Definisi
Kolitis Ulseratif adalah penyakit usus inflamatorik, bersama dengan penyakit Crohn. Sesuai dengan namanya, kolitis ulseratif merupakan penyakit inflamasi kronik pada kolon yang sering kambuh. Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah penyakit inflamasi yang melibatkan saluran cerna dengan penyebab pastinya sampai saat ini belum diketahui jelas. Secara garis besar IBD teridiri dari 3 jenis, yaitu colitis ulseratif, penyakit Crohn, dan bila sulit membedakan kedua hal tersebut, maka dimasukkan dalam kategori indeterminate colitis. Hal ini untuk secara praktis membedakannya dengan penyakit inflamasi usus lainnya seperti infeksi, iskemia dan radiasi (Djojoningrat, 2006). Colitis ulseratif merupakan salah satu dari dua tipe Inflammatory Bowel Disease (IBD), selain Crohn disease. Tidak seperti Crohn disease, yang dapat mengenai semua bagian dari traktus gastrointestinal, colitis ulseratif seringnya mengenai usus besar, dan dapat terlihat dengan colonoscopy (Basson, 2011).
Etiologi
Belum diketahui. Lebih
sering diderita oleh wanita, terbanyak ditemukan pada usia antara 15 dan 20
tahun. Faktor predisposisi yang berkaitan adalah keturunan, imunologi, infeksi
virus atau bakteri (masih spekulatif), dan lebih jarang ditemukan pada perokok.
Selain itu, sebanyak 60-70% dari pasien yang diteliti, memiliki p-ANCA (antineutrophil
cytoplasmic antibodies) yang berhubungan dengan HLA-DR2, atau bila
p-ANCA negatif, sering ditemukan HLA-DR4.
Etiologi pasti dari
colitis ulseratif masih belum diketahui, tetapi penyakit ini multifaktorial dan
polygenic. Faktor-faktor penyebabnya termasuk faktor lingkungan, disfungsi
imun, dan predisposisi genetik. Ada beberapa sugesti bahwa anak dengan berat
badan lahir di bawah rata-rata yang lahir dari ibu dengan colitis ulseratif
memiliki risiko lebih besar untuk terjadinya perkembangan penyakit (Basson,
2011).
Histocompatibility
human leukocyte antigen (HLA-B27) merupakan antigen yang sering teridentifikasi
pada pasien-pasien dengan colitis ulseratif, meskipun penemuan ini tidak
berhubungan dengan kondisi pasien, dan adanya HLA-B27 tidak menunjukkan
peningkatan risiko untuk colitis ulseratif. Colitis ulseratif bisa dipengaruhi
oleh makanan, meskipun makanan hanya sebagai faktor sekunder. Antigen makanan
atau bakterial dapat berefek pada mukosa usus yang telah rusak, sehingga
meningkatkan permeabilitasnya (Basson, 2011).
Sementara penyebab
colitis ulseratif tetap tidak diketahui, gambaran tertentu dari penyakit ini
telah menunjukkan beberapa kemungkinan penting. Hal ini meliputi faktor
familial atau genetik, infeksi, imunologik dan psikologik.
- Faktor familial/genetik
Penyakit ini lebih sering dijumpai pada orang kulit
putih daripada orang kulit hitam dan orang Cina. Hal ini menunjukkan bahwa ada
predisposisi genetik terhadap perkembangan penyakit ini.
- Faktor infeksi
Sifat radang kronik penyakit ini telah mendukung suatu
pencarian terus-menerus untuk kemungkinan penyebab infeksi. Di samping banyak
usaha menemukan agen bakteri, jamur, atau virus, belum ada yang sedemikian
diisolasi. Laporan awal isolate varian dinding sel Pseudomonas atau agem
yang ditularkan yang menghasilkan efek sitopatik pada kultur jaringan masih
dikonfirmasi.
- Faktor imunologik
Teori bahwa mekanisme imun dapat terlibat didasarkan
pada konsep bahwa manifestasi ekstraintestinal yang dapat menyertai kelainan
ini (misalnya arthritis, perikolangitis) dapat mewakili fenomena autoimun dan
bahwa zat terapeutik tersebut, seperti glukokortikoid atau azatioprin, dapat
menunjukkan efek mereka melalui mekanisme imunosupresif.
