga penggunaanya harus berhati-hati pada lakoholisme
akut serta pasien yang mendapat diuretik tiazid.
Interaksi : Obat yang dapat meningkatkan
risiko hipoglikemia sewaktu penggunaan sulfonilurea ialah insulin, alkohol,
fenfomin, sulfonamid, salisilat dosis besar, probenezid, kloramfenikol,
penghambat MAO, guanetidin, anabolic steroid, fenfluramin dan
klofibrat.Propanolol dan penghambat adrenoreseptor β lainnya menghambat reaksi
takikardia, berkeringat dan tremor pada hipoglikemia oleh berbagai sebab
termasuk oleh ADO sehingga keadaan hipoglikemiamenjadi lebih hebat tanpa
diketahui.
Turunan zatnya:
- Asetoheksamid cepat mengalami biotransformasi, masa paruh plasma hanya ½-2 jam tapi dalam tubuh di ubah menjadi 1-hidroksiheksamid yang lebih kuat efek hifokglikemianya daripada asetoheksamid sendiri. Selain itu 1-hidroksiheksamid masa paruh lebih panjang ( 4-5 jam ) sehingga efek asetoheksamid lebih lama dari tolbutamid. 10% dari metabolit asetoheksamid diekskresi melalui empedu dan di keluarkan bersama tinja.
- Tolazamid diserap lambat di usus dari pada sediaan yang lain: efeknya terhadap kadar glukosa darah belum nyata untuk beberapa jam setelah obat diberikan. Masa paruh kira-kira 7 jam. Dalam tubuh tolazamid diubah menjadi p-karboksitolazamid 4 -hidkoksimetiltolazamid dan senyawa-senyawa lain: beberapa di antaranya memiliki sifat hipoglikemik yang cukup kuat.
- Klorpropamid cepat diserap oleh usus, 70-80% di metabolisme dalam hati dan metabolitnya cepat diekskresi melalui ginjal. Dalam darah obat ini terkait albumin: masa paruhnya kira-kira 36 jam sehingga efeknya masih terlihat beberapa hari setelah pengobatan dihentikan. Efek hipoglikemik maksimal dosis tunggal terjadi kira-kira 10 jam setelah obat itu diberikan. Efek maksimal pemberian berulang, baru mencapai setelah 1-2 minggu. Sedangkan ekskresinya baru lengkap setelah beberapa minggu. Dosis: permulaan 1 x sehari 250 mg pagi hari, dan pasien lansia: 125 mg
- Glipizid, mirip dengan sufonilurea lainnya, kekuatan 100 x lebih kuat dari tolbutamid, tapi efek hipoglikemia maksimal mirip dengan sulfonilurea lain. Dengan dosis tunggal pagi hari terjadi peninggiaan kadar insulin selama 3x makan, tetapi insulin puasa tidak meningkat. Diabsorpsi lengkap sesudah pemberian oral dan cepat dimatabolisme dalam hati menjadi tidak aktif dan kira-kira 10% obat yang utuh diekskresi melalui ginjal. Dosis: 1 x sehari 2,5 – 5 mg ½ jam a.c, dan maksimal 3 x sehari 15 mg.
- Glibenklamid, disebut sebagai insulin seretagogues, kerjanya merangsang insulin dari granul sel – sel β Langerhans pankreas. Rangsangannya melalui interaksinya dengan ATP - sensitive K channel pada membran sel – sel β yang menimbulkan depolarisasi membran dan keadaan ini akan membuka kanal Ca. Dengan terbukanya kanal Ca maka ion Ca masuk sel β, merangsang granula yang berisi insulin dan akan terjadi sekresi insulin dengan jumlah ekuivalen dengan peptida- C. Kecuali itu sulfonilurea dapat mengurangi klirens insulin di hepar. Pada penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan hipoglikemia. Dosis: permulaan 1 x sehari 2,5 – 5 mg, bila perlu dinaikan setiap minggu sampai maksimal 2 x sehari 10 mg.
- Glikidon, derivat metil yang kira – kira 3 x lebih lemah dari pada glibenklamide. Resiko hipoglikemia rendah. Dosis: 1 x sehari 15 mg pada waktu makan pagi, maksimal 2 xsehari 30 mg d.c.
2.
Biguanida: metformin.
Berbeda
dengan sulfonilurea, obat ini tidak menstimulasi pelepasan insulin dan tidak
menurunkan gula darah pada orang sehat. Zat ini juga menekan nafsu makan
(efek anorexia) hingga berat badan tidak meningkat, sehingga layak
diberikan pada penderita yang overweight. Penderita ini biasanya mengalami
resistensi insulin, sehingga sulfonilurea kurang efektif.
Mekanisme kerjanya hingga kini belum diketahui dengan
pasti, tetapi bukan akibat stimulasi
sekresi insulin. Mungkin berdasarkan peningkatan kepekaaan reseptor insulin,
sehingga absorpsi glukosa di jaringan parifer meningkat. Efeknya adalah
turunnya kadar insulin yang terlalu kuat dan penururnya berat badan.
