DEFINISI
Bronkiolitis akut adalah penyakit obstruktif akibat inflamasi akut pada saluran
napas kecil (bronkiolus), pada umumnya disebabkan oleh virus, sehingga
menyebabkan gejala– gejala obstruksi bronkiolus, terjadi pada anak berusia
kurang dari 2 tahun dengan insidens tertinggi sekitar usia 6 bulan.
Etiologi
Etiologi
Respiratory syncytial
virus (RSV) pada 50% sampai 90% kasus. Selain itu,
parainfluenza, mikoplasma, adenovirus. Sangat jarang infeksi primer bakteri. Sebagian
besar infeksi saluran napas transmisinya melalui droplet infeksi. RSV lebih
virulen daripada virus lain dan imunitas yang dibentuk oleh tubuh tidak dapat
bertahan lama.
Infeksi virus sering
berulang terutama pada bayi. Hal ini disebabkan oleh:
- Kegagalan sistem imun host untuk mengenal epitope protektif dari virus.
- Kerusakan sistem memori respons imun untuk memproduksi interleukin I inhibitor dengan akibat tidak bekerjanya sistem APC (antigen presenting cell).
- Penekanan pada sistem respons imun sekunder oleh infeksi virus dan kemampuan virus dalam menyebabkan infeksi, baik pada makrofag maupun limfosit. Akibatnya, terjadi gangguan fungsi seperti kegagalan produksi interferon, interleukin I inhibitor, hambatan terhadap antiobodi neutralizing dan kegagalan interaksi dari sel ke sel.
Bronkiolitis yang
disebabkan oleh virus jarang terjadi pada masa neonatus. Hal ini karena neutralizing
antibody ibu masih tinggi pada 4 - 6 minggu kehidupan, yang akan menurun
pada bulan-bulan berikutnya. Antibodi tersebut mempunyai daya proteksi terhadap
infeksi saluran napas bawah, terutama terhadap virus.
Sekitar 70% kasus
kejadian bronkiolitis pada bayi terjadi gejala yang berat sehingga harus
dirawat di rumah sakit, sedangkan sisanya biasanya dapat dirawat di poliklinik.
Sebagian besar infeksi saluran napas transmisinya melalui droplet infeksi.
Infeksi primer oleh RSV biasanya tidak menimbulkan gejala klinik, tetapi
infeksi sekunder pada anak-anak di tahun-tahun pertama kehidupan yang
bermanifestasi berat. RSV lebih virulen daripada virus lain dan imunitas yang
dibentuk oleh tubuh tidak dapat bertahan lama. Infeksi ini pada orang dewasa
tidak menimbulkan gejala klinis. Hal ini mungkin dikarenakan toleransi yang lebih
tinggi.
RSV adalah golongan
paramiksovirus dengan envelope lipid serupa dengan virus parainfluenza, tetapi
RSV hanya mempunyai satu antigen permukaan berupa glikoprotein dan nukleokapsid
RNA heliks linear. Tidak adanya genom yang bersegmen dan hanya mempunyai satu
antigen envelope menandakan bahwa komposisi antigen RSV relatif stabil dari
tahun ke tahun.
Epidemiologi
Bronkiolitis terutama
disebabkan oleh Respiratory Syncitial Virus (RSV) sekitar 50–90% dari
kasus.Bronkiolitis sering mengenai anak usia dibawah 2 tahun dengan insiden tertinggi
pada bayi usia 6 bulan. Pada daerah yang penduduknya padat, insiden
bronkiolitis karena RSV terbanyak pada usia 2 bulan. Makin muda umur bayi
menderita bronkiolitis biasanya akan makin berat penyakitnya.
Bayi yang menderita
bronkiolitis berat mungkin oleh karena kadar antibodi maternal (maternal
neutralizing antibody) yang rendah. Selain usia, bayi dan anak dengan
penyakit jantung bawaan, bronchopulmonary dysplasia, prematuritas, kelainan neurologis
dan immunocompromized mempunyai resiko yang lebih besar untuk terjadinya
penyakityang lebih berat. Bronkiolitis akut yang terjadi di bawah umur satu
tahun kurang lebih 12% dari seluruh kasus, sedangkan pada tahun kedua,
frekuensi insidensinya lebih jarang lagi, yaitu sekitar setengah dari frekuensi
tahun pertama (sekitar enam persen).
