Definisi
Limfoma merupakan kanker yang berasal dari jaringan limfoid yang mencakup
sistem limfatik dan imunitas tubuh. Tumor ini bersifat heterogen, ditandai
dengan kelainan umum yaitu pembesaran kelenjar limfe diikuti splenomegali,
hepatomegali, dan kelainan sumsum tulang. Tumor ini dapat juga dijumpai ekstra
nodal yaitu di luar sistem limfatik dan imunitas antara lain pada traktus
digestivus, paru, kulit, dan organ lain.
Sistem limfatik adalah bagian penting sistem kekebalan tubuh yang memainkan
peran kunci dalam pertahanan alamiah tubuh melawan infeksi dan kanker. Cairan
limfatik adalah cairan putih mirip susu yang mengandung protein, lemak dan
limfosit (sel darah putih) yang semuanya mengalir ke seluruh tubuh melalui
pembuluh limfatik. Ada dua macam sel limfosit yaitu: Sel B dan Sel T. Sel B
membantu melindungi tubuh melawan bakteri dengan jalan membuat antibodi yang
menyerang dan memusnahkan bakteri.
Dalam kondisi normal, sel limfosit merupakan salah satu sistem pertahanan tubuh.
Sementara sel limfosit yang tidak normal (limfoma) bisa berkumpul di kelenjar
getah bening dan menyebabkan pembengkakan. Sel limfosit ternyata tak cuma
beredar di dalam pembuluh limfe, sel ini juga beredar ke seluruh tubuh di dalam
pembuluh darah karena itulah limfoma bisa juga timbul di luar kelenjar getah
bening. Dalam hal ini, yang tersering adalah di limpa dan sumsum tulang. Selain
itu, bisa juga timbul di organ lain seperti perut, hati, dan otak. Dalam garis besar, limfoma dibagi dalam 4 bagian yaitu: Limfoma
Hodgkin (LH), Limfoma non Hodgkin (LNH), Histiositosis x, Mycosis fungoides.
Dalam keseharian praktek,
yang dimaksud dengan limfoma adalah LH dan LNH, sedang Histiositosis x dan
mycosis fungoides sangat jarang ditemukan.
Penyakit Hodgkin (PH) dan limfoma non Hodgkin (LNH) memiliki gejala yang mirip.
Perbedaannya dibedakan berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi dimana pada PH
ditemukan sel Reed Sternberg, dan sifat LNH lebih agresif.
Saat ini, sekitar 1,5 juta orang di dunia hidup dengan limfoma maligna terutama
tipe LNH, dan dalam setahun sekitar 300 ribu orang meninggal karena penyakit
ini. Dari tahun ke tahun, jumlah penderita penyakit ini juga terus meningkat.
Sekadar gambaran, angka kejadian LNH telah meningkat 80 persen dibandingkan
angka tahun 1970-an. Data juga menunjukkan, penyakit ini lebih banyak terjadi
pada orang dewasa dengan angka tertinggi pada rentang usia antara 45 sampai 60
tahun. Makin tua umur, makin tinggi risiko terkena penyakit ini. Tapi secara
umum, LNH bisa menyerang semua usia, mulai dari anak-anak sampai orang tua.
Sementara dari sisi jenis kelamin, kasus LNH lebih sering ditemukan pada pria
ketimbang wanita.
Di negara maju limfoma maligna relatif jarang yaitu kira-kira 2 % dari
kanker yang ada. Akan tetapi, menurut laporan berbagai sentra patologi di Indonesia,
tumor ini merupakan terbanyak setelah kanker serviks uteri, payudara dan kulit.
Pada sebagian besar limfoma ditemukan pada stadium lanjut yang merupakan
penyulit dalam terapi kuratif. Penemuan penyakit pada stadium awal masih
merupakan faktor penting dalam terapi kuratif walaupun tersedia berbagai jenis
kemoterapi dan radioterapi. Akhir-akhir ini angka harapan kehidupan 5 tahun
meningkat dan bahkan sembuh (kuratif) berkat manajemen tumor yang tepat dan
tersedianya kemoterapi dan radioterapi. Dalam artikel ini akan dibahas lebih lanjut dan jelas tentang limfoma Hodgkin (LH).3
Limfoma Hodgkin adalah keganasan system limforetikuler dan jaringan pendukungnya
yang sering menyerang kelenjar getah bening dan disertai gambaran histopatologi
yang khas. Ciri histopatologis yang dianggap khas adalah adanya sel Reed
–Steinberg atau variannya yang disebut sel Hodgkin dan gambaran pleimorfik
kelenjar getah bening1
Penyakit Hodgkin termasuk dalam keganasan limforetikular yaitu limfoma
malignum. Limfoma (kanker kelenjar getah bening) merupakan bentuk keganasan
dari sistem limfatik yaitu sel-sel limforetikular seperti sel B, sel T dan
histiosit sehingga muncul istilah limfoma malignum (maligna = ganas).
Penyakit ini dilaporkan pertama kali oleh Thomas Hodgkin pada tahun 1832,
kemudian gambaran histopatologis dilaporkan oleh Langerhans tahun 1872, disusul
oleh laporan terpisah dari Sternberg dan Reed yang menggambarkan suatu sel
raksasa yang kemudian diberi nama Sel Reed-Sternberg.
Klasifikasi
Dalam manajemen penyakit ini
identifikasi subtype histopatologi merupakan prosedur penting. Sebab ada
kaitannya dengan terapi dan prognosis. Parameter identitas subtype lebih banyak
pada kuantitas sel datia Reed-Steinberg, limfosit dan reaksi jaringan ikat.3
Klasifikasi patologis yang
sering dipakai sekarang ini adalah menurut Lukas dan Butler sesuai
keputusan symposium penyakit Hodgkin dan Ann Arbor. Menurut klasifikasi
ini penyakit Hodgkin dibagi menjadi 4 tipe, yaitu :
1. Tipe Lymphocyte Predominant
Pada tipe ini gambaran patologis kelenjar getah bening terutama terdiri
dari sel-sel limfosit yang dewasa, beberapa sel Reed-Sternberg. Biasanya
didapatkan pada anak muda. Prognosisnya baik.