Pada 60-70% pasien dengan colitis ulseratif, ditemukan
adanya p-ANCA (perinuclear anti-neutrophilic cytoplasmic antibodies). Walaupun
p-ANCA tidak terlibat dalam pathogenesis penyakit colitis ulseraif, namun ia
dikaitkan dengan alel HLA-DR2, dimana pasien dengan p-ANCA negative lebih
cenderung menjadi HLA-DR4 positif.
- Faktor psikologik
Gambaran psikologis pasien penyakit radang usus juga
telah ditekankan. Tidak lazim bahwa penyakit ini pada mula terjadinya, atau
berkembang, sehubungan dengan adanya stress psikologis mayor misalnya
kehilangan seorang anggota keluarganya. Telah dikatakan bahwa pasien penyakit
radang usus memiliki kepribadian yang khas yang membuat mereka menjadi rentan
terhadap stress emosi yang sebaliknya dapat merangsang atau mengeksaserbasi
gejalanya.
- Faktor lingkungan
Ada hubungan terbalik antara operasi apendiktomi dan
penyakit colitis ulseratif berdasarkan analisis bahwa insiden penyakit colitis
ulseratif menurun secara signifikan pada pasien yang menjalani operasi
apendiktomi pada decade ke-3.
Beberapa penelitian sekarang menunjukkan penurunan
risiko penyakit colitis ulseratif di antara perokok dibandingkan dengan yang
bukan perokok. Analisis meta menunjukkan risiko penyakit colitis ulseratif pada
perokok sebanyak 40% dibandingkan dengan yang bukan perokok.
Ada bukti aktivasi imun pada IBD, dengan infiltrasi
lamina propria oleh limfosit, makrofag, dan sel-sel lain, meskipun antigen
pencetusnya belum jelas. Virus dan bakteri telah diperkirakan sebagai pencetus,
namun sedikit yang mendukung adanya infeksi spesifik yang menjadi penyebab IBD.
Hipotesis yang kedua adalah bahwa dietary antigen atau agen mikroba non
pathogen yang normal mengaktivasi respon imun yang abnormal. Hasilnya suatu
mekanisme penghambat yang gagal. Pada tikus, defek genetik pada fungsi sel T
atau produksi sitokin menghasilkan respon imun yang tidak terkontrol pada flora
normal kolon. Hipotesis ketiga adalah bahwa pencetus IBD adalah suatu
autoantigen yang dihasilkan oleh epitel intestinal. Pada teori ini, pasien
menghasilkan respon imun inisial melawan antigen luminal, yang tetap dan
diperkuat karna kesamaan antara antigen luminal dan protein tuan rumah.
Hipotesis autoimun ini meliputi pengrusakan sel-sel epithelial oleh sitotoksisitas
seluler antibody-dependent atau sitotoksisitas cell-mediated secara
langsung.
Imun respon cell-mediated juga terlibat dalam
pathogenesis IBD. Ada
peningkatan sekresi antibody oleh sel mononuclear intestinal, terutama IgG dan
IgM yang melengkapi komplemen. Colitis ulseratif dihubungkan dengan
meningktanya produksi IgG1 (oleh limfosit Th2) dan IgG3, sub tipe yang respon
terhadap protein dan antigen T-cell dependent. Ada juga peningkatan produksi sitokin
proinflamasi (IL-1, IL-6, IL-8 dan tumor necrosis factor-α (TNF- α), terutama
pada aktivasi makrofag di lamina propria. Sitokin yang lain (IL-10, TGF-β)
menurunkan imun respon. Defek produksi sitokin ini menghasilkan inflamasi yang
kronis. Sitokin juga terlibat dalam penyembuhan luka dan proses fibrosis.
Faktor imun yang lain dalam pembentukan penyakit IBD termasuk produksi
superoksida dan spesies oksigen reaktif yang lain oleh aktivasi netrofil,
mediator soluble yang meningkatkan permeabilitas dan merangsang vasodilatasi,
komponen kemotaksis netrofil lekotrien dan nitrit oksida yang menyebabkan
vasodilatasi dan edema (Ariestine, 2008).
Epidemiologi
Di Amerika Serikat,
sekitar 1 miliar orang terkena colitis ulseratif. Insidennya 10.4-12 kasus per
100.000 orang per tahunnya. Rata-rata prevalensinya antara 35-100 kasus per
100.000 orang (Basson, 2011). Sementara itu, puncak kejadian penyakit tersebut
adalah antara usia 15 dan 35 tahun, penyakit ini telah dilaporkan terjadi pada
setiap decade kehidupan (Ariestine, 2008). Colitis ulseratif terjadi 3 kali lebih
sering daripada Crohn disease. Colitis ulseratif terjadi lebih sering pada
orang kulit putih daripada orang African American atau Hispanic. Colitis
ulseratif juga lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki (Basson,
2011).