Patogenesis
Invasi virus menyebabkan obstruksi bronkiolus akibat akumulasi mukus, debris dan edema. Terjadi resistensi aliran udara pernapasan berbanding terbalik (dengan radius lumen pangkat empat), baik pada fase inspirasi maupun fase ekspirasi. Terdapat mekanisme klep yaitu terperangkapnya udara yang menimbulkan overinflasi dada. Pertukaran udara yang terganggu menyebabkan ventilasi berkurang dan hipoksemia, peningkatan frekuensi napas sebagai kompensasi. Pada keadaan sangat berat dapat terjadi hiperkapnia. Obstruksi total dan terserapnya udara dapat menyebabkan atelektasis.
Gangguan respiratorik jangka panjang pasca bronkiolitis
dapat timbul berupa batuk berulang, mengi, dan hiperreaktivitas bronkus, yang
cenderung membaik sebelum usia sekolah. Komplikasi jangka panjang lain yaitu
bronkiolitis obliterans dan sindrom paru hiperlusen unilateral (Sindrom
Swyer-James), sering dihubungkan dengan adenovirus.
Invasi virus pada percabangan bronkus kecil menyebabkan
edem, akumulasi mukus dan debris seluler (eksudat) hingga terjadi obstruksi
saluran napas kecil (bronkiolitis). Karena perbandingan nilai resistensi aliran
udara saluran napas berbanding terbalik dengan radius pangkat empat dari
saluran nafas, maka sedikit penebalan dinding bronkus sudah memberikan akibat
cukup besar terhadap aliran udara pada saluran nafas, terutama pada saluran
nafas bawah. Resistensi aliran udara pada saluran napas kecil sama-sama
meningkat baik pada fase inspirasi maupun ekpirasi. Tetapi, oleh karena radius
pada saluran napas lebih kecil selama fase ekpirasi bial dibandingkan dengan
fase inspirasi, maka terdapat suatu mekanisme klep, dimana udara yang ada akan
terperangkap (air trapping). Keadaan ini pada akhirnya dapat menimbulkan
hiperinflasi dari rongga dada. Obstruksi pada saluran bronkiolus dapat terjadi
secara parsial maupun total. Apabila obstruksi hanya sebagian, maka dapat
timbul emfisema. Atelektasis dapat terjadi bila terjadi obtruksi total dan dari
udara yang diserap sebelumnya. Proses patologik ini akan menimbulkan gangguan
pada proses pertukaran udara di paru, ventilasi berkurang, dan hipoksemia. Pada
umumnya, hiperkapnia tidak terjadi kecuali pada keadaan yang sangat berat. Pada
dinding bronkus terdapat infiltrat-infiltrat sel radang. Selain itu, terdapat
peradangan pada daerah peribronkial dan di jaringan interstitiel. Berbeda
dengan bayi, anak besar dan orang dewasa dapat mentoleransi edem saluran napas
dengan lebih baik. Oleh karena itu, angka morbiditas untuk terjadinya
bronkiolitis pada anak besar dan orang dewasa jarang terjadi.
Manifestasi
Klinis
Biasanya didahului infeksi saluran napas atas dengan
batuk pilek, tanpa demam atau hanya subfebris. Sesak napas makin hebat,
disertai napas cepat dan dangkal. Terdapat dispnu dengan expiratory effort, retraksi
otot bantu napas, napas cepat dangkal disertai napas cuping hidung, sianosis sekitar hidung dan mulut, gelisah, ekspirium
memanjang atau mengi; jika obstruksi hebat suara napas nyaris tak terdengar,
ronki basah halus nyaring kadang terdengar pada akhir atau awal ekspirasi,
suara perkusi paru hipersonor.
Mula-mula terjadinya bronkiolitis akut didahului dengan
infeksi saluran napas bagian atas yang relatif ringan. Infeksi saluran nafas
ini dapat berupa batuk-batuk paroksismal, pilek encer, bersin-bersin dan bisa
disertai demam subfebril atau tanpa demam. Kadang-kadang, pada bayi yang tidak
mempunyai riwayat ataupun demam sama sekali, dapat terjadi suatu keadaan
hipotermi. Gejala-gejala ini biasanya berlangsung beberapa hari. Kemudian
timbul distres pernafasan yang ditandai dengan keadaan dimana anak-anak
menunjukkan gejala, seperti sesak nafas yang sifatnya progresif, pernafasan
cuping hidung yang disertai dengan retraksi interkostal dan suprasternal. Pada
keadaan yang berat dapat terdengar suara mengi. Keadaan ini dikompensasi dengan
pernafasan Kussmaul’s (pernafasan cepat dan dalam). Pada akhirnya, anak-anak
menjadi gelisah, iritabel dan tampak sianosis. Selain itu, gejala lainnya dapat
berupa kesulitan minum terutama pada bayi. Hal ini disebabkan karena frekuensi
napas yang cepat sehingga menghalangi terjadinya proses menelan dan menghisap.