2. Tipe Mixed Cellularity
Mempunyai gambaran patologis yang pleimorfik dengan sel plasma, eosinofil,
neutrofil, limfosit dan banyak didapatkan sel Reed-Sternberg. Dan merupakan
penyakit yang luas dan mengenai organ ekstranodul. Sering pula disertai gejala
sistemik seperti demam, berat badan menurun dan berkeringat. Prognosisnya lebih
buruk.
3. Tipe Lymphocyte Depleted
Gambaran patologis mirip diffuse histiocytic lymphoma, sel Reed-Sternberg
banyak sekali dan hanya ada sedikit sel jenis lain. Biasanya pada orang tua dan
cenderung merupakan proses yang luas (agresif) dengan gejala sistemik.
Prognosis buruk.
4. Tipe Nodular Sclerosis
Kelenjar
mengandung nodul-nodul yang dipisahkan oleh serat kolagen. Sering dilaporkan
sel Reed-Sternberg yang atifik yang disebut sel Hodgkin. Sering didapatkan pada
wanita muda / remaja. Sering menyerang kelenjar mediastinum.
Klasifikasi histopatologik
morbus Hodgkin
(Klasifikasi Lukes-Butler dan
Rye, 1966)
|
Namun ada
bentuk-bentuk yang tumpang tindih (campuran), misalnya golongan Nodular
Sclerosis (NS) ada yang limfositnya banyak (Lymphocyte Predominant NS=LP-NS),
ada yang limfositnya sedikit (Lymphocyte-Depleted NS=LD-NS) dan sebagainya.
Demikian pula golongan Mixed Cellularity (MC), ada yang limfositnya banyak
(LP-MC), ada yang sedikit (LD-MC).
Penyakit ini
mula-mula terlokalisasi pada daerah limfonodus perifer tunggal dan perkembangan
selanjutnya dengan penjalaran di dalam system limfatik. Mungkin bahwa sel
Reed-Sternberg yang khas dan sel lebih kecil, abnormal, bersifat neoplastik dan
mungkin bahwa sel radang yang terdapat bersamaan menunjukkan respon.hipersensitivitas
untuk hospes. Setelah tersimpan dalam limfonodus untuk jangka waktu yang
bervariasi, perkembangan alamiah penyakit ini adalah menyebar ke jaringan non
limfatik. 4
Epidemiologi
Insidensi penyakit Hodgkin kira-kira 3 per
100.000 penderita per tahun. Pada pria insidensinya sedikit lebih tinggi
daripada wanita. Perbandingan pria dan wanita adalah 3 : 2. Pada morbus Hodgkin
distribusi menurut umur berbentuk bimodal yaitu terdapat dua puncak dalam
distribusi frekuensi. Puncak pertama terjadi pada orang dewasa muda antara umur
18 – 35 tahun dan puncak kedua terjadi pada orang diatas umur 50 tahun. Selama
dekade terakhir terdapat kenaikan berangsur-angsur kejadian morbus Hodgkin,
terutama bentuk nodular sklerotik pada golongan umur lebih muda
Angka kejadian Penyakit Hodgkin yang berdasarkan populasi di Indonesia belum
ada. Pada KOPAPDI II di Surabaya tahun 1973 dilaporkan bahwa di bagian penyakit
dalam RS. Dr.Sutomo Surabaya antara tahun 1963-1972 (9 tahun) telah dirawat
26.815 pasien, dimana 81 diantaranya adalah limfoma malignum dan 12 orang
adalah penyakit Hodgkin. Pada KOPAPDI VIII tahun 1990 di Yogya dilaporkan bahwa
selama 1 tahun di bagian penyakit dalam RSUP Dr. Sardjito dirawat 2246 pasien,
32 di antaranya adalah limfoma malignum dan semuanya adalah limfoma Hodgkin.
Dari laporan-laporan tersebut di atas terlihat bahwa di Indonesia limfoma
non-Hodgkin lebih banyak dari penyakit Hodgkin, dan pria selalu lebih banyak
daripada wanita.1
Pada limfoma non Hodgkin terdapat peningkatan insidensi yang linear seiring
dengan usia. Sebaliknya, pada penyakit Hodgkin di Amerika Serikat dan di
negara-negara barat yang telah berkembang, kurva insidensi spesifik umur
berbentuk bimodal dengan puncak awal pada orang dewasa muda (15-35 tahun). Dan
puncak kedua setelah 50 tahun. Penyakit Hodgkin lebih prevalen pada laki-laki
dan bila kurva insidensi spesifik umur dibandingkan dengan distribusi jenis
kelamin pasien, maka peningkatan prevalensi laki-laki lebih nyata pada dewasa muda.
Pada penyakit Hodgkin anak, predominasi laki-laki ini lebih mencolok dengan
lebih dari 80% pasien adalah laki-laki. Hal ini menyebabkan beberapa peneliti
beranggapan bahwa terdapat peningkatan kerentan yang berhubungan dengan faktor
genetik terkait seks dan hormonal.2
Etiologi
Banyak kemajuan telah dicapai dalam memahami penyakit ini. Meskipun masih banyak yang belum konklusif. Seperti pada keganasan yang lain penyebab limfoma Hodgkin ini multifaktorial dan belum jelas benar.
Perubahan genetik, disregulasi gen-gen factor
pertumbuhan, virus dan efek imunologis, semuanya dapat merupakan factor
tumorigenik penyakit ini.
Tentang asal usul sel datia Reed-Sternberg masih ada silang pendapat sampai
sekarang. Kejangkitan limfoma Hodgkin ataupun limfoma non Hodgkin kemungkinan
ada kaitannya dengan keluarga. Apabila salah satu anggota keluarga menderita
limfoma Hodgkin, maka resiko anggota lain terjangkit tumor ini lebih besar
dibanding dengan orang lain yang tidak termasuk keluarga itu. Pada orang hidup
berkelompok insiden limfoma Hodgkin cenderung lebih banyak.
Patogenesis limfoma Hodgkin cukup rumit dan masih banyak hal yang belum diketahui dalam bidang ini. Epidemiologi morbus
Hodgkin menunjukkan kemungkinan adanya peran infeksi virus yang berlangsung
(abnormal) pada umur anak-anak. Misalnya, pada negara non industri, dimana
terjadi pemaparan terhadap virus yang umum terdapat pada umur yang lebih muda,
puncak insidensi pertama limfoma Hodgkin
juga terjadi jauh lebih dini (antara 5 dan 15 tahun) dibandingkan dengan di
negara-negara Barat. Dalam hal pemaparan terhadap virus umum yang terjadi
belakangan, (misalnya pada keluarga kecil, status ekonomi sosial yang lebih
tinggi) insidensi morbus Hodgkin relatif lebih tinggi. Ini dapat menunjukkan
bahwa infeksi virus tertentu mempunyai efek predisposisi, yang terutama
berlaku kalau infeksinya timbul pada usia lebih lanjut.