Patofisiologi
Proses inflamasi yang terjadi biasanya dimulai di rektum, lalu dapat meluas ke proksimal namun tak pernah melewati kolon. Bila bagian rektum saja yang terkena atau meluas sampai sigmoid disebut proktitis atau proktosigmoiditis, sedangkan bila seluruh kolon terlibat disebut pankolitis.
Proses inflamasi yang terjadi biasanya dimulai di rektum, lalu dapat meluas ke proksimal namun tak pernah melewati kolon. Bila bagian rektum saja yang terkena atau meluas sampai sigmoid disebut proktitis atau proktosigmoiditis, sedangkan bila seluruh kolon terlibat disebut pankolitis.
Manifestasi Klinis
- Gejala Klinis
Gejala utama colitis ulseratif adalah diare berdarah dan nyeri abdomen, seringkali
dengan demam dan penurunan berat badan pada kasus berat. Pada penyakit ringan,
bisa terdapat satu atau dua feses yang setengah berbentuk yang mengandung
sedikit darah dan tanpa manifestasi sistemik.
Derajat klinik colitis ulseratif dapat dibagi atas berat, sedang dan ringan,
berdasarkan frekuensi diare, ada/tidaknya demam, derajat beratnya anemia yang
terjadi dan laju endap darah (klasifikasi Truelove). Perjalanan penyakit
colitis ulseratif dapat dimulai dengan serangan pertama yang berat ataupun
dimulai ringan yang bertambah berat secara gradual setiap minggu. Berat
ringannya serangan pertama sesuai dengan panjangnya kolon yang terlibat. Pada
colitis ulseratif, terdapat reksi radang yang secara primer mengenai mukosa
kolon. Secara makroskopik,, kolon tampak berulserasi, hiperemik, dan biasanya
hemoragik. Gambaran mencolok dari radang adalah bahwa sifatnya seragam dan
kontinu dengan tidak ada daerah tersisa mukosa yang normal.
Perjalanan klinis colitis ulseratif bervariasi.
Mayoritas pasien akan mendertia relaps dalam waktu 1 tahun dari serangan
pertama, mencerminkan sifat rekuren dari penyakit. Namun demikian, bisa
terdapat periode remisi yang berkepanjangan hanya dengan gejala minimal. Pada
umumnya, beratnya gejala mencerminkan luasnya keterlibatan kolon dan intensitas
radang (Ariestine, 2008).
Temuan fisik pada colitis ulseratif biasanya
nonspesifik, bisa terdapat distensi abdomen atau nyeri sepanjang perjalanan
kolon. Pada kasus ringan, pemeriksaan fisik umum akan normal. Demam, takikardia
dan hipotensi postural biasanya berhubungan dengan penyakit yang lebih berat (Ariestine,
2008).
Manifestasi ekstraintestinal bisa dijumpai, yaitu :
- Sendi : peripheral arthritis, ankylosing spondylitis dan sacroilitis (berhubungan dengan HLA-B27)
- Kulit : erythema nodosum, aphtous ulcer, pyoderma gangrenosum
- Mata : episkleritis, iritis, uveitis
- Liver : fatty liver, pericholangitis (intrahepatic sclerosing cholangitis), primary sclerosing cholangitis, cholangiocarcinoma, chronic hepatitis
- Lain-lain : autoimmune hemolytic anemia, phlebitis, pulmonary embolus (hypercoagulable state) (Fauci, 2009).
Pada pemeriksaan fisik
terdapat nyeri tekan abdomen.
Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan
laboratorium hematologi dan biokimia terdapat peningkatan hitung jenis leukosit
dan LED pada serangan berat. Pemeriksaan fungsi hepar diperlukan untuk
mendeteksi adanya komplikasi.
Pada analisis dan
kultur feses mungkin ditemukan parasit walau tanpa perdarahan rektum, dan
adanya leukosit membuktikan terjadinya inflamasi atau infeksi. Tak ditemukamya
mikroorganisme tak dapat menyingkirkan infeksi secara otomatis. Pada infeksi
oleh Clostridium difficile, selain kultur, harus dilakukan pemeriksaan
toksin.