Kemungkinan lain adalah penghabatan gluconeogenesis dalam hati dan
peningkatan penyerapan glukosa di jaringan perifer. erifer
Farmakologi. Mempunyai mekanisme kerja yang berlainan dangan darivat
sulfonilurea, tidak melalui perangsangan sekresi insulin tetapi langsung
terhadap organ sasaran. Pemberian biguanid pada orang nondiabetik tidak
menurunkan kadar glukosa darah; tetapi sedian biguanid teryata menunjukan efek
potensiasi dengan insulin. Pemberian binguanid tidak menimbulkan perubahan ILA
(insulin-like activity) di plasma ,dan secara morfologis sel pulau langerhans
juga tidak mengalami perubahan. Biguanid tidak merangsang ataupun menghambat
perubahan glukosa menjadi lemak ..pada penderita diabetes yang gemuk,teryata
pemberian biguanid menurunkan berat badan dengan mekanisme yang belum jelas
pula ; pada orang nondiabetik yang gemuk tidak timbul penurunan berat badan dan
glukosa darah. Penyerapan binguanid oleh usus baik sekali dan obat ini dapat
digunakan bersamaan dengan insulin atau sulfonilurea. Sebagian besar penderita
diabetes yang gagal diobati dangan sulfonilurea dapat ditolong dengan
binguanid.
Intoksikasi. preparat
binguanid yang telah digunakan ialah fenformin . Pada terapi dengan fenformin
umumnya tidak terjadi efek toksik yang hebat.beberapa penderita mengalami
mual,muntah,diare serta kecap logam (metallic teste); tetapi dengan menurunkan
dosis keluhan-keluhan tersebut segera hilang. Pada beberapa penderita yang
mutlak tergantung pada insulin luar kadang-kadaang biguanid menimbualkan
ketosis yang tidak disertai dengan hiperglikemia (starvation ketosis) hal ini
harus dibedakan dengan ketosis karana defiensi insulin. Pada penderita dengan
ganguan fungsi ginjal atau sistem
kardiovaskuler, pemberian biguanidin dapat menimbulakn peninggian kadar asam
laktat dalam darah, sehingga hal ini dapat mengganggu keseimbangan elektrolit
dalam cairan tubuh.
Efek sampingnya yang
paling sering terjadi berupa gangguan lambung-usus (mual, anorexia, sakit
perut, diare), tetapi umumnya bersifat sementara. Yang lebih serius adalah
acidosis asam laktat dan angopati luas, terutama pada manual dan insufisiensi
hati atau ginjal. Karena efek samping ini banyak senyawa biguanida sejak tahun
1979 telah ditarik dari peredaran, antara lain fenformin dan bufermin.
Metformin pada dosis normal hanya meningkatkan
sedikit kadar asam laktat dalam darah.
Dosis: 3 x sehari 500 mg atau 2 x sehari 850 mg d.c. bila perlu berangsur – angsur dinaikan dalam waktu 2 minggu sampai maksimal 3 x sehari 1 g.
Pemberian metformin pada penderita CKD (Chronic Kidney Disease) / GGK (Gagal Ginjal Kronik)
Setidaknya ada 6 rekomendasi FDA (Food and Drug Administration) terbaru terkait penggunaan Metformin pada pasien CKD:
- Sebelum memberikan metformin, ketahui eGFR (estimated Glomerular Filtration Rate) dari pasien
- Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan GFR < 30 ml/menit/1,73 m2
- Memulai penggunaan metformin pada pasien dengan eGFR 30-45 ml/menit/1,73 m2 tidak direkomendasikan
- Hitung eGFR setidaknya satu kali setahun pada semua pasien yang menggunakan metformin. Pada pasien dengan peningkatan risiko kerusakan ginjal seperti pada orang tua, pemeriksaan fungsi ginjal perlu dilakukan lebih sering
- Pada pasien yang menggunakan metformin kemudian didapatkan eGFR turun hingga < 45 ml/menit/1,73 m2, pertimbangkan keuntungan dan kerugian dari melanjutkan terapi metformin. Metformin perlu dihentikan bila GFR turun menjadi < 30 ml/menit/1,73 m2
- Metformin harus dihentikan ketika hendak dilakukan iodinated contrast imaging pada pasien dengan eGFR antara 30-60 ml/menit/1,73 m2, pada pasien dengan riwayat penyakit liver, pengguna alkohol, atau gagal jantung, dan juga pada pasien yang akan diberikan kontras iodin intra arterial. Evaluasi ulang eGFR 48 jam setelah prosedur imaging dan mulai kembali penggunaan metformin jika fungsi ginjal stabil.
3.
Glukosidase-inhibitors: akarbose dan miglitol.
Obat-obat ini termasuk kelompok obat baru, yang berdasarkan persaingan inbihisi
enzim alfa-glukosidase di mukosa duodenum, sehingga reaksi penguraian di-/polisakarid monosakarida di hambat. Dengan demikian
glukosa dilepaskan lebih lambat dan absorpsinya kedalam darah juga kurang
cepat, lebih rendah dan merata, sehingga memuncaknya kadar gula darah di
hindarkan. Kerja ini mirip dengan efek dari makanan yang kaya akan serat gizi.
Tidak ada kemungkinan hipoglikemia dan
terutama berguna pada penderita kegemukan, untuk siapa tindakan diet tidak
menghasilkan efek. Kombansi obat-obat lain memperkuat efeknya.
Dosis:
Akarbose permulaan 3 x sehari 30 mg langsung a.c. bila
perlu dinaikan setelah 1 – 2 minggu sampai maksimal 3 x sehari 100 mg.
Miglitol permulaan 3 x sehari 30 mg langsung a.c.berangsur
dinaikan dalam waktu 4 – 14 minggu menjai dosis pemeliharaan 3 x sehari 100 mg.
4. Thiazolidindion:
troglitazon adalah kelompok obat baru pula yang pada tahun1996 di
pasarkan di AS dan Inggris.
Kegiatan
farmologisnya luas dan berupa penurunan kadar glukosa dan insulin dengan jalan
meningkatkan kepekaan bagi insulin dari otot, jaringan lemak dan hati. Sebagai
efeknya penyerapan glukosa ke dalam jaringan lemak dan otot meningkat. Begitu
pula menurunkan kadar trigliserida/asam lemak bebas dan mengurangi
gluconeogenesis dalam hati. Zat ini tidak
mendorong pancreas untuk meningkatkan pelepasan insulin seperti
sulfonilurea.