Ada petunjuk bahwa virus Epstein-Barr (EBV) mungkin memegang peran pada
patogenesis morbus Hodgkin. Dengan menggunakan teknik biologi molekular pada
persentase yang cukup tinggi kasus morbus Hodgkin (kecuali bentuk kaya
limfosit) dapat ditunjukkan adanya DNA EBV dalam sel Reed-Sternberg. Juga dapat
ditunjukkan produksi protein EBV tertentu. Tetapi, apakah ada hubungan kausal
langsung antara infeksi EBV dan terjadinya morbus Hodgkin, ataukah ada kausa
bersama untuk kedua fenomena tanpa hubungan kausa langsung (misalnya
imunodefisiensi relatif) masih belum jelas.
Empat kemungkinan penyebab yang sedang berkembang saat ini adalah: faktor
keturunan, kelainan sistem kekebalan, infeksi virus atau bakteria (HIV, virus
human T-cell leukemia/lymphoma (HTLV), Epstein-Barr virus (EBV) yang ditemukan
pada limfoma Burkitt, Helicobacter Sp) dan toksin lingkungan (herbisida,
pengawet dan pewarna kimia).
Adanya peningkatan insidens penderita limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin pada
kelompok penderita AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) pengidap virus
HIV, tampaknya mendukung teori yang menganggap bahwa penyakit ini disebabkan
oleh virus. Awal pembentukan tumor pada gangguan ini adalah pada jaringan
limfatik sekunder (seperti kelenjar limfe dan limpa) dan selanjutnya dapat
timbul penyebaran ke sumsum tulang dan jaringan lain.
Patofisiologi
Asal-usul pasti penyakit Hodgkin tidak
diketahui. Pada masa lalu, diyakini bahwa penyakit Hodgkin merupakan reaksi
radang luar biasa (mungkin terhadap agen infeksi) yang berperilaku seperti
neoplasma. Tetapi, kini secara luas diterima bahwa penyakit Hodgkin merupakan
kelainan neoplasi dan bahwa sel Reed-Sternberg merupakan sel transformasi.
Tetapi asal-usul sel Reed-Sternberg tetap menjadi teka-teki. Sel Reed-Sternberg
tidak membawa penanda permukaan sel B atau T. Tidak seperti monosit, tidak
memiliki komplemen dan reseptor Fc. Beberapa pengkaji telah menentukan
berdasarkan dari penderita dengan jalur sel penyakit Hodgkin, yang agaknya
berasal dari sel Reed-Sternberg.5
Sel-sel yang mirip Reed-Sternberg dari perbenihan ini tampak menimbulkan
antigen permukaan dengan sejumlah kecil sel “dendrit” pada daerah
parafolikel nodus limfatik. Mungkin termasuk kelas antigen HLA II sel dendrit
positif, yang aktif dalam pengenalan antigen oleh sel T. Berkurangnya kapasitas
“memberitahukan” antigen berkaitan dengan transformasi neoplasi sel
“dendritik”, mungkin menjelaskan adanya gangguan imunitas sel-T, yang begitu
umum terjadi pada penyakit Hodgkin. Meskipun demikian, saran-saran tentang asal-usul sel Reed-Sternberg ini
kini harus dianggap belum memadai, sampai ada bukti yang lebih meyakinkan.
Diketahui bahwa sel Reed-Sternberg mewakili komponen maligna penyakit
Hodgkin. Beberapa laporan telah menghubungkan infeksi virus Epstein-Barr (EBV)
dengan penyakit Hodgkin. Tetapi tidak ada rangkaian asam nukleat EBV pada sel
RS yang dibiakkan, tidak mendukung peran EBV sebagai penyebab penyakit Hodgkin.
Perhatian terhadap etiologi infeksi penyakit Hodgkin telah diperhatikan akibat
laporan yang menunujukkan kemungkinan adanya suatu “pengelompokan” penyakit
Hodgkin diantara pelajar sekolah menengah tertentu.6
Tetapi
penelitian lain telah gagal memastikan dugaan penyebaran horizontal penyakit
Hodgkin.7
Pada banyak
pasien, penyakit terlokalisasi pada mulanya pada daerah limfonodus perifer
tunggal dan perkembangan selanjutnya dengan penjalaran didalam system lmfatik.
Mungkin bahwa sel Reed-Sternberg yang khas dan sel lebuh kecil, abnormal yang
menyertai (sekarang diduga berasal dari histiosit) bersifat neoplastik dan
mungkin bahwa sel radang yang terdapat bersamaan menunjukkan respon
hipersensitivitas oleh hospes, manfaat yang menentukan pola evolusi. Pokok ini
dibicarakan lebih lanjut pada klasifikasi histologis. Setelah tersimpan dalam
limfonodus untuk jangka waktu yang bervariasi, perkembangan alamiah penyakit
ini adalah menyebar untuk mengikutsertakan jaringan non-limfatik.4
NFKB =
Nuclear Factor Kappa B
KGB =
Kelenjar Getah Bening
Manifestasi Klinis
Penyakit ini pada 70% kasus menampakkan diri
pada pembesaran kelenjar limfe, biasanya di leher. Kelenjar ini sering
asimtomatik. Jika terjadi di bawah m. sternocleidomastoideus dapat terjadi
pembengkakan difus yang besar di sisi leher yang bersangkutan. Mediastinum
sering terlibat dalam proses dan keluhan-keluhan dapat timbul dari kelainan di
tempat tersebut. Penderita muda umumnya menunjukkan kelenjar limfe yang keras,
teraba seperti karet dan membesar, di daerah leher bawah atau daerah
supraklavikula, atau disertai batuk kering non produktif sekunder akibat
limfadenopati halus.
Keringat malam, turunnya berat badan sekitar 10%
atau febris (gejala B) pada 20-30% kasus merupakan presentasi pertama, terutama
pada proses yang lebih luas. Pada 15% kasus disebutkan adanya nyeri pada
penggunaan alkohol.