Pada kasus yang ringan, gejala-gejala tersebut menghilang dalam kurun waktu
satu sampai tiga hari hari. Sementara, pada kasus yang berat, gejalanya dapat
tetap ada sampai beberapa hari dan perjalanan penyakitnya berlangsung cepat.
Pada pemeriksaan fisik, dapat dilihat adanya distres
pernapasan (keadaan dimana frekuensi napas sekitar 60 x/menit, dengan
pernapasan cuping hidung, penggunaan otot pernapasan tambahan, retraksi dan
juga sianosis). Namun, pada bronkiolitis akut retraksi biasanya tidak dalam
karena adanya hiperinflasi paru (terperangkapnya udara dalam paru). Hepar dan
limpa dapat teraba karena terdorong oleh diafragma akibat hiperinflasi
paru-paru. Kadang terdengar ronki basah byaring halus pada akhir fase inspirasi
atau pada permulaaan fase ekpirasi. Fase ekpirasinya memanjang dan mengi pada
keadaan tertentu dapat terdengar dengan jelas. Pada keadaan yang amat beratm
suara pernafasan dapat tidak terdengar. Hal ini dapat dikarenakan obstruksi
yang terjadi sifatnya hampir menyeluruh.
Pemeriksaan
Penunjang
1.
Foto dada AP dan lateral: hiperinflasi
paru, diameter anteroposterior membesar pada foto lateral, dapat terlihat
bercak konsolidasi yang tersebar. Gambaran
radiologik foto toraks dapat memberikan gambaran normal atau hiperinflasi
(hiperaerasi) paru dengan diameter anteroposterior meningkat pada foto lateral.
Pada sepertiga penderita, dapat ditemukan bercak-bercak pemadatan (konsolidasi)
yang tersebar merata akibat atelektasis sekunder terhadap obstruksi atau
peradangan (inflamasi) alveolus.
2.
Pada apusan darah tepi menunjukkan
gambaran dalam batas normal. Limfopenia yang sering ditemukan pada infeksi
virus lain jarang ditemukan pada brokiolitis. Pada keadaan yang berat, gambaran
analisis gas darah akan menunjukkan tanda-tanda asidosis metabolik maupun
metabolik, yang dapat ditandai dengan hiperkapnia, karena karbondioksida tidak
dapat dikeluarkan, akibat edem dan hipersekresi bronkiolus. Pada usapan
nasofaring hanya didapat flora komensal.
3.
Analisis gas darah: hiperkarbia sebagai
tanda air trapping, asidosis metabolik, atau respiratorik.
4.
Pemeriksaan deteksi cepat antigen RSV
yang dapat dikerjakan secara bed side.
Diagnosis dan Disagnosis Banding
Berdasarkan manifestasi klinisnya yang
khas tersenut, maka bronkiolitis akut harus dibedakan dengan asma yang juga
dapat timbul pada usia muda. Dalam hal ini, dua keadaan ini dapat dibedakan
dengan pemberian bronkodilator. Pada asma didapat respon terhadap pengobatan
dengan bronkodilator, sementara pada bronkiolitis akut tidak didapat respon
tersebut. Selain asma, keadaan ini harus dapat dibedakan dengan bronkopneumonia
yang disertai emfisema obstruktif dan keadaan gagal jantung.
Penatalaksanaan
Infeksi oleh virus RSV
biasanya bersifat self limiting disease, sehingga pengobatan yang ditujukan
biasanya hanya berupa pengobatan suportif. Prinsip pengobatannya adalah:
1.
Oksigenasi
Oksigenasi
sangat penting untuk menjaga agar jangan sampai terjadi hipoksia jaringan yang
justru akan lebih memperberat penyakitnya. Hipoksia jaringan terjadi akibat
gangguan perfusi ventilasi dari paru-paru. Oksigenasi harus tetap diberikan
walaupun anak belum dalam keadaan sianosis.
Oksigenasi
dengan kadar oksigen 30 - 40% sering digunakan untuk mengatasi keadaan ini.
Apabila tidak terdapat oksigen, maka anak harus ditempatkan dalam ruangan
dengan kelembaban udara yang tinggi, sebaiknya dengan uap dingin (mist tent).
Tujuannya unutuk mencairkan sekret pada tempat peradangan.
2.
