Definisi
Krisis
hipertensi adalah suatu keadaan klinis di mana tekanan darah menjadi sangat
tinggi dengan kemungkinan adanya kerusakan organ seperti otak (stroke), ginjal,
dan jantung. Krisis hipertensi sangat seringterjadi pada pasien hipertensi lama
yang tidak rutin atau lalai meminum obat antihipertensinya.
Krisis
hipertensi merupakan keadaan hipertensi yang memerlukan penurunan tekanan darah
segera karena akan mempengaruhi keadaan pasien selanjutnya. Tingginya tekanan
darah bervariasi, yang terpenting adalah cepat naiknya tekanan darah. (Cermin
dunia kedokteran no.67,th 1991)
Hipertensi darurat merupakan suatu kondisi di
mana diperlukan penurunan tekanan darah dengan segera (tidak selalu diturunkan
sampai batas normal), untuk mencegah atau membatasi kerusakan organ. Misalnya
pada ensefalopati hipertensif,
perdarahan intrakranial, infark miokard
akut, dan eklampsia.
Krisis hipertensi
didefinisikan sebagai kondisi peningkatan tekanan darah yang disertai kerusakan
atau yang mengancam kerusakan terget organ dan memerlukan penanganan segera
untuk mencegah kerusakan atau keparahan target organ. The Fifth Report of
the Joint National Comitte on Detection, Evaluation and Treatment of High Blood
Pressure (JNC-7, 2004) membagi krisis hipertensi ini menjadi 2 golongan
yaitu : Hipertensi emergensi (darurat) dan Hipertensi urgensi (mendesak). Kedua
hipertensi ini ditandai nilai tekanan darah yang tinggi, yaitu ≥180 mmHg/120
mmHg dan ada atau tidaknya kerusakan target organ pada hipertensi.
Membedakan kedua golongan
krisis hipertensi bukanlah dari tingginya TD, tapi dari kerusakan organ
sasaran. Kenaikan TD yang sangat pada seorang penderita dianggap sebagai suatu
keadaan emergensi bila terjadi kerusakan secara cepat dan progresif dari sistem
syaraf sentral, miokardinal, dan ginjal. Hipertensi emergensi dan hipertensi
urgensi perlu dibedakan karena cara penanggulangan keduanya berbeda.
Klasifikasi
Secara praktis krisis hipertensi dapat
diklasifikasikan berdasarkan perioritas pengobatan, sebagai berikut :
1.
Hipertensi
emergensi (darurat) ditandai dengan TD Diastolik > 120 mmHg, disertai
kerusakan berat dari organ sasaran yang disebabkan oleh satu atau lebih
penyakit/kondisi akut. (daftar I).
Keterlambatan pengobatan akan menyebabkan timbulnya sequele atau kematian. TD
harus diturunkan sampai batas tertentu dalam satu sampai beberapa jam.
Penderita perlu dirawat di ruangan intensive care unit atau (ICU).
2.
Hipertensi
urgensi (mendesak), TD diastolik > 120 mmHg dan dengan tanpa
kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran. TD harus diturunkan dalam 24
jam sampai batas yang aman memerlukan terapi parenteral. (daftar II).
Dikenal beberapa istilah yang berkaitan dengan krisis hipertensi antara lain :
a. Hipertensi refrakter : respons
pengobatan tidak memuaskan dan TD > 200/110 mmHg, walaupun telah diberikan
pengobatan yang efektif (triple drug) pada penderita dan kepatuhan pasien.
b. Hipertensi akselerasi : TD meningkat
(Diastolik) > 120 mmHg disertai dengan kelainan funduskopi KW III. Bila
tidak diobati dapat berlanjut ke fase maligna.
c. Hipertensi maligna : penderita
hipertensi akselerasi dengan TD Diastolik > 120 – 130 mmHg dan kelainan
funduskopi KW IV disertai papiledema, peniggian tekanan intrakranial kerusakan
yang cepat dari vaskular, gagal ginjal akut, ataupun kematian bila penderita
tidak mendapat pengobatan. Hipertensi maligna, biasanya pada penderita dengan
riwayat hipertensi essensial ataupun sekunder dan jarang terjadi pada penderita
yang sebelumnya mempunyai TD normal.
d. Hipertensi ensefalopati : kenaikan
TD dengan tiba-tiba disertai dengan keluhan sakit kepala yang sangat, perubahan
kesadaran dan keadaan ini dapat menjadi reversible bila TD diturunkan.
daftar I :
Hipertensi emergensi ( darurat )
TD Diastolik
> 120 mmHg disertai dengan satu atau lebih kondisi akut.
a.