Di
samping itu troglitazon bekerja antihipertensip, yaitu dapat menurunkan
tekanan darah sistolis dan diatolis. Obat ini khusus dianjurkan sebagai obat tambahan
pada pasien NIDDM yang perlu diobati dengan insulin.
5.
Miglitimida: repaglinida
(Novonorm).
Mekanisme khususnya,
yakni mencetuskan pelepasan insulin dari pancreas segera sesudah makan.
Miglitinida harus diminum tepat sebelum makan dan karena resorpsinya
cepat, makaa mencapai kadar darah puncak dalam 1 jam. Insulin yang di- lepaskan
menurunkan glukosa darah secukupnya. Ekskresinya juga cepat sekali, dalam waktu
1 jam sudah dikeluarkan dari tubuh.
Zat – zat
pemanis
Zat – zat pemanis digunakan sebagai pengganti gula
pasir ( sukrosa ) yang boleh dimakan oleh penderita diabetes.
Berdasarkan nilai energisnya dibedakan menjadi 2
kelompok:
a. Zat – zat berkalori:
polialkohol ksitol, sorbitol, manitol, dan lacticol, juga mono sackarida
fructose. Zat – zat manis ini menghasilkan energi yang nilainya lebih rendah
dari sukrosa.
b.
Zat
– zat tanpa energi: aspartame, asesulfam, sakarin, siklamat dan stevioda.
Sebetulnya aspartame berkalori sama dengan sukrosa ( 4 kcal/g), tetapi karena
200 x lebih manis hanya diperlukan sedikit sekali. Satu tablet aspartame sama
dengan 1 gumpal gula dari 4 g dan berisi hanya 0,3 kcal. (1 g = 4,18 kcal = 17
kJ). Kombinasi dengan 2 pemanis sering menghasilkan sinergisme.
Daya
manis dan kandungan kalori zat – zat pemanis
Zat pemanis
|
Kcal/g
|
Daya manis dibanding gula
|
Sakarose
Glukosa
Fruktosa
Maltosa
Laktosa
Lacticol
Sorbitol
Mannitol
Maltitol
Xylitol
Silkamat
Acesulfam
Aspartame
Sakarin
Thaumatin
|
4
4
4
4
4
2
2,8
2
2,8
4
-
-
4
-
-
|
1,0 x
0,5 x
1,5 x
0,46 x
0,39 x
0,4 x
0,5 x
0,6 x
0,9 x
1,0 x
25 x
200 x
200 x
350 x
2000 x
|
Perhatian : meskipun keamanan zat –
zat ini sudah dibuktikan dengan jelas namum mengkonsomsi dalam jumlah yang
sangat banyak dan jangka waktu panjang dapat mengganggu metabolisme glukosa
menurut suatu mekanisme tertentu. Akibatnya dapat timbul hiperinsulintisme dan hipoglokemia. Terlalu banyak insulin
dapat menstimulir penimbunan lemak, kadar glukosa rendah mencetuskan rasa
lapar, oleh karena itu penggunaannya dibatasi pada pasien gemuk dan pasien
diabetes.
Zat – zat
tersendiri.
- Aspartam (Equal, Canderel, Nutrasweet)Dipeptida dari dua asam amino: asam asparaginat dan ester-metil dari fenilalanin, yang ca 200 x lebih manis dari gula. Juga mempunyai kerja analgetis seperti NSAID; mungking dengan sintesa protaglanin. Efek samping: dosis tinggi menyebabkan alergi, nyeri kepala dan epilepsi tidak boleh diberikan pada anak – anak dan wanita hamil dengan fenilketonuria dimana mengubah fenilalanin menjadi tirosin.· Asesulfam, derivate oxathiazine (cincin-6 dengan O, S dan N dalam inti) ca 200 x lebih manis dari gula. Tidak memberikan energi, diserap dengan cepat oleh usus dan mucosa mulut. Dosis ADI 9 mg/kg, maks 15 mg/kg.· Silkamat, garam Na atan Ca dari asam aminosulfonat, 30 x lebih manis dar gula dan tidak berkalori. Tidak pahit. Dosis ADI 11 mg / kg sehari, dewasa 650 mg / hari.· Sakarin (benzosulfimida, Sionom) 350 x lebih manis dari gula. Tidak berkalori, resorbsi usus cepat dan eksresi lengkap secara utuh lewat urine. Dosis ADI 2,5 mg / kg, dewasa 150 mg sehari ( garam Na).· Fruktosa, banyak pada buah-buahan. 1,5 x lebih manis dari sakarosa. Resopsi diusus lambat, tapi metabolisme dalam darah cepat. Fruktusa mamapu masuk kedalam sel-sel jaringan tanpa insulin dan tidak menstimulir pankeras untuk menstimulir insulin. Efek samping: hiperglikemia ringan dar glukosa, konsumsi yang terlalu banyak dapat menyebabkan meningkatnya kadar trigliserida darah. Dosis : pemberian energi/infuse: 1.v. 100 – 300 mg g sehari 5 – 20 %.· Glukosa, 0,5 x kurang manis dari gula, untuk memberikan energi dan pada hipoglikemia. Dosis: 10-20 g bila perlu diulang setelah 10- 20 menit sebagai infuse i.v. 10-50 ml larutan 50 %.
- Sorbitol dan manitol, terdapat bayak dalam buah –buahan (apel, pear). Masing – masing 0,5 dan 0,9 x kurang manis dari sakarosa. Resorpsi pada usus tidak menentu dan lambat sekali maka dosis diatas 40 g dapat bersifat laksans osmotis. Dosis: 25 g/ hari, sebagai laksan 30-50 g/hari.