Gejala-gejala pembengkakan
kelenjar limfe dengan kadang-kadang febris, dapat juga terjadi pada infeksi
umum seperti toksoplasmosis, mononukleosis infeksiosa atau infeksi virus lain
yang terdapat pada umur itu, atau pada infeksi regional. Pada pembengkakan
kelenjar yang persisten, jika tidak dijumpai inflamasi regional, harus cepat
diadakan biopsi untuk penentuan diagnosis. Pungsi sitologik dapat dikerjakan
dulu untuk orientasi. Biopsi jaringan diperlukan untuk penentuan klasifikasi
yang tepat. Jika ada dugaan ke arah limfoma maligna pada biopsi harus
disisihkan material untuk pemeriksaan imunologik dan kalau perlu pemeriksaan
DNA untuk penetapan monoklonalitas dan untuk menentukan imunofenotipe.
Penyakit Hodgkin biasanya
timbul sebagai penyakit lokal dan kemudian menyebar ke
struktur limfoid didekatnya dan akhirnya meluas ke jaringan non limfoid dengan
kemungkinan kematian pasien. Pasien penyakit Hodgkin umumnya datang dengan
adanya massa atau kelompok kelenjar limfe yang padat, mudah
digerakkan dan biasanya tidak nyeri tekan. Sekitar separuh pasien datang dengan
adenopati di leher atau daerah supraklavikula dan lebih dari 70 persen pasien
datang dengan pembesaran kelenjar getah bening superfisial. Karena kelenjar
tersebut umumnya tidak nyeri, maka deteksi oleh pasien mungkin terlambat sampai
kelenjar limfe cukup besar. Sekitar 60 persen pasien datang dengan adenopati
mediastinum. Hal ini kadang-kadang pertama kali dideteksi pada pemeriksaan sinar-x
toraks rutin. Kelenjar limfe yang terkena pada penyakit Hodgkin cenderung
sentripetal atau aksial dan berlainan dengan yang terkena pada limfoma non
Hodgkin yang memperlihatkan kecenderungan sentrifugal mengenai kelenjar limfe
epitroklear, cincin waldeyer dan abdomen.
Pada 2-5 persen pasien,
kelenjar limfe atau jaringan lain yang terkena penyakit Hodgkin dapat tersa
nyeri setelah minum minuman beralkohol. Pertumbuhan kelenjar limfe cukup
bervariasi, beberapa lesi dapat menetap dalam jangka lama, sedangkan pada
kelenjar yang lain terjadi regresi spontan dan temporer.
Sebagian besar pasien penyakit
Hodgkin tidak atau sedikit mengalami gejala yang berkaitan dengan
penyakitnya. Gejala tersering adalah demam ringan yang mungkin disertai
keringat malam. Untuk sebagian pasien, keringat malam mungkin merupakan
satu-satunya keluhan. Beberapa pasien mungkin mengalami demam naik turun
disertai banyak keringat malam (demam Pel-Epstein). Demam ini dapat menetap
selama beberapa minggu, diikuti oleh interval afebris. Demam dan keringat malam
lebih sering ditemukan pada pasien tua dan pada pasien dengan penyakit stadium
lanjut.
Gejala awal penting lainnya
adalah penurunan berat badan lebih dari 10 persen dalam 6 bulan atau kurang tanpa
sebab yang jelas. Gejala lain yang sering ditemukan adalah rasa lemah, malaise
dan cepat lelah. Pruritus terdapat pada sekitar 10n persen pasien pada saat
diagnosis, gejala ini biasanya generalisata dan mungkin berkaitan dengan ruam
kulit atau walaupun jarang merupakan satu-satunya gejala penyakit.
Kelainan mediastinum, paru,
pleura atau perikardium mungkin disertai batuk, nyeri dada, sesak napas atau osteoartropi
hipertrofik, keterlibatan tulang mungkin disertai nyeri tulang. Kadang-kadng pasien
datang dengan gejala sumbatan vena kava superior sebagai gejala awal. Kompresi
mendadak korda spinalis dapat merupakan gejala awal tetapi biasanya merupakan
penyulit penyakit progresif stadium lanjut. Nyeri kepala atau gangguan
penglihatan dapat ditemukan pada pasien dengan penyakit Hodgkin intrakranium
dan ketrlibatan abdomen menimbulkan nyeri abdomen, gangguan usus dan bahkan
asites.2
Stadium / Staging Limfoma Hodgkin
Pada penyakit ini dibedakan 2
macam staging :
- Clinical staging
Staging dilakukan secara klinis saja tentang ada tidaknya kelainan organ
tubuh.
- Pathological staging.
Penentuan stadium juga didukung dengan adanya kelainan histopatologis pada
jaringan yang abnormal. Pathological staging ini dinyatakan pula pada hasil
biopsi organ, yaitu : hepar, paru, sumsum tulang, kelenjar, limpa, pleura,
tulang, kulit.
Staging yang dianut saat ini
adalah staging menurut Ann Arbor yang di modifikasi sesuai konferensi
Cotswald.1
Table Staging menurut system Ann Arbor modifikasi Costwald.
Stage I
: Penyakit menyerang satu regio kelenjar getah bening atau satu struktur
limfoid (missal : limpa, timus, cincin Waldeyer).
Stage II :
Penyakit menyerang dua atau lebih regio kelenjar pada satu
sisi
diafragma, jumlah regio yang diserang dinyatakan dengan
subskrip
angka, misal : II2, II3, dsb.
Stage III : Penyakit menyerang regio atau struktur limfoid di atas dan di bawah
diafragma.
III1 : menyerang kelenjar splenikus hiler, seliakal, dan portal
III2 : menyerang kelenjar para-aortal, mesenterial dan iliakal.
Stage IV : Penyakit menyerang organ-organ ekstra nodul, kecuali yang
tergolong E (E: bila primer menyerang satu organ ekstra nodal).
Dapat diberi tambahan :
A : bila tanpa gejala sistemik
B : bila disertai gejala sistemik yaitu: panas badan ≥ 38˚C yang tak jelas
sebabnya; penurunan berat badan 10 % atau berkeringat malam atau setiap
kombinasi dari 3 gejala itu selama 6 bulan terakhir penyakit ini.
X : bila ada bulky mass (≥ 1/3 lebar thorax dan ≥ 10 cm
untuk ukuran kelenjar).