Pendarahan
intra pranial, ombotik CVA atau pendarahan subarakhnoid.
b.
Hipertensi
ensefalopati.
c.
Aorta
diseksi akut.
d.
Oedema paru
akut.
e.
Eklampsi.
f.
Feokhromositoma.
g.
Funduskopi
KW III atau IV.
h.
Insufisiensi
ginjal akut.
i.
Infark
miokard akut, angina unstable.
j.
Sindroma
kelebihan Katekholamin yang lain :
>
Sindrome
withdrawal obat anti hipertensi.
>
Cedera
kepala.
>
Luka bakar.
>
Interaksi
obat.
Daftar II : Hipertensi urgensi ( mendesak )
a.
Hipertensi
berat dengan TD Diastolik > 120 mmHg, tetapi dengan minimal
atau tanpa
kerusakan organ sasaran dan tidak dijumpai keadaan pada daftar I.
b.
KW I atau II
pada funduskopi.
c.
Hipertensi
post operasi.
d.
Hipertensi tak terkontrol /
tanpa diobati pada perioperatif.
Tingginya TD yang dapat menyebabkan kerusakan organ sasaran tidak hanya dari tingkatan TD aktual, tapi juga dari tingginya TD sebelumnya, cepatnya kenaikan TD, bangsa, seks dan usia penderita. Penderita hipertensi kronis dapat mentolelir kenaikan TD yang lebih tinggi dibanding dengan normotensi, sebagai contoh : pada penderita hipertensi kronis, jarang terjadi hipertensi ensefalopati, gangguan ginjal dan kardiovaskular dan kejadian ini dijumpai bila TD Diastolik > 140 mmHg. Sebaliknya pada penderita normotensi ataupun pada penderita hipertensi baru dengan penghentian obat yang tiba-tiba, dapat timbul hipertensi ensefalopati demikian juga pada eklampsi, hipertensi ensefalopati dapat timbul walaupun TD 160/110 mmHg. [2,3,6]
Etiologi
Pada umumnya krisis hipertensi
tidak mempunyai penyebab yang spesifik. Krisis hipertensi terjadi sebagai
respon peningkatan kardiak output atau peningkatan tekanan perifer. Namun ada
beberapa factor yang mempengaruhi terjadinya krisis hipertensi yaitu:
- Genetik : respon nerologi terhadap stress atau
kelainan ekskresi.
- Obesitas : terkait dengan tingkat
insulin yang tinggi yang mengakibatkan tekanan dsrsh meningkat.
- Stress lingkungan
- Hilangnya eksistensi jaringan dan atreisklerosis
pada orang tua serts pelebaran pembuluh darah.
Epidemiologi
Dari populasi Hipertensi (HT),
ditaksir 70% menderita HT ringan, 20% HT sedang dan 10% HT berat. Pada setiap
jenis HT ini dapat timbul krisis hipertensi yang merupakan suatu kegawatan
medik dan memerlukan pengelolaan yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan jiwa
penderita. Angka kejadian krisis HT menurut laporan dari hasil penelitian
dekade lalu di negara maju berkisar 2 – 7% dari populasi HT, terutama pada usia
40 – 60 tahun dengan pengobatan yang tidak teratur selama 2 – 10 tahun. Angka
ini menjadi lebih rendah lagi dalam 10 tahun belakangan ini karena kemajuan
dalam pengobatan HT, seperti di Amerika hanya lebih kurang 1% dari 60 juta
penduduk yang menderita hipertensi. Di Indonesia belum ada laporan tentang
angka kejadian ini. [1,2,3]
Patofisioloi
Mekanisme patofisiologi hipertensi
yaitu Peningkatan tekanan darah yang dipengaruhi oleh curah jantung dan tahanan
perifer .