Foto polos abdomen
menunjukkan dilatasi kolon atau gambaran perforasi pada kasus kolitis yang fulminan. Sebaiknya dilakukan
sigmoidoskopi dan biopsi bila
terdapat kecurigaan kolitis. Akan terlihat kerusakan kripti akibat perubahan
kronis pada penyakit usus inflamatorik. Bila tak ada kerusakan kripti,
kemungkinan terjadi kolitis akibat infeksi.
Dilakukan kolonoskopi
untuk melihat luasnya kerusakan, serta untuk menentukan diagnosis banding kolitis.
Pada ileum terminal dilakukan intubasi untuk menentukan adanya inflamasi atau
ulserasi. Pada kolitis aktif berat yang luas, lebih baik ditentukan secara
klinis daripada kolonoskopi karena risiko perforasi.
Gambaran Laboratorium
Temuan laboratorium seringkali nonspesifik dan mencerminkan derajat dan
beratnya perdarahan dan inflamasi. Bisa terdapat anemia yang mencerminkan
penyakit kronik serta defisiensi besi akibat kehilangan darah kronik.
Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dan peningkatan laju endap darah
seringkali terlihat pada pasien demam yang sakit berat. Kelainan elektrolit,
terutama hipokalemia, mencerminkan derajat diare. Hipoalbuminemia umum terjadi
dengan penyakit yang ekstensif dan biasanya mewakili hilangnya protein lumen
melalui mukosa yang ulserasi. Peningkatan kadar alkali fosfatase dapat
menunjukkan penyakit hepatobiliaris yang berhubungan.
Pemeriksaan kultur feses (pathogen usus dan bila diperlukan, Escherichia
coli (O157:H7), ova, parasit dan toksin Clostridium difficile negative.
Pemeriksaan antibody p-ANCA dan ASCA (antibody Saccharomyces cerevisae mannan)
berguna untuk membedakan penyakit colitis ulseratif dengan penyakit Crohn (Ariestine,
2008).
Gambaran Radiologi
Foto
polos abdomen
Pada foto polos abdomen
umumnya perhatian kita cenderung terfokus pada kolon. Tetapi kelainan lain yang
sering menyertai penyakit ini adalah batu ginjal, sakroilitis, spondilitis
ankilosing dan nekrosis avaskular kaput femur. Gambaran kolon sendiri terlihat
memendek dan struktur haustra menghilang. Sisa feses pada daerah inflamasi
tidak ada, sehingga, apabila seluruh kolon terkena maka materi feses tidak akan
terlihat di dalam abdomen yang disebut dengan empty abdomen. Kadangkala
usus dapat mengalami dilatasi yang berat (toxic megacolon) yang sering
menyebabkan kematian apabila tidak dilakukan tindakan emergensi. Apabila
terjadi perforasi usus maka dengan foto polos dapat dideteksi adanya pneumoperitoneum,
terutama pada foto abdomen posisi tegak atau left lateral decubitus (LLD) maupun
pada foto toraks tegak.
Foto polos abdomen juga
merupakan pemeriksaan awal untuk melakukan pemeriksaan barium enema. Apabila
pada pemeriksaan foto polos abdomen ditemukan tanda-tanda perforasi maka
pemeriksaan barium enema merupakan kontra indikasi.
Barium
enema
Barium enema merupakan
pemeriksaan rutin yang dilakukan apabila ada kelainan pada kolon. Sebelum
dilakukan pemeriksaan barium enema maka persiapan saluran cerna merupakan
pendahuluan yang sangat penting. Persiapan dilakukan selama 2 hari
berturut-tururt dengan memakan makanan rendah serat atau rendah residu, tetapi
minum air putih yang banyak. Apabila diperlukan maka dapat diberikan laksatif
peroral.
Pemeriksaan barium
enema dapat dilakuka dengan teknik kontras tunggal (single contrast)
maupun dengan kontras ganda (double contrast) yaitu barium sulfat dan
udara. Teknik double contrast sangat baik untuk menilai mukosa kolon
dibandingkan dengan teknik single contrast, walaupun prosedur
pelaksanaan teknik double contrast cukup sulit. Barium enema juga
merupakan kelengkapan pemeriksaan endoskopi atas dugaan pasien dengan colitis
ulseratif
Gambaran foto barium
enema pada kasus dengan colitis ulseratif adalah mukosa kolon yang granuler dan
menghilangnya kontur haustra serta kolon ttampak menjadi kaku seperti tabung.