II. Insulin
a. Pengobatan
dengan Insulin
Indikasi pemberian obat bagi pasien dengan terapi
insulin, diberikan untuk:
- Semua orang dengan diabetes tipe 1 yang memerlukan insulin eksogen karena produksi insulin oleh sel beta tidak ada atau hampir tidak ada.
- Orang dengan diabetes tipe 2 tertentu yang mungkin membutuhkan insulin bila terapi jenis lain tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah atau apabila mengalami stres fisiologi seperti pada tindakan pembedahan.
- Orang dengan diabetes kehamilan (diabetes yang timbul selama kehamilan) membutuhkan insulin bila diet tidak saja dapat mengendalikan kadar glukosa darah.
- Orang yang diabetes dengan ketoasidosis.
- Orang dengan diabetes yang mendapat nutrisi parenteral atau yang memerlukan suplemen tinggi kalori untuk memenuhi kebutuhan energi yang meningkat, secara bertahap akan memerlukan insulin eksogen untuk mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal selama periode resistensi insulin atau ketika terjadi peningkatan kebutuhan insulin.
- Pengobatan sindroma hiperglikemi non-ketotik-hiperosmolar
b. Cara Penggunaan
Insulin
Sekresi
insulin dapat dibagi menjadi sekresi insulin basal (saat puasa atau sebelum
makan) dan insulin prandial (setelah makan).
Insulin
basal ialah insulin yang diperlukan untuk mencegah hiperglikemia puasa akibat glukoneogenesis
dan juga mencegah ketogenesis yang tidak terdeteksi.
Insulin
Prandial ialah jumlah insulin yang dibutuhkan untuk mengkonversi bahan nutrien
ke dalam bentuk energi cadangan sehingga tidak terjadi hiperglikemia
postprandial.
Insulin
Koreksi (supplement) ialah insulin yang diperlukan akibat kenaikan kebutuhan
insulin yang disebabkan adanya penyakit atau stres. Pemberian insulin
tergantung pada kondisi pasien dan fasilitas yang tersedia. Untuk pasien yang
non-emergensi, pemberian suntikan subkutan atau intramuskular (jarang
dilakukan). Pada pasien dengan kondisi kegawatan diberikan dengan pompa infus
atau secara bolus intra vena. Insulin dapat juga diberikan secara subkutan
dengan menggunakan pompa insulin atau yang dikenal dengan continuous subcutaneous
insulin infusion (CSII).
Sebelum
menyuntikan insulin, kedua tangan dan daerah yang harus disuntik haruslah
bersih.
Tutup vial insulin harus diusap dengan isopropil
alkohol 70%. Untuk semua macam insulin kecuali kerja cepat, harus
digulung-gulung secara perlahan-lahan dengan kedua telapak tangan (Jangan dikocok)
untuk melarutkan kembali suspensi. Ambilah udara sejumlah insulin yang akan
diberikan dan suntikanlah kedalam vial untuk mencegah terjadi ruang vakum dalam
vial. Hal ini terutama diperlukan bila akan dipakai campuran insulin.
Bila
mencampur insulin kerja cepat dengan kerja menengah atau panjang, maka insulin
yang jernih atau kerja cepat harus diambil terlebih dahulu. Setelah insulin
masuk ke alat suntik, periksalah apa mengandung gelembung udara. Satu atau dua
ketukan pada alat suntik dalam posisi tegak akan dapat mengurangi gelembung
tersebut. Gelembung tersebut sebenarnya tidaklah terlalu berbahaya tetapi dapat
mengurangi dosis insulin.
Penyuntikan
dilakukan pada jaringan subkutan. Pada umumnya disuntikan dengan sudut 90
derajat. Pada pasien kurus dan anak-anak, setelah kulit dijepit dan insulin disuntikan
dengan sudut 45 derajat agar tidak terjadi penyuntikan intra muskular. Aspirasi
tidak perlu dilakukan secara rutin. Bila suntikan terasa sakit atau mengalami
perdarahan setelah proses penyuntikan maka daerah tersebut sebaiknya ditekan
selama 5-8 detik.
c. Karateristik
Insulin Berdasarkan Waktu Kerja
Sediaan
insulin yang ada di pasaran Indonesia, berdasarkan waktu kerja dapat dilihat
pada
tabel di halaman berikut ini:
Tabel Karateristik Insulin Berdasarkan Waktu Kerja
Sediaan Insulin
|
Awal Kerja
|
Puncak Kerja
|
Lama Kerja
|
Insulin
Prandial
Insulin
Kerja cepat
Regular (Actrapid; Humulin R)
Insulin
analog, kerja sangat cepat
Insulin glulisine (apidra*)
Insulin aspart (Novo Rapid *)
Insulin lispro (Humalog)
|
30-60 menit
5-15 menit
5-15 menit
5-15 menit
|
30-90 menit
30-90 menit
30-90 menit
30-90 menit
|
5-8 jam
3-5 jam
3-5 jam
3-5 jam
|
Insulin
Kerja Menengah
NPH (Insulatard, Humulin N)
Lente
|
2-4 jam
3-4 jam
|
4-10 jam
4-12 jam
|
10-16 jam
12-18 jam
|
Insulin
Kerja Panjang
Insulin glargine (Lantus)
Ultralente*
Insulin detemir (Levemir*)
|
2-4 jam
6-10 jam
2-4 jam
|
Tidak ada puncak
8-10 jam
Tidak ada puncak
|
|
Insulin
Campuran
(kerja cepat dan menengah)
70%NPH / 30% reguler (Mixtard:
Humulin 70/30)
70%NPH / 30% analog rapid
(NovoMix 30)
|
30-60 mnt
|
Dual
|
10-16 jam
|
Sumber: Soegondo S dalam Penatalaksanaan DM Terpadu,
2007
Insulin
terdiri dari dua rantai peptida ( A dan B ) dengan masing-masing 21 dan 30 asam
amino, yang saling dihubungi oleh 2 jembatan-disulfida ( dr Sanger, 1955 ). Saat ini insulin diproduksi
secara semisintetis dan biosintetis.
a.