Mekanisme hipertensi tidak
dapat dijelaskan dengan satu penyebab khusus, melainkan sebagai akibat
interaksi dinamis antara faktor genetik, lingkungan dan faktor lainnya. Tekanan
darah dirumuskan sebagai perkalian antara curah jantung dan atau tekanan
perifer yang akan meningkatkan tekanan darah. Retensi sodium, turunnya filtrasi
ginjal, meningkatnya rangsangan saraf simpatis, meningkatnya aktifitas renin
angiotensin alosteron, perubahan membran sel, hiperinsulinemia, disfungsi
endotel merupakan beberapa faktor yang terlibat dalam mekanisme hipertensi.
Mekanisme patogenesis hipertensi
salah satunya dipengaruhi oleh sistem renin angiotensin aldosteron, dimana
hampir semua golongan obat anti hipertensi bekerja dengan mempengaruhi sistem
tersebut. Renin angiotensin aldosteron adalah sistem endogen komplek yang
berkaitan dengan pengaturan tekanan darah arteri. Aktivasi dan regulasi sistem
renin angiotensin aldosteron diatur terutama oleh ginjal. Sistem renin
angiotensi aldosteron mengatur keseimbangan cairan, natrium dan kalium. Sistem
ini secara signifikan berpengaruh pada aliran pembuluh darah dan aktivasi
sistem saraf simpatik serta homeostatik regulasi tekanan darah .
Arteri normal pada individu
normotensi akan mengalami dilatasi atau kontriksi dalam merespon terhadap
perubahan tekanan darah untuk mempertahankan aliran (mekanisme autoregulasi)
yang tetap terhadap vascular beeds sehingga kerusakan arteriol tidak terjadi.
Pada krisis hipertensi terjadi perubahan mekanisme autoregulasi pada vascular
beeds (terutama jantung, SSP, dan ginjal) yang mengakibatkan terjadinya
perfusi. Akibat perubahan ini akan terjad efek local dengan berpengaruhnya
prostaglandin, radikal bebas dan lain-lain yang mengakibatkan nekrosis fibrinoid
arteriol, disfungsi endotel, deposit platelet, proliferasi miointimal, dan efek
siskemik akan mempengaruhi renin-angiotensin, katekolamin, vesopresin,
antinatriuretik kerusakan vaskular sehingga terjadi iskemia organ target.
Jantung, SSP, ginjal dan mata mempunyai mekanisme autoregulasi yang dapat
melindungi organ tersebut dari iskemia yang akut, bila tekanan darah mendadak
turun atau naik. Misalkan individu normotensi, mempunyai autoregulasi untuk
mempertahankan perfusi ke SSP pada tekanan arteri rata-rata.
Mean Arterial Pressure (MAP) =
Diastole + 1/3 (Sistole - Diastole)
Pada individu hipertensi
kronis autoregulasi bergeser kekanan pada tekanan arteri rata-rata
(110-180mmHg).
Mekanisme adaptasi ini tidak
terjadi pada tekanan darah yang mendadak naik (krisis hipertensi), akibatnya
pada SSP akan terjadi endema dan ensefalopati, demikian juga halnya dengan
jantung, ginjal dan mata.[3]
Diagnosis
Diagnosa krisis hipertensi
harus ditegakkan sedini mungkin, karena hasil terapi tergantung kepada tindakan
yang cepat dan tepat. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan yang menyeluruh
walaupun dengan data-data yang minimal kita sudah dapat mendiagnosa suatu
krisis hipertensi.
Anamnesa : Sewaktu penderita
masuk, dilakukan anamnesa singkat. Hal yang penting ditanyakan :
a.
Riwayat hipertensi : lama dan
beratnya.
b.
Obat anti hipertensi yang
digunakan dan kepatuhannya.
c.
Usia : sering pada usia 40 –
60 tahun.
d.
Gejala sistem syaraf ( sakit
kepala, pusing, perubahan mental, ansietas ).
e.
Gejala sistem ginjal ( gross
hematuri, jumlah urine berkurang ).
f.
Gejala sistem kardiovascular (
adanya payah jantung, kongestif dan oedem paru, nyeri dada ).
g.