Perubahan mukosa terjadi secara difus dan simetris pada seluruh kolon. Lumen
kolon menjadi lebih sempit akibat spasme. Dapat ditemukan keterlibatan seluruh
kolon. Tetapi apabila ditemukan lesi yang segmental maka rectum dan kolon kiri
(desendens) selalu terlibat, karena awalnya colitis ulseratif ini mulai terjadi
di rectum dan menyebar kea rah proksimal secara kontinu. Jadi rectum selalu
terlibat, walaupun rectum dapat mengalami inflamasi lebih ringan dari bagian
proksimalnya.
Pada keadaan dimana
terjadi pan-ulseratif colitis kronis maka perubahan juga dapat terjadi di ileum
terminal. Mukosa ileum terminal menjadi granuler difus dan dilatasi, sekum berbentuk
kerucut (cone-shaped caecum) dan katup ileosekal terbuka sehingga
terjadi refluks, yang disebut backwash ileitis. Pada kasus kronis,
terbentuk ulkus yang khas yaitu collar-button ulcers. Pasien dengan
colitis ulseratif juga menanggung resiko tinggi menjadi adenokarsinoma kolon.
Ultrasonografi
(USG)
Pemeriksaan
ultrasonografi sampai saat ini belum merupakan modalitas pemeriksaan yang
diminati untuk kasus-kasus IBD. Kecuali merupakan pemeriksaan alternatif untuk
evaluasi keadaan intralumen dan ekstralumen.
Sebelum dilakukan
pemeriksaan USG sebaiknya pasien dipersiapkan saluran cernanya dengan
menyarankan pasien untuk makan makanan rendah residu dan banyak minum air
putih. Persiapan dilakukan selama 24 jam sebelum pemeriksaan. Sesaat sebelum
pemeriksaan sebaiknya kolon diisi dulu dengan air.
Pada pemeriksaan USG,
kasus dengan colitis ulseratif didapatkan penebalan dinding usus yang simetris
dengan kandungan lumen kolon yang berkurang. Mukosa kolon yang terlibat tampak
menebal dan berstruktur hipoekhoik akibat dari edema. Usus menjadi kaku,
berkurangnya gerakan peristalsis dan hilangnya haustra kolon. Dapat ditemukan target
sign atau pseudo-kidney sign pada potongn transversal atau cross-sectional.
Dengan USG Doppler, pada colitis ulseratif selain dapat dievaluasi
penebalan dindng usus dapat pula dilihat adanya hypervascular pada
dinding usus tersebut.
CT
Scan dan MRI
Kelebihan CT Scan dan
MRI, yaitu dapat mengevaluasi langsung keadaan intralumen dan ekstralumen. Serta
mengevaluasi sampai sejauh mana komlikasi ekstralumen kolon yang telah terjadi.
Sedangkan kelebihan MRI terhadap CT Scan adalah mengevaluasi jaringan lunak
karena terdapat perbedaan intensitas (kontras) yang cukup tinggi antara
jaringan lunak satu dengan yang lain.
Gambaran CT Scan pada
colitis ulseratif, terlihat dinding usus menebal secara simetris dan kalau
terpotong secara cross-sectional maka terlihat gambaran target sign. Komplikasi
di luar usus dapat terdeteksi dengan baik, seperti adanya abses atau fistula
atau keadaan abnormalitas yang melibatkan mesenterium. MRI dapat dengan jelas
memperlihatkan fistula dan sinus tract-nya (Ariestine,
2008).
Gambaran Endoskopi
Pada dasarnya colitis ulseratif merupakan penyakit yang melibatkan mukosa kolon
secara difus dan kontinu, dimulai dari rectum dan menyebar /progresif ke
proksimal. Data dari beberapa rumah sakit di Jakarta didapatkan bahwa
lokalisasi colitis ulseratif adalah 80% pada rectum dan rektosigmoid, 12% kolon
sebelah kiri (left side colitis), dan 8% melibatkan seluruh kolon
(pan-kolitis).
Pada colitis ulseratif, ditemukan hilangnya vaskularitas mukosa, eritema difus,
kerapuhan mukosa, dan seringkali eksudat yang terdiri atas mucus, darah dan
nanah. Kerapuhan mukosa dan keterlibatan yang seragam adalah karakteristik.