Cara semisintetis.
Sebagai bahan pangkal digunakan insulin babi, yang
diperiksa oleh dari pankreasnya. Insulin babi lebih mirip hormon manusia
daripada insulin sapi dan hanya berbeda 1 asam amino, yakni alanin
sebagai ganti threonin pada C30 yang terletak di ujung, lihat rumus
bangun. Penukaran dengan threonin dapat dilakukan secara enzim matis dengan transpeptidase.Insulin
babi dapat bekerja imunogen dengan menginduksi pembentukan antibodies
dan reaksi alergi. Insulin sapi bersifat lebih imunogen, karena strukturnya
lebih berlainan dari insulin alamiah, maka tidak digunakan lagi. Contoh insulin
semisintetis babi adalah Insulin Mix 30/70, Regular dan Retard
NPH. Aktivitas insulin ini adalah 40 UI/ml.
b.
Cara biosintetis dengan cara
rekombinan-DNA ( 1982 ).
Dengan jalan memasuki gen-gen sintetis yang
bersankutan ke dalam plasmid E. Coli,; kuman ini membentuk rantai A atau
B dari insulin. Lalu kedua rantai itu dihubungkan secara kimiawi. Insulin
biosintetis adalah identik dengan hormon pancreas faali; contohnya adalah Insulin
Mixtard Human, Monotard Human dan Insulatard Human, yang
semuanya berkadar 100 UI/ml. Insulin human ini sangat murni dan tidak bersifat
imunogen, maka insulin ini sudah menggantikan tuntas insulin babi sejak awal
tahun 1990-an di kebanyakan negara Barat.
Kinetik.
Insulin tidak dapat digunakan peroral karena terurai oleh pepsin lambung, maka
selalu diberikan sebagai injeksi s.c.1/2 jam sebelum makan. Zat ini
dirombak dengan cepat terutama di hati, ginjal dan otot. Plasma t ½-nya hanya
beberapa menit pada orang sehat, pada diabetici bisa diperpenjang sampai 13
jam, mungkin akibat pengikatan pada antibodies. Kerjanya hanya singkat,
lebih kurang 40 menit.
Lama
kerja sediaan insulin
Lama
kerjanya sediaan tergantung dari tempat injeksi, dosis, aktivitas fisik dan
factor individual lainnya. Juga dari bentuk insulin yang digunakan,
yakni insulin kerja singkat atau kerja panjang.
a.
Insulin kerja singkat :
Actrapid,
Velosulin, Humulin Regular. Sediaan ini terdiri dari insulin tunggal ‘biasa’.
Mulai kerjanya baru sesudah ½ jam ( injeksi subkutan ), karena bentuk heksamer
dar larutan harus diuraikan dahulu menjadi mono dan dimer sebelum
diserap dalam darah. Mencapai puncaknya 11-2,5 jam kemudian dan bertahan 7-8
jam. Insulin lispo ( Humalog ) adalah analogon sintetis dari
insulin human, dimana asam-asam amino di posisi 28 dam 29 saling ditukar. Mulai
kerjanya lebih cepat dari 20 menit dan lebih mendekati keadaan faal. Lama
kerjanyan lebih singkat, 2-5 jam. Obat ini dianjurkan khusus untuk penderita
tipe-1 yang sukar diregulasi.
b.
Insulin longacting.
Berdasarkan
mempersulit daya larutnya di cairan jaringan dan memperhambat
resorpsinya dari tempat injeksi ke dalam darah. Metode yang digunakan adalah
mempercampurkan insulin dengan protein atau seng atau mengubah bentuk
fisiknya.
- Tambahan protein : biasanya protamin ( insulin isofan atau NPH). Karena sering mengakibatkan reaksi alergi kini jarang digunakan. Lama kerja insulin isofan human ( Insulatard, Humulin N ) adalah 14-24 jam.
- Tambahan seng ( berlebihan ) : zinc-insulin. Tersedia sebagai sediaan : Humulin – zinc = kristal Zn-insulin, bekerja selama 28 jam.
Monotard
Human= Zn-insulin amorf 30% + kristal 70%, lama kerja 24-28
jam.
Bentuk
fisik insulin : suspensi dari bentuk kristal atau amorf ( halus )
memperlambat penyerapannya ke dalam sirkulasi.
c.
Medium-acting.
Jangka
waktu efeknya dapat divariasiakan dengan mempercampurkan beberapa bentuk insulin
dengan lama kerja berlainan. Misalnya campuran insulin ‘biasa’ dengan
seng-insuln dalam perbandingan dan bentuk kristal berbeda-beda menghasilakn
sediaan dengan efek cepat yang bertahan sedang. Panjang atau sangat panjang.
Contohnya adalah :
- Mixtard 30 HM ( Human ) = insulin 30% + insulin isofan 70%, bekerja 12-24 jam.
- Humulin 20 = insulin 20 + insulin isofan 80%, lama kerja 12-224 jam.