Riwayat penyakit :
glomerulonefrosis, pyelonefritis.
h.
Riwayat kehamilan : tanda
eklampsi.
Pemeriksaan fisik :
Pada pemeriksaan fisik
dilakukan pengukuran TD ( baring dan berdiri ) mencari kerusakan organ sasaran
( retinopati, gangguan neurologi, gagal jantung kongestif). Perlu dibedakan
komplikasi krisis hipertensi dengan kegawatan neurologi ataupun payah jantung,
kongestif dan oedema paru. Perlu dicari penyakit penyerta lain seperti penyakit
jantung koroner.
Pemeriksaan penunjang :
Pemeriksaan penunjang
dilakukan dua cara yaitu :
1.
Pemeriksaan yang segera
seperti :
a.
darah : rutin, BUN, creatinine, elektrolit.
b.
urine : Urinalisa dan kultur urine.
c.
EKG : 12 Lead, melihat tanda iskemi.
d.
Foto dada : apakah ada oedema paru ( dapat ditunggu
setelah pengobatan
terlaksana ).
2.
Pemeriksaan lanjutan (tergantung
dari keadaan klinis dan hasil pemeriksaan yang pertama) :
a.
Sangkaan kelainan renal : IVP,
Renal angiography ( kasus tertentu ), biopsi renal ( kasus tertentu ).
b.
Menyingkirkan kemungkinan
tindakan bedah neurologi : Spinal tab, CAT Scan.
c.
Bila disangsikan
Feokhromositoma : urine 24 jam untuk Katekholamine, metamefrin, venumandelic
Acid ( VMA ).
Diferensial
Diagnosis
Krisis
hipertensi harus dibedakan dari keadaan yang menyerupai krisis hipertensi seperti
:
a. Hipertensi
berat
b. Emergensi
neurologi yang dapat dikoreksi dengan pembedahan.
c. Ansietas
dengan hipertensi labil.
d. Oedema
paru dengan payah jantung kiri.
Penatalaksanaan dan Pengobatan
Seperti keadaan klinik gawat
yang lain, penderita dengan krisis hipertensi sebaiknya dirawat di ruang
perawatan intensif. Pengobatan krisis hipertensi dapat dibagi:
1.
Penurunan tekanan darah
Pada dasarnya penurunan
tekanan darah harus dilakukan secepat mungkin tapi seaman mungkin. Tingkat
tekanan darah yang akan dicapai tidak boleh terlalu rendah, karena akan
menyebabkan hipoperfusi target organ. Untuk menentukan tingkat tekanan darah
yang diinginkan, perlu ditinjau kasus demi kasus. Dalam pengobatan krisis
hipertensi, pengurangan Mean Arterial
Pressure (MAP) sebanyak 20–25% dalam beberapa menit/jam, tergantung dari
apakah emergensi atau urgensi penurunan TD pada penderita aorta diseksi akut
ataupun oedema paru akibat payah jantung kiri dilakukan dalam tempo 15–30 menit
dan bisa lebih rendah lagi dibandingkan hipertensi emergensi lainnya. Penderita
hipertensi ensefalopati, penurunan TD 25% dalam 2–3 jam. Untuk pasien dengan
infark cerebri akut ataupun pendarahan intrakranial, pengurangan TD dilakukan
lebih lambat (6 – 12 jam) dan harus dijaga agar TD tidak lebih rendah dari 170
– 180/100 mmHg.
2.
Pengobatan target organ
Meskipun penurunan tekanan
darah yang tepat sudah memperbaiki fungsi target organ, pada umumnya masih
diperlukan pengobatan dan pengelolaan khusus untuk mengatasi kelainan target
organ yang terganggu. Misalnya pada krisis hipertensi dengan gagal jantung kiri
akut diperlukan pengelolaan khusus termasuk pemberian diuretic, pemakaian
obat-obat yang menurunkan preload dan afterload. Pada krisis hipertensi yang
disertai gagal ginjal akut, diperlukan pengelolaan khusus untuk ginjalnya, yang
kadang-kadang memerlukan hemodialisis.
3.