Sekali mukosa yang sakit ditemukan (biasanya di rectum), tidak ada daerah
mukosa normal yang menyela sebelum batas proksimal penyakit dicapai. Ulserasi
landai, bisa kecil atau konfluen namun selalu terjadi pada segmen dengan
colitis aktif. Pemeriksaan kolonoskopik penuh dari kolon pada colitis ulseratif
tidak diindikasikan pada pasien yang sakit akut. Biposi rectal bisa memastikan
radang mukosa. Pada penyakit yang lebih kronik, mukosa bisa menunjukkan
penampilan granuler dan bisa terdapat pseudopolip (Ariestine,
2008).
Berikut ini adalah perbedaan gambaran lesi endoskopik IBD pada colitis
ulseratif dengan Crohn’s Disease (Djojoningrat, 2006) :
Tabel 2. Gambaran lesi endoskopik IBD
Gambaran
|
Colitis ulseratif
|
Crohn’s Disease
|
Lesi inflamasi (hiperemia, ulserasi, dll)
|
+++
|
+
|
Bersifat kontinu adanya skip area (adanya mukosa
normal di antara lesi)
|
0
|
+++
|
Keterlibatan rectum
|
+++
|
+
|
Lesi mudah berdarah
|
+++
|
+
|
Cobblestone appearance / pseudopolip
|
+
|
+++
|
Sifat ulkus :
|
||
Terdapat pada mukosa yang inflamasi
|
+++
|
+
|
Keterlibatan ileum
|
0
|
++++
|
Lesi ulkus bersifat diskrit
|
+
|
+++
|
Bentuk ulkus :
|
||
Diameter > 1 cm
|
+
|
+++
|
Dalam
|
+
|
+++
|
Bentuk linier (longitudinal)
|
+
|
+++
|
Aphtoid
|
0
|
++++
|
Keterangan : 0 = tidak ada, ++++ = sangat
diagnostik (karakteristik)
- Gambaran Histopatologi
Yang termasuk kriteria histopatologik adalah perubahan arsitektur mukosa,
perubahan epitel dan perubahan lamina propria. Perubahan arsitektur mukosa,
perubahan permukaan, berkurangnya densitas kripta, gambaran abnormal arsitektur
kripta (distorsi, bercabang, memendek). Pada kolon normal, permukaan datar,
kripta tegak, sejajar, bentuknya sama, jarak antar kripta sama, dan dasar dekat
muskularis mukosa. Sel-sel inflamasi, predominan terletak di bagian atas lamina
propria.
Perubahan epitel seperti berkurangnya musin dan metaplasia sel Paneth serta
permukaan viliform juga diperhatikan. Perubahan lamina propria meliputi
penambahan dan perubahan distribusi sel radang. Granuloma dan sel-sel berinti
banyak biasanya ditemukan. Gambaran mikroskopik ini berhubungan dengan stadium
penyakit, apakah stadium akut, resolving atau kronik/menyembuh (Ariestine,
2008). Gambaran khas
untuk colitis ulseratif adalah adanya abses kripti, distorsi kripti, infiltrasi
sel mononuclear dan polimorfonuklear di lamina propria (Djojoningrat, 2006).
Tsang dan Rotterdam
(1999), membagi gambaran histologik penyakit colitis ulseratif menjadi kriteria
mayor dan minor. Sekurang-kurangnya dua kriteria mayor harus dipenuhi untuk
diagnosis colitis ulseratif.
·
Kriteria
mayor colitis ulseratif :
1.
Infiltrasi
sel radang yang difus pada mukosa
2.
Basal
plasmositosis
3.
Netrofil
pada seluruh ketebalan mukosa
4.
Abses
kripta
5.
Kriptitis
6.
Distorsi
kripta
7.
Permukaan
viliformis
·
Kriteria
minor colitis ulseratif :
1.
Jumlah
sel goblet berkurang
2.
Metaplasia
sel Paneth
Tetapi pada colitis ulseratif stadium dini, gambarannya tidak dapat dibedakan
dari colitis infektif. Colitis ulseratif mempunyai tiga stadium yang gambaran
mikroskopiknya berbeda-beda. Perlu diingat bahwa pada seorang penderita dapat
ditemukan gambaran ketiga stadium dalam satu sediaan (Ariestine,
2008).
Komplikasi
Dalam perjalanan penyakit ini, dapat terjadi
komplikasi : perforasi usus yang terlibat, terjadinya stenosis usus akibat
proses fibrosis, megakolon toksik (terutama pada colitis ulseratif),
perdarahan, dan degenerasi maligna. Diperkirakan risiko terjadinya kanker pada
IBD lebih kurang 13% (Djojoningrat, 2006).