S : bila limpa (spleen) terkena.
Untuk menentukan luasnya penyakit diperlukan prosedur staging tertentu.
Table
Prosedur yang diperlukan untuk menentukan tingkat (stadium)
penyakit Hodgkin.1
1. Riwayat dan pemeriksaan :
Identifikasi gejala-gejala
sistemik
2. Prosedur-prosedur radiologis :
a. Foto dada biasa
b. CT-Scan dada (bila foto dada abnormal)
c. CT-Scan abdomen dan pelvis
d. Limfografi bipedal
3. Prosedur-prosedur hematologis :
a. Darah lengkap dan hitung jenis
b. LED
c. Aspirasi dan biopsy sumsum tulang
4. Prosedur
biokimiawi
a. Tes faal hati
b. Serum albumin, LDH, Ca
5. Prosedur untuk hal-hal khusus :
a. Laparatomi (diagnostic dan staging)
b. USG abdomen
c. MRI
d. Gallium scanning
e. Technetium bone scan
f. Scan hati dan limpa
Diagnosis 2, 4
Anamnesis
Keluhan penderita terbanyak adalah pembesaran kelenjar getah bening di
leher, aksila ataupun lipatan paha, berat badan semakin menurun dan
kadang-kadang disertai demam, keringat dan gatal
Pemeriksaan fisik
Palpasi pembesaran kelenjar getah bening di leher terutama supraklavikular,
aksiler dan inguinal. Mungkin lien dan hati teraba membesar. Pemeriksaan THT
perlu dilakukan untuk menentukan kemungkinan cincin waldeyer ikut terlibat.
Apabila area ini terlihat perlu diperiksa gastrointestinal sebab sering
terlihat bersama-sama.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin, uji fungsi hati dan uji fungsi ginjal merupakan
bagian penting dalam pemeriksaan medis, tetapi tidak memberi keterangan tentang
luas penyakit. atau keterlibatan organ spesifik. Pada pasien penyakit Hodgkin
serta pada penyakit neoplastik atau kronik lainnya mungkin ditemukan anemia
normokromik normositik derajat sedang yang berkaitan dengan penurunan kadar
besi dan kapasitas ikat besi, tetapi dengan simpanan besi yang normal atau
meningkat di sumsum tulang sering terjadi reaksi leukomoid sedang sampai berat,
terutama pada pasien dengan gejala dan biasanya menghilang dengan pengobatan.
Eosinofilia absolute perifer ringan tidak jarang ditemukan, terutama pada
pasien yang menderita pruritus. Juga dijumpai monositosis absolute
limfositopenia absoluit (<1000 sel per millimeter kubik) biasanya terjadi
pada pasien dengan penyakit stadium lanjut. Telah dilakukan evaluasi terhadap
banyak pemeriksaan sebagai indicator keparahan penyakit.
Sampai saat ini, laju endap darah masih merupakan pemantau terbaik, tetapi
pemeriksaan ini tidak spesifik dan dapat kembali ke normal walaupun masih
terdapat penyakit residual. Uji lain yang abnormal adalah peningkatan kadar
tembaga, kalsium, asam laktat, fosfatase alkali, lisozim, globulin, protein
C-reaktif dan reaktan fase akut lain dalam serum.
Sitologi Biopsi Aspirasi
Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJAH) sering digunakan pada diagnosis
pendahuluan limfadenopati untuk identifikasi penyebab kelainan tersebut seperti
reaksi hiperplastik kelenjar getah bening, metastasis karsinoma dan limfoma
malignum.
Penyulit lain dalam diagnosis sitologi biopsy aspirasi LH ataupun LNH
adalah adanya negatif palsu dianjurkan melakukan biopsy aspirasi multiple hole
di beberapa tempat permukaan tumor. Apabila ditemukan juga sitologi negatif dan
tidak sesuai dengan gambaran klinis, maka pilihan terbaik adalah biopsi insisi
atau eksisi.
Histopatologi
Biopsi tumor sangat penting, selain untuk diagnosis juga identifikasi subtype
histopatologi walaupun sitologi biopsy aspirasi jelas LH ataupun LNH. Biopsi
dilakukan bukan sekedar mengambil jaringan, namun harus diperhatikan apakah
jaringan biopsy tersebut dapat memberi informasi yang adekuat. Biopsi biasanya
dipilih pada rantai KGB di leher. Kelenjar getah bening di inguinal, leher
bagian belakang dan submandibular tidak dipilih disebabkan proses radang,
dianjurkan agar biopsy dilakukan dibawah anestesi umum untuk mencegah pengaruh
cairan obat suntik local terhadap arsitektur jaringan yang dapat mengacaukan
pemeriksaan jaringan
Radiologi
Termasuk didalamnya :
a. foto toraks untuk menentukan
keterlibatan KGB mediastinal
b. Limfangiografi untuk menentukan keterlibatan KGB
didaerah iliaka dan pasca aortal
c. USG banyak digunakan melihat
pembesaran KGB di paraaortal dan sekaligus menuntun biopsi aspirasi jarum halus
untuk konfirmasi sitologi.
d. CT-Scan sering dipergunakan
untuk diagnosa dan evaluasi pertumbuhan LH
Laparotomi
Laparotomi abdomen sering dilakukan untuk melihat kondisi KGB pada iliaka
para aotal dan mesenterium dengan tujuan menentukan stadium. Berkat kemajuan
teknologi radiology misalnya USG dan CT Scan ditambah sitologi biopsy aspirasi
jarum halus, tindakan laparotomi dapat dihindari atau sekurang-kurangnya
diminimalisasi.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding serupa
dengan yang dijelaskan untuk limfoma non Hodgkin pada pasien dengan
limfadenopati di leher, infeksi misalnya faringitis bakteri atau virus,
mononucleosis infeksiosa dan toksoplasmosis harus disingkirkan. Keganasan lain,
misalnya limfoma non Hodgkin, kanker nasofaring dan kanker tiroid dapat
menimbulkan adenopati leher local. Adenopati ketiak harus dibedakan dengan
limfoma non Hodgkin dan kanker payudara.