Pengelolaan khusus
Beberapa bentuk krisis
hipertensi memerlukan pengelolaan khusus, terutama yang berhubungan dengan
etiloginya, misalnya eklampsia gravidarum.
Penanggulangan Hipertensi
Emergensi :
Bila diagnosa hipertensi
emergensi telah ditegakkan maka TD perlu segera diturunkan. Langkah-langkah
yang perlu diambil adalah :
- Rawat di ICU, pasang femoral intraarterial line
dan pulmonari arterial catether (bila ada indikasi ). Untuk menentukan
fungsi kordiopulmonair dan status volume intravaskuler.
- Anamnesis singkat dan pemeriksaan
fisik.
i.
tentukan penyebab krisis
hipertensi
ii.
singkirkan penyakit lain yang
menyerupai krisis HT
iii.
tentukan adanya kerusakan
organ sasaran
- Tentukan TD yang diinginkan didasari dari lamanya tingginya TD sebelumnya, cepatnya kenaikan dan keparahan hipertensi, masalah klinis yang menyertai dan usia pasien.
1.
Penurunan TD diastolik tidak
kurang dari 100 mmHg, TD sistolik tidak kurang dari 160 mmHg, ataupun MAP tidak
kurang dari 120 mmHg selama 48 jam pertama, kecuali pada krisis hipertensi
tertentu ( misal : disecting aortic aneurysm ). Penurunan TD tidak lebih dari
25% dari MAP ataupun TD yang didapat.
2. Penurunan TD secara akut ke TD
normal / subnormal pada awal pengobatan dapat menyebabkan berkurangnya
perfusike ke otak, jantung dan ginjal dan hal ini harus dihindari pada beberapa
hari permulaan, kecuali pada keadaan tertentu, misal : dissecting anneurysma aorta.
3.
TD secara bertahap diusahakan
mencapai normal dalam satu atau dua minggu.
Pemakaian obat-obat untuk
krisis hipertensi
Obat anti hipertensi oral atau
parenteral yang digunakan pada krisis hipertensi tergantung dari apakah pasien
dengan hipertensi emergensi atau urgensi. Jika hipertensi emergensi dan
disertai dengan kerusakan organ sasaran maka penderita dirawat diruangan
intensive care unit, ( ICU ) dan diberi salah satu dari obat anti hipertensi
intravena ( IV ).
- Sodium Nitroprusside : merupakan vasodilator direkuat baik arterial
maupun venous.
Secara IV mempunyai onsep of action yang cepat yaitu : 1 – 2 dosis 1 – 6 ug
/ kg / menit. Efek samping : mual,
muntah, keringat, foto sensitif, hipotensi.
- Nitroglycerini : merupakan vasodilator vena pada dosis rendah
tetapi bila dengan dosis tinggi sebagai vasodilator arteri dan vena. Onset
of action 2 – 5 menit, duration of action 3 – 5 menit.
Dosis : 5 – 100 ug / menit, secara infus IV.
Efek samping : sakit kepala, mual, muntah, hipotensi.
- Diazolxide : merupakan vasodilator arteri direk yang kuat
diberikan secara IV bolus. Onset
of action 1 – 2 menit, efek puncak pada 3 – 5 menit, duration of action 4
– 12 jam. Dosis permulaan : 50
mg bolus, dapat diulang dengan 25 – 75 mg setiap 5 menit sampai TD yang
diinginkan.
Efek samping : hipotensi dan shock, mual, muntah, distensi
abdomen, hiperuricemia, aritmia, dll.
- Hydralazine : merupakan vasodilator direk arteri. Onset of action
: oral 0,5 – 1 jam, IV :10 – 20 menit duration of action : 6 – 12 jam.
Dosis : 10 – 20 mg i.v bolus : 10 – 40 mg i.m.
Pemberiannya bersama dengan alpha agonist central ataupun Beta Blocker
untuk mengurangi refleks takhikardi dan diuretik untuk mengurangi volume
intravaskular.
Efek samping : refleks takhikardi, meningkatkan stroke volume dan cardiac out put,
eksaserbasi angina, MCI akut dll.
- Enalapriat : merupakan vasodelator golongan ACE inhibitor.