Penatalaksanaan
Mengingat bahwa etiopatogenesis IBD belum jelas, maka
pengobatannya lebih ditekankan pada penghambatan kaskade proses inflamasi.
Dengan dugaan adanya faktor/agen proinflamasi yang dapat mencetuskan proses
inflamasi kronik pada kelompok rentan, maka diusahakan mengeliminasi hal
tersebut dengan cara pemberian antibiotik, lavase usus, pengikat produk
bakteri, mengistirahatkan kerja usus dan perubahan pola dietetik. Pada
prinsipnya, pengobatan IBD ditujukan pada serangan akut dan terapi pemeliharaan
waktu fase remisi. Obat baku
pertama mengandung komponen 5-acetil salicylic acid (5-ASA) dan obat
kortikosteroid (baik sistemik maupun topikal). Bila gagal, maka diberikan obat
lini kedua yang pada umumnya bersifat imunosupresif (seperti 6-merkaptopurin,
azatriopin, siklosporin dan metotreksat), anti-TNF (infliximab). Pada kasus
tertentu atau terjadi komplikasi perforasi, perdarahan masif, ileus karena
stenosis, megatoksik kolon, maka diperlukan intervensi surgikal
(Djojodiningrat, 2006).
Sulfasalazine
merupakan derivate dari
5-acetil salisilic acid, yang mempunyai efek antiinflamasi, berfungsi untuk
mempertahankan remisi dan untuk menginduksi remisi pada serangan ringan.
Berguna untuk mengobati colitis ulseratif ringan-sedang. Bekerja secara lokal
pada kolon untuk menurunkan respon inflamasi dan secara sistemik menghambat
sintesis prostaglandin.
Temuan klinis pada
colitis ulseratif yang berat berhubungan dengan nekrosis luas pada mukosa kolon
dan perforasi dengan sepsis. Antibiotik intravena diberikan pada pasien yang
diduga atau berpotensi terjadi sepsis (Basson, 2011).
Seringkali pasien
dengan colitis ulseratif juga diberi antihistamin. Karena histamin terdapat
pada enterochromaffin like cell, sel mast dan nervus intramural pada
traktus gastrointestinal, yang menstimulasi sekresi asam lambung, beberapa cairan
dan mucus, mempengaruhi motilitas usus, berpartisipasi dalam alergi tipe cepat
dan respon inflamasi, stimulasi pertumbuhan dan proses regenerasi serta
meningkatkan pembentukan kolagen. Semua efek ini dimediasi melalui reseptor H1,
H2, H3 dan H4. Hiperplasia sel mast pada mukosa dan submukosa merupakan
karakterisitik dari IBD kronik. Inflamasi colitis ulseratif utamanya mengenai
mukosa, dan meningkatkan pengeluaran mediator sel mast intestinal (Fogel,
2005).
Berdasarkan Crohn’s and Colitis Foundation of
America, diet bukan merupakan faktor utama dalam proses inflamasi. Namun
beberapa makanan spesifik, dapat mempengaruhi gejala dari colitis ulseratif dan
ikut berperan dalam proses inflamasi (WebMD, 2012). Penatalaksanaan diet pada
colitis ulseratif, serat yang insoluble (tinggi serat) tidak baik untuk pasien,
contohnya : kubis, brokoli, jagung manis, kulit buah seperti apel dan anggur),
karena jenis serat ini melewati seluruh traktus digestivus tanpa dicerna, dan
dapat menempel pada dinding colon ketika inflamasi, semakin mengiritasi kolon
dan memperparah colitis. Serat yang soluble sangat baik untuk pasien karena
akan dicerna dalam kolon, menghasilkan feses yang lunak dan pergerakan usus
yang bagus, tidak menempel pada dinding usus dan tidak menyebabkan inflamasi.
Contoh serat yang soluble adalah buah-buahan dan sayur-sayuran yang sudah
dikupas, bubur, dan nasi putih (Collitis UK, 2011).
a.
Suportif
- Diet atau nutrisi yang bergizi secara oral atau parenteral
- Edukasi bagi pasien dan keluarga mengenai penyakit
b.
Farmakologis
1.
Simtomatis
- Rehidrasi : oralit, cairan infus (Ringer laktat, dekstrosa 5%, dekstrosa dalam NaCl 0,09%, dll.).