Efek
samping terpenting dari
insulin yang dapat terjadi berupa:
- Hipoglikemia. karena overdose atau tidak/terlalu lambat makan sesudah injeksi dan arena kerja fisik terlalu berat atau interaksi dengan obat-obat yang diminum bersamaan. Sediaan depot lebih berbahaya, karena menimbulkan “hipo” secara berangsur-angsur yang kebanyakan terjadi di tengah malam sewaktu tidur. “Hipo” lebih sering terjadi pada pasien insulin human karena gejala adrenerg seperti rasa lapar dan berkeringat, kurang nyata dirasakan berhubung regulasi gula darahnya yang lebih baik.
- Reaksi alergi di kulit tempat injeksi adakalanya terjadi dan ditimbulkan oleh zat tambahan (protamin, seng, zat-zat pengawet, kotoran). Umumnya bersifat local ( aksantema dan pengersan di tempat injeksi, antara lain karena iritasi kulit, teknik injeksi kurang tepat atau infeksi kuman ). Reaksi imunogen sistemis jarang sekali terjadi pada insulin babi dan berupa antara lain urticaria, mual, muntah, anafylaxia.
- Lipodystrofia, yakni terganggunya pertumbuhan lemak subkutan di tempat injeksi, jarang terjadi bersifat ringan. Misalnya atrofia (penyusutan) dan hipertrofia ( kelebihan ), yang hampir selalu disebabkan oleh kurang sering mengganti tempat injeksi.
- Resistensi insulin, bila kebutuhan insulin melebihi 200 UI/hari. Keadaan ini disebabkan oleh pembentukan antibodies yang mengikat sebagian insulin. Resistensi timbul pada pasien dengan overweight, akibat berkurangnya reseptor insulin atau penurunan kepekaanya.
- Gangguan akomodasi mata tejadi akibat terlalu cepatnya penurunan gula darah, yang dapat menimbulkan terganggunya keseimbangan osmotis antara lensa dan cairan mata.
Dosisnya
sangat individual, begitupula lama kerja sebenarnya yang tergantung dari diet
dan cara hidup pasien ( kerja fisik berat, banyak bergerak dan sebagainya).
Wanita hamil dan selam haid memerlukan dosis yang lebih tinggi dari biasanya,
demikian juga penderita tiroid atau pengidap penyakit infeksi. Selam
berolahraga dosis justru perlu ditirunkan.
Penilaian Hasil
Terapi
Dalam
praktek sehari-hari, hasil pengobatan DM harus dipantau secara terencana dengan
melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan
yang dapat dilakukan adalah (PERKENI, 2006).
a. Pemeriksaan kadar glukosa darah Tujuan
pemeriksaan glukosa darah :
- Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai
- Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan
pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan glukosa 2 jam posprandial secara
berkala sesuai dengan kebutuhan.
b. Pemeriksaan A1C
Tes
hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai glikohemoglobin, atau
hemoglobin glikosilasi disingkat sebagai A1C, merupakan cara yang digunakan
untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapat
digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan A1C
dianjurkan dilakukan minimal 2 kali dalam setahun.
c. Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)
Untuk
memantau kadar glukosa darah dapat dipakai darah kapiler. Saat ini banyak
dipasarkan alat pengukur kadar glukosa darah cara reagen kering yang umumnya
sederhana dan mudah dipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah memakai
alat-alat tersebut dapat dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan dengan baik dan
cara pemeriksaan dilakukan sesuai dengan cara standar yang dianjurkan. Secara berkala, hasil pemantauan
dengan cara reagen kering perlu dibandingkan dengan cara konvensional. PGDM
dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan insulin atau pemicu sekresi insulin.
Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi, tergantung pada terapi. Waktu yang dianjurkan,
pada saat sebelum makan, 2 jam setelah makan (menilai ekskursi maksimal
glukosa), menjelang waktu tidur (untuk menilai risiko hipoglikemia), dan di
antara siklus tidur (untuk menilai adanya hipoglikemia nokturnal yang kadang
tanpa gejala, atau ketika mengalami gejala seperti hypoglicemic spells.
Prosedur PGDM dapat dilihat pada tabel di bawah
Tabel Kriteria Penilaian
Pengendalian DM
Baik
|
Sedang
|
Buruk
|
|
Glukosa
darah puasa (mg/dl)
|
80-<100
|
100-125
|
≥126
|
Glukosa
darah 2 jam (mg/dl)
|
80-144
|
145-179
|
≥180
|
A1C
(%)
|
<6,5
|
6,5-8
|
>8
|
Kolesterol
Total (mg/dl)
|
<200
|
200-239
|
>240
|
Kolesterol
LDL (mg/dl)
|
<100
|
100-129
|
≥130
|
Kolesterol
HDL (mg/dl)
|
Pria: > 40
Wanita: >50
|
||
Trigeliserida
(mg/dl)
|
<150
|
150-199
|
≥200
|
IMT
(kg/m2)
|
18,5-<23
|
23-25
|
>25
|
Tekanan
darah (mmHg)
|
≤130/80
|
>130-140
/ >80-90
|
>140/90
|
Sumber : PERKENI, 2006
Kebutuhan Zat Gizi
Pada Penderita Diabetes Melitus
Perencanaan makan hendaknya dengan kandungan zat
gizi yang cukup dan disertai pengurangan total lemak terutama lemak jenuh.
Pengetahuan porsi makanan sedemikian rupa sehingga supan zat gizi tersebar
sepanjang hari. Penurunan berat badan ringan atau sedang (5 – 10 kg), sudah
terbukti dapat meningkatkan kontrol diabetes, walaupun berat badan idaman tidak
dicapai (Hiswani, 2007).