Onsep on action 15 – 60 menit.
Dosis 0,625 – 1,25 mg tiap 6 jam i.v.
- Phentolamine ( regitine ) :
termasuk golongan alpha andrenergic blockers. Terutama untuk mengatasi
kelainan akibat kelebihan ketekholamin.
Dosis 5 – 20 mg secar i.v bolus atau i.m.
Onset of action 11 – 2 menit, duration of action 3 – 10 menit.
- Trimethaphan camsylate : termasuk ganglion blocking agent dan
menginhibisi sistem simpatis dan parasimpatis.
Dosis : 1 – 4 mg / menit secara infus i.v.
Onset of action : 1 – 5 menit.
Duration of action : 10 menit.
Efek samping : opstipasi, ileus, retensia urine, respiratori arrest, glaukoma,
hipotensi,
mulut kering.
- Labetalol : termasuk golongan beta dan alpha blocking
agent.
Dosis : 20 – 80 mg secara i.v. bolus setiap 10 menit ; 2 mg / menit secara infus
i.v.
Onset of action 5 – 10 menit
Efek samping : hipotensi orthostatik, somnolen, hoyong, sakit kepala, bradikardi, dll.
Juga tersedia dalam bentuk oral dengan onset of action 2 jam, duration of
action 10 jam dan efek samping hipotensi, respons unpredictable dan komplikasi
lebih sering dijumpai.
9.
Methyldopa : termasuk golongan alpha agonist sentral dan
menekan sistem syaraf simpatis.
Dosis : 250 – 500 mg secara infus i.v / 6 jam.
Onset of action : 30 – 60 menit, duration of action kira-kira 12 jam.
Efek samping : Coombs test ( + ) demam, gangguan gastrointestino, with drawal
sindrome dll. Karena onset of actionnya bisa takterduga dan kasiatnya tidak
konsisten,
obat ini kurang disukai untuk terapi awal.
10. Clonidine : termasuk golongan alpha agonist sentral.
Dosis : 0,15 mg i.v pelan-pelan dalam 10 cc dekstrose 5% atau i.m.150 ug dalam
100 cc dekstrose dengan titrasi dosis.
Onset of action 5 –10 menit dan mencapai maksimal setelah 1 jam atau
beberapa jam.
Efek samping : rasa ngantuk, sedasi, pusing, mulut kering, rasa sakit pada parotis.
Bila dihentikan secara tiba-tiba dapat menimbulkan sindroma putus obat.
Walaupun akhir-akhir ini ada
kecenderungan untuk memberikan obat-obat oral yang cara pemberiannya lebih
mudah tetapi pemberian obat parenteral adalah lebih aman. Dengan Sodium
nitrotprusside, Nitroglycirine, Trimethaphan TD dapat diturunkan baik secara
perlahan maupun cepat sesuai keinginan dengan cara menatur tetesan infus. Bila
terjadi penurunan TD berlebihan, infus distop dan TD dapat naik kembali dalam
beberapa menit.
Demikian juga pemberian labetalol
ataupun Diazoxide secara bolus intermitten intravena dapat menyebabkan TD turun
bertahap. Bila TD yang diinginkan telah dicapai, injeksi dapat di stop, dan TD
naik kembali. Perlu diingat bila digunakan obat parenteral yang long acting
ataupun obat oral, penurunan TD yang berlebihan sulit untuk dinaikkan kembali.
*Pilihan obat-obatan pada hipertensi
emergensi
Dari berbagai jenis hipertensi
emergensi, obat pilihan yang dianjurkan maupun yang sebaiknya dihindari adalah
sbb :
- Hipertensi encephalopati:
Anjuran :
Sodium nitroprusside, Labetalol, diazoxide.
Hindarkan : B-antagonist, Methyidopa, Clonidine.
- Cerebral infark :
Anjuran : Sodium nitropsside, Labetalol,
Hindarkan : B-antagonist, Methydopa, Clonidine.
- Perdarahan intacerebral, perdarahan subarakhnoid
:
Anjuran : Sodiun nitroprusside Labetalol
Hindarkan : B-antagonist, Methydopa, Clonodine.