- Antispasmodik, antikolinergik: papaverin 3x/hari, mebeverin 3-4 tablet/hari, propantelin bromid 3×5 mg/hari, hiosin N-butilbromida (Buscopan® 3×1 tablet/ hari. Hati-hati dalam memberikan obat-obat di atas, jangan berlebihan.
- Obat antidiare: loperamid atau difenoksilat. Golongan obat ini dapat mengurangi pengeluaran tinja berlebihan dan melegakan urgensi rektal, namun dapat mengurangi dosis pemakaian steroid. Pada kolitis berat, antidiare merupakan kontraindikasi karena dapat mencetuskan megakolon toksik.
2.
Obat-obat spesifik
- Sulfasalazin/Salisilazolsul-fapiridin. Diberikan berdasarkan umur, derajat penyakit dan toleransi obat. Dosis biasa 4 x 500 mg/hari, dinaikkan 2 x 500 mg pada hari kedua dan seterusnya sampai tercapai respons klinis. Dosis dewasa diberikan 4-8 x 2-3 tablet (@500 mg)/hari. Umumnya jarang diberikan melebihi 4 g/hari, selama 2-4 minggu dan bila remisi tercapai, dosis dapat diturunkan 2-3 g/hari lalu diteruskan lebih lama. Pada kasus refrakter atau berat, terapi diberikan lebih lama dengan dosis 16-20 tablet/hari. Jika timbul efek samping yang tidak diinginkan, segera turunkan dosis obat sampai setengahnya. Pemberian sebaiknya setelah makan.
- 5-ASA (asam 5-aminosalisilat/Salofak®). Diberikan peroral 4 x 1-2 tablet (@ 250mg)/hari, atau dapat diberikan supositoria per rektal atau per enema (4 g).
- Kortikosteroid (misalnya prednison atau prednisolon). Diberikan pada penyakit berat, kronik dan progresif yang tidak membaik dengan sulfasalazin atau obat lainnya. Kortikosteroid meningkatkan absorpsi natrium, menstimulasi aktivitas Na-K ATPase di kolon dan ileum, memiliki efek anti inflamasi, yang dapat memperbaiki inflamasi dan menyembuhkan diare. Obat dapat diberikan peroral, injeksi atau rektal. Dosis awal prednison 40-60 mg/hari, dalam dosis terbagi selama 3-6 minggu. Jika klinis membaik, yaitu diare berkurang, tak lagi terdapat darah dan lendir pada feses, serta terdapat gambaran sigmoidokolonoskopi mulai membaik, maka dosis diturunkan menjadi 30 mg/hari, selama 3-4 minggu. Jika gambaran sigmoidokolonoskopi telah normal kembali, diusahakan mulai menghentikan kortikosteroid selama 2-3 bulan, dengan menurunkan dosis perlahan.
c.
Operatif
Indikasi dilakukan
pembedahan pada kolitis ulseratif adalah:
- Kegagalan terapi medikamentosa.
- Megakolon toksik.
- Perforasi
- Perdarahan masif.
- Gejala kronik tak teratasi.
- Karsinoma atau risiko tinggi terkena karsinoma
Tak seperti pada penyakit Crohn, maka pembedahan pada
kolitis ulseratif bersifat kuratif dan hanya 20% yang memerlukan pembedahan.
Kata Kunci Pencarian : Kolitis Ulseratif, Tesis, Skripsi, Makalah, Jurnal, Karya Tulis Ilmiah, Referat, Ilmu Penyakit Dalam, Desertasi, SKP (Satuan Kredit Profesi), Kompetensi, pdf, word, .pdf, .doc, .docx, Artikel, Gastroenterologi, Disertasi, Refrat, modul BBDM, Belajar Bertolak Dari Masalah, Problem Based Learning, askep (asuhan keperawatan)
Kata Kunci Pencarian : Kolitis Ulseratif, Tesis, Skripsi, Makalah, Jurnal, Karya Tulis Ilmiah, Referat, Ilmu Penyakit Dalam, Desertasi, SKP (Satuan Kredit Profesi), Kompetensi, pdf, word, .pdf, .doc, .docx, Artikel, Gastroenterologi, Disertasi, Refrat, modul BBDM, Belajar Bertolak Dari Masalah, Problem Based Learning, askep (asuhan keperawatan)
0 comments:
Posting Komentar