Penurunan
berat badan dapat diusahakan dicapai dengan baik dengan penurunan asupan energi
yang moderat dan peningkatan pengeluaran energi. Dianjurkan pembatasan kalori
sedang yaitu 250-500 Kkal lebih rendah dari asupan rata-rata sehari (Hiswani). Kebutuhan
zat gizi dapat diuraikan dibawah ini (Hiswani, 2007) :
a. Protein
Terdapat
sedikit data ilmiah yang dapat digunakan untuk membuat rekomendasi yang kuat
tentang asupan protein orang dengan diabetes. ADA (American Diabetes Association) pada saat ini menganjurkan
mengkonsumsi 10% sampai 20% energi dari protein total. Menurut konsensus
pengelolaan diabetes di Indonesia kebutuhan protein untuk orang dengan diabetes
adalah 10 – 15% energi. Perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kg perhari
atau 10% dari kebutuhan energi dengan timbulnya nefropati pada orang dewasa dan
65% hendaknya bernilai biologi tinggi.
b. Total Lemak.
Asupan
lemak dianjurkan < 10% energi dari lemak jenuh dan tidak lebih 10% energi
dari lemak tidak jenuh ganda, sedangkan selebihnya yaitu 60 – 70% total energi
dari lemak tidak jenuh tunggak dan karbohidrat. Distribusi energi dari lemak
dan karbohidrat dapat berbeda-beda setiap individu berdasarkan pengkajia gizi
dan tujuan pengobatan. Anjuran persentase energi dari lemak tergantung dari
hasil pemeriksaan glukosa, lipid, dan berat badan yang diinginkan.
Untuk
individu yang mempunyai kadar lipid normal dan dapat mempertahankan berat badan
yang memadai (dan untuk pertumbuhan dan perkembangan normal pada anak dan
remaja) dapat dianjurkan tidak lebih dari 30% asupan energi dari lemak total
dan < 10% energi dari lemak jenuh. Dalam hal ini anjuran asupan lemak di
Indonesia adalah 20 – 25% energi.
Apabila peningkatan LDL merupakan masalah utama,
dapat diikuti anjuran diet dislipidemia tahap II yaitu < 7% energi total
dari lemaj jenuh, tidak lebih dari 30% energi dari lemak total dan kandungan
kolesterol 200 mg/hari.
Apabila
peningkatan trigliserida dan VLDL merupakan masalah utama, pendekatan yang
mungkin menguntungkan selain menurunkan berat badan dan peningkatan aktivitas
adalah peningkatan sedang asupan lemak tidak jenuh tunggal 20% energi dengan
< 10% masing energi masing-masing dari lemak jenuh dan tidak jenuh ganda
sedangkan asupan karbohidrat lebih rendah. Perencanaan makan tinggi lemak tidak
jenuh tunggal dapat dilakukan antara lain dengan penggunaan nuts, alpukat dan
minyak zaitun. Namun demikian pada individu yang kegemukan peningkatan asupan
lemak dapat memperburuk kegemukannya. Pasien dengan kadar trigliserida >
1000 mg/dl mungkin perlu penurunan semua tipe lemak makanan untuk menurunkan
kadar lemak plasma dalam bentuk kilomikron.
c. Lemak Jenuh dan
Kolesterol.
Tujuan
utama pengurangan konsumsi lemak jenuh dan kolestrol adalah untuk menurunkan
resiko penyakit kardiovaskuler. Oleh karena itu < 10% asupan energi sehari
seharusnya dari lemak jenuh dan asupan makanan kolesterol makanan hendaknya
dibatasi tidak lebih dari 300 mg perhari. Namun demikian rekomendasi ini harus
disesuaikan dengan latar belakang budaya dan etnik.
d. Karbohidrat dan
Pemanis
Rekomendasi tahun 1994 lebih menfokuskan pada jumlah
total karbohidrat dari pada jenisnya. Rekomendasi untuk sukrosa lebih liberal, menilai
kembali fruktosa dan lebih konservatif untuk serat. Buah dan susu sudah
terbukti mempunyai respon glikemik menyerupai roti, nasi dan kentang. Walaupun
berbagai tepung-tepungan mempunyai respon glikemik yang berbeda, prioritas
hendaknya lebih pada jumlah total karbohidrat yang dikonsumsi dari pada sumber
karbohidrat. Anjuran konsumsi karbohidrat untuk orang dengan diabetes di
Indonesia adalah 60 – 70% energi.
e. Sukrosa
Bukti ilmiah menunjukkan bahwa penggunaan sukrosa
sebagai bagian dari perencanaan makan tidak memperburuk kontrol glukosa darah
pada individu dengan diabetes tipe 1 dan 2. Sukrosa dan makanan yang mengandung
sukrosa harus diperhitungkan sebagai pengganti karbohidrat makanan lain dan
tidak hanya dengan menambahkannya pada perencanaan makan. Dalam melakukan
substitusi ini kandungan zat gizi dari makanan-makanan manis yang pekat dan
kandungan zat gizi makanan yang mengandung sukrosa harus dipertimbangkan,
demikian juga adanya zat gizi-zat gizi lain pada makanan tersebut seperti lemak
yang sering dimakan bersama sukrosa. Mengkonsumsi makanan yang bervariasi
memberikan lebih banyak zat gizi dari pada makanan dengan sukrosa sebagai
satu-satunya zat gizi.
f. Pemanis
1. Fruktosa menaikkan glukosa plasma lebih kecil
dari pada sukrosa dan kebanyakannya karbohidrat jenis tepung-tepungan. Dalam
hal ini fruktosa dapat memberikan keuntungan sebagai bahan pemanis pada diet
diabetes. Namun demikian, karena pengaruh penggunaan dalam jumlah besar (20%
energi) yang potensial merugikan pada kolesterol dan LDL, fruktosa tidak
seluruhnya menguntungkan sebagai bahan pemanis untuk orang dengan diabetes.