Cairan
Pemberian
cairan sangat penting untuk mengoreksi keadaan asidosis metabolic dan
respiratorik yang mungkin timbul dan mencegah terjadinya dehidrasi akibat
keluarnya cairan melalui mekanisme penguapan tubuh (evaporasi), karena pola
pernapasan yang cepat dan kesulitan minum. Jika tidak terjadi dehidrasi, dapat
diberikan cairan rumatan.
Cara
pemberian cairan ini bisa melalui intravena atau nasogastrik. Akan tetapi,
harus kita harus hati-hati, khususnya pada pemberian cairan melalui lambung
karena dapat terjadi aspirasi yang dapat memperberat sesak napas yang ada,
akibat lambung yang terisi cairan menekan diafragma ke paru-paru.
IVFD:
a.
neonatus: dekstrose 10% : NaCl 0,9%=4 :
l, + KCl 1-2 mEq/kgBB/hari
b.
bayi > 1 bulan: dekstrose 10% : NaCl
0,9% = 3 : 1 , + KCl 10 mEq/500 ml cairan
Jumlah cairan sesuai berat badan,
kenaikan suhu, dan status hidrasi
3.
Obat-obatan
a.
Antivirus (Ribavirin)
Bronkiolitis paling banyak disebabkan
oleh virus sehingga ada pendapat untuk mengurangi beratnya penyakit dapat
diberikan antivirus. Ribavirin adalah obat antivirus yang bersifat virus
statik. Tetapi, penggunaan obat ini masih kontroversial baik mengenai
efektivitas maupun keamanannya.
The
American of Pediatric merekomendasikan penggunaan ribavirin pada keadaan yang
diperkirakan penyakitnya akan menjadi lebih berat seperti pada penderita
bronkiolitis dengan kelainan jantung, fibrosis kistik, penyakit paru-paru
kronik, immunodefisiensi, dan pada bayi-bayi premature.
Penggunaan
ribavirin terhadap penderita bronkiolitis dengan penyakit jantung, didapatkan
bahwa ribavirin dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas jika diberikan
sejak awal. Penggunaan ribavirin biasanya dengan cara nebulizer aerosol 12 - 18
jam per hari atau dalam dosis kecil.
b.
Antibiotik
Penggunaan antibiotik biasanya tidak
diperlukan pada penderita bronkiolitis, karena sebagian besar disebabkan oleh
virus, kecuali bila didapat adanya tanda-tanda infeksi bacterial sekunder.
Antibiotik yang dipakai biasanya yang
bersifat broad-spectrum. Bila diketahui etiologi penyebabnya adalah Mycoplasma
pneumoniae, maka dapat dengan pemberian eritromisin. Penggunaan antibiotik
justru akan meningkatkan infeksi sekunder oleh kuman yang resisten terhadap
antibiotik tersebut.
c.
Bronkodilator dan Antiinflamasi (kortikosteroid)
Kedua macam obat tersebut masih
kontroversial penggunaannya pada bronkiolitis. Bronkodilator merupakan kontra
indikasi, karena dianggap dapat memperberat keadaan anak, karena menyebabkan
anak menjadi lenih gelisah sehingga kebutuhan oksigennya akan ikut meningkat.
Namun, ada beberapa penelitian yang mengatakan bahwa penggunaan bronkodilator
dan antiinflamasi dapat mengurangi beratnya penyakit dan mencegah terjadinya
mengi di kemudian hari
d.
Sedativa
Penggunaan golongan sedative tidak
diperbolehkan, karena dapat menimbulkan depresi pernafasan. Bila memang
diperlukan, maka dapat dipertimbangkan untuk penggunaan kloralhidrat.
Prognosis
Serangan bronkiolitis akut ini dapat segera teratasi setelah 48 – 72 jam. Angka mortalitasnya kurang dari 1 persen. Kematian dapat terjadi dikarenakan anak jatuh dalam keadaan apnoe yang berlangsung lama atau pada keadaan asidosis respiratorik yang tidak terkoreksi atau pada keadaan dehidrasi yang timbul karena takipnoe dan kurangnya intake makanan dan minuman. Komplikasi seperti otitis media akut, pneumonia bakterialis dan gagal jantung relatif jarang dijumpai.
Kata Kunci Pencarian : Bronkiolitis Akut, Jurnal, Makalah, Pulmonologi, Karya Tulis Ilmiah, Ilmu Penyakit Dalam, SKP (Satuan Kredit Profesi), Kompetensi, pdf, word, .pdf, .doc, .docx, Skripsi, Referat, Desertasi, Disertasi, Refrat, modul BBDM, Belajar Bertolak Dari Masalah, Problem Based Learning, askep (asuhan keperawatan)
0 comments:
Posting Komentar