Adenopati mediastinum harus
dibedakan dengan infeksi, sarkoid dan tumor lain. Pada pasien tua, diagnosis
banding mencakup tumor paru dan mediastinum, terutama karsinoma sel kecil dan
non sel kecil. Medistinitis reaktif dan adenopati hilus akibat histoplasmosis
dapat mirip dengan limfoma, karena penyakit tersebut timbul pada pasien
asimtomatik. Penyakit abdomen primer dengan hepatomegali, splenomegali dan
adenopati massif jarang ditemukan, dan penyakit neoplastik lain, terutama
limfoma non Hodgkin harus disingkirkan dalam keadaan ini.
Penatalaksanaan
Tiap penderita dengan penyakit Hodgkin harus
diterapi dengan tujuan kuratif. Ini juga berlaku untuk penderita dalam stadium
III dan IV dan juga untuk penderita dengan residif sesudah terapi pertama.
Ini berarti bahwa terapi harus cepat dimulai dan
bahwa ini tidak boleh dihentikan atau dikurangi tanpa alasan yang berat.
Sebelum mulai terapi harus ada pembicaraan antara radioterapis dan internis
untuk menentukan program terapi.
Pilihan terapi pertama pada morbus Hodgkin
Terapi pertama
|
|
Stadium I
– II
|
- Terapi
standar: radiasi lapangan mantel dan radiasi kelenjar paraaorta dan limpa;
kadang-kadang hanya lapangan mantel saja
- Jika
ada faktor resiko, kemoterapi dilanjutkan dengan radioterapi
- Dalam
penelitian, kemoterapi terbatas dengan “involved field radiation”
|
Stadium
IIIA
|
Kemoterapi
ditambah dengan radioterapi
|
Stadium
IIIB – IV
|
Kemoterapi,
ditambah dengan radioterapi
|
1. Stadium klinik I dan II
Terapi standar dalam stadium I dan II adalah
radioterapi. Untuk lokalisasi di atas diafragma ini terdiri atas radiasi
lapangan mantel, diikuti dengan radiasi daerah paraaortal dan limpa, yang
terakhir ini karena kemungkinan 20-30% dalam daerah ini, seperti ternyata dari
hasil laparotomi penetapan stadium. Terapi demikian itu berlangsung 4 minggu
untuk daerah mantel dan sesudah periode istirahat 3-4 minggu, 4 minggu untuk
daerah kelenjar limfe paraaortal dan limpa. Dengan terapi ini ketahanan hidup
bebas penyakit yang berlangsung lama adalah kira-kira 75%, ketahanan hidup
total kira-kira 90%. Ini dengan titik tolak bahwa periode bebas penyakit 5-7
tahun berarti penyembuhan. Residif terutama terjadi pada tahun-tahun pertama
sesudah terapi.
Jika lokasi kelainannya di bawah diafragma,
dalam stadium I atau II diberikan penyinaran Y terbalik, dengan menyinari
kelenjar limfe paraaortal, limpa, kelenjar iliakal dan kelenjar inguinal. Pada
radiasi ini ovarium terdapat dalam lapangan penyinaran. Karena itu dipertimbangkan
pada wanita muda untuk menempatkan ovarium di luar lapangan penyinaran. Jika
kelainan di perut sangat voluminous, maka dipilih kemoterapi dalam kombinasi
dengan radioterapi.
Ada beberapa perkecualian terhadap garis pedoman
standar ini. Dalam hal-hal tertentu hanya dapat dipertimbangkan penyinaran
lapangan mantel, misalnya pada stadium I terbatas pada wanita-wanita, dengan
lokasi tinggi di leher. Pengalaman menunjukkan bahwa lokasi occult di dalam
perut, jadi residif disitu, jarang terdapat. Ada 3 golongan penderita dalam
stadium klinik I dan II yang untuknya radioterapi saja tidak memberi hasil yang
optimal. Kelompok pertama terdiri atas penderita yang mempunyai mediastinum
sangat lebar (lebar mediastinum misalnya > 1/3 diameter toraks, diukur setinggi
vertebra torakal 5-6). Penderita ini sering mendapat residif di paru atau dalam
mediastinum jika hanya diberikan radioterapi saja. Dalam hal ini lebih dipilih
kombinasi kemoterapi dan radioterapi.
Golongan kedua terdiri atas penderita yang
meskipun dalam stadium II mempunyai berbagai lokalisasi kelenjar limfe,
misalnya bilateral di leher, mediastinum atau aksila. Pengalaman menunjukkan
bahwa pada penderita yang diberikan radiasi saja sering (40-50%) timbul
residif, juga kalau perut atas ikut diberi sinar. Juga laju enap darah yang
tinggi atau umur lebih dari 50 tahun tampaknya memperbesar kemungkinan residif.
Golongan ketiga terdiri atas wanita muda. Ada
laporan bahwa penyinaran lapangan mantel yang diberikan pada wanita antara
15-25 tahun, sesudah 10-15 tahun memberikan kemungkinan karsinoma payudara yang
meningkat. Ini menjadi alasan bagi kelompok ini untuk di terapi dengan
kemoterapi dalam kombinasi dengan penyinaran terbatas, dengan sebagian besar
menghindari payudara.
Jadi, penderita dalam stadium I atau II dengan
faktor resiko ini secara inisial harus diterapi dengan kombinasi kemoterapi dan
penyinaran. Tahun-tahun akhir ini pada umumnya ada tendensi untuk juga stadium
I dan II penderita tanpa faktor resiko tambahan diterapi dengan kombinasi
kemoterapi dan radiasi. Alasan untuk ini adalah bahwa misalnya sebagai akibat
penyinaran lapangan mantel sesudah 10-15 tahun, juga terdapat kenaikan
kemungkinan timbul masalah kardial.
Dalam hal ini dipilih kombinasi kemoterapi,
dengan efek samping relatif sedikit, dan radioterapi terbatas pada daerah yang
terkena. Sementara sebaiknya kombinasi ini tidak digunakan dahulu di luar
penelitian.
Jenis-jenis radioterapi
1. Stadium IIIA
Jika dalam stadium III perluasannya hanya
terbatas, radiasi memang mungkin, misalnya dalam situasi klinis stadium klinik
II pada laparotomi terdapat perluasan terbatas di limpa atau perut atas.
Penyinaran harus terdiri dari radiasi lapangan mantel dan radiasi Y terbalik
(radiasi “total node”). Pada stadium klinik III lebih dipilih penanganan dengan
kemoterapi. Penderita ini diterapi sebagai pasien dalam stadium IIIB – IV.