Penderita dislipidemia hendaknya menghindari mengkonsumsi fruktosa dalam jumlah
besar, namun tidak ada alasan untuk menghindari makanan seperti buah dan
sayuran yang mengnadung fruktosa alami ataupun konsumsi sejumlah sedang makanan
yang mengandung pemanis fruktosa.
2. Sorbitol, mannitol dan xylitol adalah gula
alkohol biasa (polyols) yang menghasilkan respon glikemik lebih rendah dari
pada sukrosa dan karbohidrat lain. Penggunaan pemanis tersebut secra berlebihan
dapat mempunyai pengaruh laxatif.
3. Sakarin, aspartam, acesulfame adalah pemanis tak
bergizi yang dapat diterima sebagai pemanis pada semua penderita DM.
g. Serat
Rekomendasi
asupan serat untuk orang dengan diabetes sama dengan untuk orang yang tidak
diabetes. Dianjurkan mengkonsumsi 20 – 35 g serat makanan dari berbagai sumber
bahan makanan. Di Indonesia anjurannya adalah kira-kira 25 g/hari dengan
mengutamakan serat larut.
h. Natrium
Anjuran
asupan untuk orang dengan diabetes sama dengan penduduk biasa yaitu tidak lebih
dari 3000 mg, sedangkan bagi yang menderita hipertensi ringan sampai sedang,
dianjurkan 2400 mg natrium perhari.
Edukasi Pasien Saat
Penatalaksanaan
- Pengendalian berat badan dan olah raga. Beberapa penderita diabetes tipe 2 yang obesitas tidak akan memerlukan pengobatan jika mereka menurunkan berat badannya dan berolah raga secara teratur. Namun demikian mungkin terdapat penderita merasa kesulitan menurunkan berat badan dan melakukan olah raga yang teratur. Karena itu biasanya diberikan terapi sulih insulin atau obat hipoglikemik per-oral.
- Pengaturan diet. Bagi sebagian besar pasien DM asupan makanan dan kalori merupakan kunci penting bagi perjalanan penyakit, komplikasi dan kualitas hidup selanjutnya. Sesuaikan dengan kondisi masing-masing penderita.
- Membatasi jumlah lemak jenuh dalam makanannya. Penderita diabetes cenderung memiliki kadar kolesterol yang tinggi, karena itu dianjurkan untuk membatasi jumlah lemak jenuh dalam makanannya. Tetapi cara terbaik untuk menurunkan kadar kolesterol adalah mengontrol kadar gula darah dan berat badan.
- Berhenti merokok karena nikotin dapat mempengaruhi secara buruk penyerapan glukosa oleh sel.
- Ikuti petunjuk pemakaian insulin maupun OHO sesuai dengan kondisi masing-masing pasien.
- Apabila terjadi komplikasi maupun perjalanan penyakit memburuk yang tidak terencana agar segera menghubungi pelayan kesehatan profesional yang kompeten.
SUMBER / DAFTAR PUSTAKA / REFERENSI
- PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia). IPD’s CIM (Compendium of Indonesia Medicine) edisi 1. Divisi Dept. Ilmu Penyakit Dalam FK UI/RSCM. Jakarta. 2009.
- Rani A. Azis. Panduan Pelayanan Medik. Departemen ilmu penyakit dalam FK UI. Jakarta. 2008.
- Soegondo, Sidartawan. Penatalaksaanaan Diabetes Melitus Terpadu. FK UI. Jakarta 2009.
- JoAnn Sperl-Hillen, MD , Bruce Redmon, MD, et all. Health Care Guideline: Diagnosis And Management Of Type 2 Diabetes Mellitus In Adults. Institute For Clinicalsystems Improvement (IFCI). Minessota. 2010, 14. Ed.
- Sudoyo,aru w,dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3 edisi ke – IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK UI. Jakarta. 2007.
- Arif Masjoer et.al. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius. FKUI. Jakarta
- Departemen Kesehatan RI, 2003. Peran Diit dalam Penanggulangan Diabetes. Seminar Pekan Diabetes.
- Guyton A.C., Hall J.E. 1997. Insulin, glukagon, dan diabetes melitus. Dalam: Irawati Setiawan, editor: Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi 9. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
- Ganong W. F. 2003. Fungsi endokrin pankreas dan pengaturan metabolisme karbohidrat. Dalam : Buku ajar fisiologi kedokteran, edisi 20. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
- Suharto B., Sulistia Gan. 1980. Insulin, glukagon dan antidiabetik oral. Dalam : Farmakologi dan terapi. Edisi 2. Jakarta : Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
- Tortora G.J., Derrickson B. 2006. Pancreas. In : Principles of anatomy and physiology. 11th Ed. John Wiley & Sons, Inc.
- Sidartawan Soegondo. 2006. Farmakoterapi pada pengendalian glikemia diabetes mellitus tipe 2. Dalam: Aru W. Sudoyo, dkk., editor: Buku ajar ilmu penyakit dalam. edisi 4 jilid 3. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK-UI.
Kata Kunci Pencarian : Ilmu Penyakit Dalam, Endokrinologi, Diabetes Melitus, Tesis, Desertasi, Artikel Ilmiah, Karya Tulis ilmiah, Jurnal, Makalah, Skripsi, Kedokteran, Kesehatan, Referat, Refrat, modul BBDM, Belajar Bertolak Dari Masalah, Problem Based Learning, askep, asuhan keperawatan, SKP (Satuan Kredit Profesi), Kompetensi, pdf, word, .pdf, .doc, .docx
0 comments:
Posting Komentar