- Miokard iskemi, miokrad infark :
Anjuran : Nitroglycerine, Labetalol, Caantagonist, Sodium Nitroprusside dan
loop diuretuk.
Hindarkan : Hyralazine, Diazoxide, Minoxidil.
- Oedem paru akut :
Anjuran : Sodium nitroroprusside dan loopdiuretik.
Hindarkan : Hydralacine, Diazoxide, B-antagonist, Labetalol.
- Aorta disseksi :
Anjuran : Sodium nitroprussidedan B-antagonist, Trimethaohaan dan
B-antagonist, labetalol.
Hindarkan : Hydralazine, Diaozoxide, Minoxidil
- Eklampsi :
Anjuran : Hydralazine, Diazoxide, labetalol, Ca antagonist, sodium
nitroprusside. Hindarkan: Trimethaphan, Diuretik, B-antagonist
- Renal insufisiensi akut :
Anjuran : Sodium nitroprusside, labetalol, Ca-antagonist
Hindarkan : B- antagonist, Trimethaphan
- KW III-IV :
Anjuran : Sodium nitroprusside, Labetalol, Ca – antagonist.
Hindarkan : B-antagonist, Clonidine, Methyldopa.
- Mikroaangiopati hemolitik anemia :
Anjuran : Sodium nitroprosside, Labetalol, Caantagonist.
Hindarkan : B-antagonist.
Dari berbagai sediaan obat
anti hipertensi parenteral yang tersedia, Sodium nitroprusside merupakan drug
of choice pada kebanyakan hipertensi emergensi. Karena pemakaian obat ini
haruslah dengan cara tetesan intravena dan harus dengan monitoring ketat,
penderita harus dirawat di ICU karena dapat menimbulkan hipotensi berat.
Nicardipine suatu calsium
channel antagonist merupakan obat baru yang diperukan secara intravena, telah
diteliti untuk kasus hipertensi emergensi (dalam jumlah kecil) dan tampaknya
memberikan harapan yang baik.
• Obat oral untuk hipertensi
emergensi :
Dari berbagai penelitian
akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk menggunakan obat oral seperti
Nifedipine ( Ca antagonist ) Captopril dalam penanganan hipertensi emergensi.
Pada tahun 1993 telah diteliti
penggunaan obat oral nifedipine sublingual dan captoprial pada penderita
hipertensi krisis memberikan hasil yang cukup memuaskan setelah menit ke 20.
Captopril dan Nifedipine sublingual tidak berbeda bermakna dam menurunkan TD.
Captopril 25mg atau Nifedipine
10mg digerus dan diberikan secara sublingual kepada pasien. TD dan tanda Vital
dicatat tiap lima menit sampai 60 menit dan juga dicatat tanda-tanda efek
samping yang timbul. Pasien digolongkan non-respon bila penurunan TD diastolik
<10mmHg setelah 20 menit pemberian obat. Respon bila TD diastolik mencapai
<120mmHg atau MAP <150mmHg dan adanya perbaikan simptom dan sign dari
gangguan organ sasaran yang dinilai secara klinis setelah 60 menit pemberian
obat. Inkomplit respons bila setelah 60 menit pemberian obat. Inkomplit respons
bila setelah 60 menit TD masih >120mmHg atau MAP masih >150mmHg, tetapi
jelas terjadi perbaikan dari simptom dan sign dari organ sasaran.
Penanggulangan hipertensi
urgensi :
Penderita dengan hipertensi
urgensi tidak memerlukan rawat inap di rumah sakit. Sebaiknya penderita
ditempatkan diruangan yang tenang, tidak terang dan TD diukur kembali dalam 30
menit. Bila TD tetap masih sangat meningkat, maka dapat dimulai pengobatan.
Umumnya digunakan obat-obat oral anti hipertensi dalam menggulangi hipertensi
urgensi ini dan hasilnya cukup memuaskan.
Obat-obat oral anti hipertensi
yang digunakan a.l :
Nifedipine : pemberian bisa secara sublingual (onset 5-10
menit). Buccal (onset 5 –10 menit), oral (onset 15-20 menit), duration 5 – 15 menit
secara sublingual/ buccal).