2. Stadium IIIB – IV
Penderita dalam stadium ini diterapi dengan
kemoterapi (Longo, 1990). Skema MOPP yang telah lama sebagai pilihan pertama
tampaknya digeser oleh skema MOPP/ABV. Dalam hal ini pada hari ke-1 dan ke-8
dapat diberikan berbagai obat. Dari penelitian ternyata bahwa dengan pilihan
ini kemungkinan penyembuhan lebih besar daripada dengan MOPP saja. Persentase
remisi komplit adalah 80%, dengan 60% kemungkinan penyembuhan.
Sesudah periode istirahat biasanya 2 minggu seri
berikutnya diberikan, dengan kadang-kadang mengatur kembali dosisnya atas dasar
jumlah leukosit dan trombosit. Mengenai lamanya terapi berlaku aturan bahwa
diberikan terapi sampai tercapai remisi komplit, diteruskan dengan 2 terapi
konsolidasi. Jika cepat terjadi remisi ini berarti 6 seri, jika tidak, menjadi
8 seri. Lebih lama dari ini tidak ada artinya.
Pertanyaannya adalah apakah ada artinya bila
pada kemoterapi diberikan penyinaran tambahan untuk meningkatkan kemungkinan
penyembuhan. Ini tidak seluruhnya jelas. Kemungkinan residif lokal di daerah
yang disinar dapat diperkecil, tetapi belum jelas dibuktikan bahwa kemungkinan
kurasi menjadi lebih baik.
Pada penderita yang lebih tua juga digunakan
skema ChlVPP, yang pada umumnya lebih baik ditoleransi. Mengenai efek samping
kemoterapi disamping efek akut yang terjadi (misalnya nausea, vomitus, depresi
sumsum tulang, dan kerontokan rambut), juga harus diperhatikan efek samping
yang timbul kemudian. Pada terapi MOPP pada laki-laki terjadi sterilitas yang
menetap dalam persentase yang tinggi. Sebaiknya sebelum mulai terapi harus
dibicarakan dengan penderita resiko infertilitas dan kemungkinan pembekuan
spermanya. Meskipun pada terapi MOPP/ABV resikonya lebih kecil, disini juga
harus dilakukan pembekuan sperma. Pada wanita harus diperhatikan kemungkinan
amenorrhea jika mereka lebih tua daripada 25-30 tahun. Pada wanita lebih muda
kemungkinan cukup besar bahwa siklus dan fertilitasnya tetap utuh.
Tampaknya lebih mungkin bahwa pada laki-laki
maupun wanita fertilitas lebih dapat dipertahankan pada terapi ABVD.
Selanjutnya ada resiko terjadinya tumor kedua
seperti leukemia sekunder dan limfoma non-Hodgkin (Van Leeuwen, 1994).
Kemoterapi memegang peran dalam hal ini. Terapi MOPP terkenal tidak baik dalam
hal terjadinya leukemia sekunder. Kemungkinannya adalah 5% sesudah 10 tahun.
Nitrogen mustard, suatu zat pengalkil tampaknya merupakan penyebab terbesar.
Ini juga menjadi alasan bahwa akhir-akhir ini lebih disukai skema-skema dengan
mengurangi obat pengalkil atau sama sekali tidak, seperti MOPP/ABV atau ABVD.
Beberapa kombinasi kemoterapi yang banyak dipakai pada morbus Hodgkin
Dosis (mg/m2)
|
Hari ke-
|
1 5 8 15
|
||
MOPP
|
||||
Nitrogen mustard
Vinkristin
Procarbazine
Prednisone
|
6
1,4
100
25
|
i.v.
i.v.
p.o.
p.o.
|
+ +
+ +
—————————
—————————
|
|
ChlVPP
|
||||
Chlorambusil
Vinblastin
Procarbazine
Prednisone
|
6
6
100
25
|
p.o.
i.v.
p.o.
p.o.
|
—————————
+ +
—————————
—————————
|
|
ABVD
|
||||
Adriamisin
Bleomisin
Vinblastin
DTIC
|
25
10
6
250
|
i.v.
i.v.
i.v.
i.v.
|
+ +
+ +
+ +
+ +
|
|
MOPP/ABV
|
||||
Nitrogen mustard
Vinkristin
Procarbazine
Prednisone
Adriamisin
Vinblastin
Bleomisin
|
6
1,4
100
40
35
6
10
|
i.v.
i.v.
p.o.
p.o.
i.v.
i.v.
i.v.
|
+
+
——————
—————————
+
+
+
|
|
CEP
|
||||
CCNU
Etoposid
prednimustin
|
80
100
80
|
p.o.
p.o.
p.o.
|
+
———
———
|
Keterangan : + dosis sekali
— diminum tiap hari berkelanjutan
Penanganan residif
Jika penderita hanya disinar pada terapi pertama
dan kemudian mengalami residif, maka dia harus ditangani dengan kemoterapi.
Hasil-hasilnya dapat disamakan dengan penderita yang dalam instansi pertama
ditangani dengan kemoterapi. Pada residif sesudah kemoterapi dengan atau tanpa
radioterapi, kebijaksanaan ditentukan oleh interval akhir terapi sebelumnya dan
residifnya.
Prognosis penderita dengan residif selama atau
segera sesudah (kurang dari 1 tahun) akhir kemoterapi pertama adalah buruk.
Terapi dengan skema lain yang disebut skema non cross resistant, ditambah
dengan radiasi jika memungkinkan, memberi 20% kemungkinan ketahanan hidup lebih
lama pada residif dini. Jika penderita diterapi dengan MOPP/ABV dan selama atau
segera sesudah itu mendapat residif, akan lebih sukar lagi untuk menemukan
terapi lini kedua, karena hampir semua obat yang aktif telah terpakai dalam
skema ini.
Jika residif timbul belakangan ternyata dengan
kemoterapi yang sama atau dengan alternatif yang non cross resistant, ditambah
dengan radioterapi jika masih memungkinkan, dapat dicapai remisi jangka panjang
pada 30-40% penderita.