Efek samping : sakit kepala,
takhikardi, hipotensi, flushing, lemah seperti terhuyung.
Clondine : Pemberian secara oral dengan onset 30 – 60
menit Duration of Action 8-12 jam. Dosis : 0,1-0,2 mg,dijutkan 0,05mg-0,1 mg
setiap jam s/d 0,7mg.
Efek samping : sedasi,mulut kering.Hindari pemakaian pada 2nd
degree atau 3rd degree, heart block, brakardi,sick sinus
syndrome.Over dosis dapat diobati dengan tolazoline.
Captopril : pemberian secara oral/sublingual.
Dosis 25mg dan dapat diulang
setiap 30 menit sesuai kebutuhan.
Efek samping : angio neurotik oedema, rash, gagal ginjal
akut pada penderita bilateral renal arteri sinosis.
Prazosin : Pemberian secara oral dengan dosis 1-2mg dan
diulang perjam bila perlu.
Efek samping : first dosyncope, hiponsi orthostatik,
palpitasi, takhikaro sakit kepala.
Dengan pemberian Nifedipine
ataupun Clonidine oral dicapai penurunan MAP sebanyak 20 % ataupun TD<120
mmHg. Demikian juga Captopril, Prazosin terutama digunakan pada penderita
hipertensi urgensi akibat dari peningkatan katekholamine. Perlu diingat bahwa
pemberian obat anti hipertensi oral/sublingual dapat menyebabkan penurunan TD
yang cepat dan berlebihan bahkan sampai kebatas hipotensi (walaupun hal ini
jarang sekali terjadi).
Dikenal adanya “first dose”
efek dari Prozosin. Dilaporkan bahwa reaksi hipotensi akibat pemberian oral
Nifedifine dapat menyebabkan timbulnya infark miokard dan stroke.
Dengan pengaturan titrasi
dosis Nifedipine ataupun Clonidin biasanya TD dapat diturunkan bertahap dan
mencapai batas aman dari MAP.
Penderita yang telah mendapat
pengobatan anti hipertensi cenderung lebih sensitive terhadap penambahan
terapi.Untuk penderita ini dan pada penderita dengan riwayat penyakit
cerebrovaskular dan koroner, juga pada pasien umur tua dan pasien dengan volume
depletion maka dosis obat Nifedipine dan Clonidine harus dikurangi.Seluruh
penderita diobservasi paling sedikit selama 6 jam setelah TD turun untuk
mengetahui efek terapi dan juga kemungkinan timbulnya orthotatis. Bila TD
penderita yang obati tidak berkurang maka sebaiknya penderita dirawat dirumah
sakit.
PROGNOSIS
Sebelum ditemukannya obat anti
hipertensi yang efektif survival penderita hanyalah 20% dalam 1 tahun. Kematian
sebabkan oleh uremia (19%), gagal jantung kongestif (13%), cerebro vascular
accident (20%), gagal jantung kongestif disertai uremia (48%), infrak Miokard
(1%), diseksi aorta (1%).
Prognosis menjadi lebih baik
berkat ditemukannya obat yang efektif dan penanggulangan penderita gagal ginjal
dengan analisis dan transplantasi ginjal.
Kata Kunci Pencarian : Krisis Hipertensi, Makalah, Hematologi, Referat, Ilmu Penyakit Dalam, Tesis, Skrispsi, SKP (Satuan Kredit Profesi), Kompetensi, pdf, word, .pdf, .doc, .docx, Karya Tulis Ilmiah, Desertasi, Jurnal, Disertasi, Refrat, modul BBDM, Belajar Bertolak Dari Masalah, Problem Based Learning, askep (asuhan keperawatan)
Kata Kunci Pencarian : Krisis Hipertensi, Makalah, Hematologi, Referat, Ilmu Penyakit Dalam, Tesis, Skrispsi, SKP (Satuan Kredit Profesi), Kompetensi, pdf, word, .pdf, .doc, .docx, Karya Tulis Ilmiah, Desertasi, Jurnal, Disertasi, Refrat, modul BBDM, Belajar Bertolak Dari Masalah, Problem Based Learning, askep (asuhan keperawatan)
0 comments:
Posting Komentar