Baik untuk residif dini maupun jangka setengah
panjang sedang diadakan penelitian mengenai nilai kemoterapi dosis tinggi
dengan reinfusi sumsum tulang autolog (ABMT). Prinsipnya adalah diambil sumsum
tulang dan dibekukan. Kemudian penderita diberi kemoterapi yang biasa dipakai
untuk mencapai remisi sebaik mungkin, kemudian diadakan intensifikasi dengan
kemoterapi dosis tinggi, dengan reinfusi sumsum tulang yang tersimpan untuk
memperpendek periode pansitopenia. Tahun-tahun terakhir didapat banyak
pengalaman dalam hal ini. Sedang diadakan penelitian acak untuk menunjukkan
golongan penderita mana yang dengan prosedur demikian itu mendapat kenaikan
kemungkinan kesembuhan dibanding dengan terapi standar.
Perkembangan yang lebih baru sebagai pengganti
sumsum tulang adalah sel induk perifer (PSC) dipanen dari darah dan
dikembalikan pada penderita. Sel-sel induk ini dapat dimobilisasi dengan satu
kuur kemoterapi dengan memberikan G-CSF (Granulocyte stimulating factor). Efek
tindakan ini adalah bahwa sesudah penurunan singkat jumlah sel darah putih
dalam darah perifer, jumlah itu meningkat lagi dengan penambahan sel muda
(diantaranya sel induk dengan CD34-positif). Ini melalui leukoferesis dapat
dikumpulkan dan dibekukan. Jika kemudian sel induk itu diberi dosis tinggi
kemoterapi dan diinfuskan, dengan cepat akan terjadi perbaikan nilai darah
perifer lagi. Perbaikan ini umumnya lebih cepat daripada jika sumsum tulang
yang dikembalikan (Richel, 1993).
Pilihan terapi residif pada morbus Hodgkin
Terapi residif
|
|
Sesudah
radioterapi
|
Kemoterapi,
seperti pada penderita yang tidak diterapi sesudah kemoterapi
|
Interval
pendek
|
Kemoterapi
lain dengan obat-obat yang tidak dipakai sebelumnya, dengan radioterapi dalam
penelitian; kemoterapi dosis tinggi dengan ABMT atau PSCT
|
Interval
panjang
|
Kemoterapi
sama atau lain, jika mungkin dengan radioterapi dalam penelitian kemoterapi
dosis tinggi dengan ABMT atau PSCT
|
Pada residif yang timbul sesudah waktu lama,
artinya lebih lama daripada 5-7 tahun sesudah akhir kemoterapi pertama, pada
umumnya diusahakan dengan kemoterapi yang sama, atau variannya, dengan tambahan
radioterapi untuk menginduksi remisi kedua. Ini dapat berhasil pada residif
lambat. Dalam hal ini orang tidak akan tergesa-gesa memberikan dosis tinggi
kemoterapi diteruskan dengan ABMT. Tindakan ini baru akan dilakukan pada
residif kedua. Skema yang dipakai pada residif lambat atau pada situasi
paliatif adalah skema CEP yang diberikan.
Prognosis
Dengan
pengelolaan yang baik, penyakit Hodgkin dapat dikendalikan dalam waktu yang
cukup lama. Di Amerika Serikat, kemampuan hidup 5 tahun lebih dari 80% pada
stadium I atau II. Pasien dengan stadium IIIA mempunyai ketahanan hidup 5 tahun
sebanyak 65%. Pada pasien dengan stadium IIIA2, IIIB, atau IV, apabila diterapi
dengan kemoterapi, dapat terjadi remisi pada 80-95% kasus, di mana lebih dari
50% dari pasien tersebut mencapai perpanjangan masa bebas gejala. Prognosis ini
banyak ditentukan oleh faktor-faktor seperti stadium, jenis histologik, massa
tumor keseluruhan, terapi, dll
Prognosis penyakit Hodgkin ini relatif baik.
Penyakit ini dapat sembuh atau hidup lama dengan pengobatan meskipun tidak
100%. Tetapi oleh karena dapat hidup lama, kemungkinan mendapatkan late
complication makin besar. Late complication itu antara lain :
- timbulnya keganasan kedua atau sekunder
- disfungsi endokrin yang kebanyakan adalah tiroid dan gonadal
- penyakit CVS terutama mereka yang mendapat kombinasi radiasi dan pemberian antrasiklin terutama yang dosisnya banyak (dose related)
- penyakit pada paru pada mereka yang mendapat radiasi dan bleomisin yang juga dose related
- pada anak-anak dapat terjadi gangguan pertumbuhan
Daftar Pustaka/Referensi
- Noer HMS, Waspadji S, Rachman AM, dkk. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II. Edisi 3. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta : Balai penerbit FKUI, 1996.
- Isselbacher K.J, Braunwald E, Asdie H Dr Prof, et al. HARRISON Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 4. Edisi 13. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 2000.
- Tambunan W G Dr, Handojo M, et al. Diagnosis dan Tatalaksana Sepuluh Jenis Kanker Terbanyak di Indonesia. Cetakan III. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 1995.
- Hoffbrand A V, Pettit J E, Darmawan I, editor. Kapita Selekta Haematologi (Essential Haematology). Edisi 2. Cetakan IV. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 1996.
- Diehl V, et al : Characteristic of Hodgkin’s disease derived cell lines cancer treat. Rep. 66: 615, 1982.
- Vianna N J, and Polan, A K : Epidemiologic evidence for transmission of Hodgkin’s disease N. Engl J. Med. 289-499, 1973.
- Gutensohn N, and Core, P. Epidemiologic of Hodgkin’s disease, Seamaoned 7 : 92, 1980.
- Sudoyo W. Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S Editor.Limfoma Hodgkin. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II Edisi III, Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2006 ; hal 725-727
- Kasper D, Braunwald E, Fauchi A. Harrisons Principles of Internal Medicine. 16th ed, New York : McGraw Hill, 2005
- Sutedyo AY. Buku Saku Mengenal Penyakit Melalui Hasil Pemeriksaan Laboratorium, ed 4. Yogyakarta. Amara Books, 2008
- Prof. Dr. I Made Bakta. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran ECG. 2006
Kata Kunci Pencarian : Limfoma Maligna, Limfoma Hodgkin, Karya Tulis Ilmiah, Skripsi, Referat, SKP (Satuan Kredit Profesi), Kompetensi, pdf, word, .pdf, .doc, .docx, Hematologi, Ilmu Penyakit Dalam, Tesis, Desertasi, Makalah, Disertasi, Refrat, modul BBDM, Belajar Bertolak Dari Masalah, Problem Based Learning, askep (asuhan keperawatan)
0 comments:
Posting Komentar