Definisi
Anemia
pernisiosa adalah salah satu penyakit kronis berupa berkurangnya produksi sel
darah merah akibat defisiensi vitamin
B12 dan asam folat, Salah satu
fungsi vitamin B12 adalah untuk pembentukan sel darah merah di dalam sum-sum
tulang menjadi aktif. (Brunner&Suddart, 2001).
Anemia
pernisiosa pertama kali dijelaskan oleh Thomas Addison pada tahun 1849. Anemia
dihubungkan dengan lambung oleh Austin Flint pada tahun 1860 dan segera diberi
nama ‘pernicious anemia’. Anemia pernisiosa umumnya disebabkan oleh
defisiensi vitamin B12, merupakan kondisi yang berhubungan dengan
atrofi lambung kronik. Penyakit ini tidak dapat langsung dirasakan dalam jangka
waktu yang pendek, tetapi lesi pada lambung sudah dapat diprediksi beberapa
tahun sebelum anemia berkembang (Epstein 1997). Anemia pernisiosa juga dapat
dihubungkan dengan diabetes tipe 1, gangguan tiroid, dan riwayat penyakit
keluarga.
Anemia
karena kekurangan vitamin B12 (anemia
pernisiosa) adalah anemia megaloblastik atau anemia makrositik normokromik yang
terjadi akibat defisiensi vitamin B12. Selain zat besi, sumsum tulang
memerlukan asam folat dan vitamin
B12 untuk menghasilkan sel darah merah. Jika kekurangan salah satu darinya,
bisa terjadi anemia megaloblastik.
Pada
anemia jenis ini, sumsum tulang menghasilkan sel darah merah yang besar dan
abnormal (megaloblas). Sel darah putih dan trombosit juga biasanya
abnormal.
Tidak
tercukupinya vitamin B12 atau asam folat biasanya karena kurang makanan yang
mengandung zat-zat tersebut atau ada gangguan dalam penyerapannya. Kadang
anemia ini juga disebabkan
oleh obat-obat tertentu yang digunakan untuk mengobati kanker (misalnya
metotreksat, hidroksiurea, fluorourasil dan sitarabin).
Kekurangan
vitamin B12 bisa disebabkan oleh faktor intrinsik dan faktor
ekstrinsik. Kekurangan vitamin B12 akibat faktor intrinsik terjadi
karena gangguan absorpsi vitamin yang merupakan penyakit herediter autoimun,
sehingga pada pasien mungkin dijumpai penyakit-penyakit autoimun lainnya.
Kekurangan vitamin B12 karena faktor intrinsik ini jarang dijumpai
di Indonesia. Yang lebih sering dijumpai di Indonesia adalah penyebab intrinsik
karena kekurangan masukan vitamin B12 dengan gejala-gejala yang
tidak berat.
Etiologi
Anemia
pernisiosa disebabkan kekurangan faktor intrinsik pada asam lambung, yang
diperlukan untuk absorbsi vitamin B12 dari makanan. Karena B12
tidak dapat diabsorbsi, SDM tidak matang dengan normal. Penyebab lainnya adalah
malabsorbsi vitamin B12 pada ileum terminal (misalnya penyakit
Crohn), setelah gastrektomi total, penyakit pankreas, pertumbuhan bakteri yang
berlebihan akibat sindrom “blind loop”, infeksi usus oleh cacing puta ikan, dan
terkadang defisiensi dalam diet (biasanya pada vegetarian yang sangat ketat).
Penyerapan yang tidak adekuat dari vitamin B12 (kobalamin) menyebabkan anemia pernisiosa. Vitamin B12 banyak terdapat di dalam daging dan dalam keadaan normal telah diserap di bagian akhir usus halus yang menuju ke usus besar (ilium).
Supaya dapat diserap, vitamin B12 harus bergabung dengan faktor intrinsik (suatu protein yang dibuat di lambung), yang kemudian mengangkut vitamin ini ke ilium, menembus dindingnya dan masuk ke dalam aliran darah. Tanpa faktor intrinsik, vitamin B12 akan tetap berada dalam usus dan dibuang melalui tinja.
Pada anemia pernisiosa, lambung tidak dapat membentuk faktor intrinsik, sehingga vitamin B12 tidak dapat diserap dan terjadilah anemia, meskipun sejumlah besar vitamin dikonsumsi dalam makanan sehari-hari. Tetapi karena hati menyimpan sejumlah besar vitamin B12, maka anemia biasanya tidak akan muncul sampai sekitar 2-4 tahun setelah tubuh berhenti menyerap vitamin B12.
Bila dirangkum etiologi anemia pernisiosa :
Penyebab
|
Sumber
|
Ketidakcukupan asupan makanan sumber vitamin B12
|
1. Vegetarian
2. ASI dari ibu yang vegan
3. Makanan favorit yang kurang
mengandung vitamin B12
|
Malabsorpsi vitamin B12
|
1. Kekurangan faktor intrinsik
(karena auto immune, destruksi mukosa lambung, atau pasca pembedahan lambung
(Gastrektomi) )
2. Faktor intrinsik terhambat
3. Sekresi asam menurun, pertumbuhan
bakteri lambung meningkat
4. Gangguan pada lambung (seperti
peradangan pada lambung, loop lambung, kanker, kekacauan sekresi cairan
pankreas atau getah lambung)
5. Berkompetisi terhadap vitamin B12 (cacing
pita yang berada dalam ikan atau cacing pita Latum diphyllobothrium sering menggangu penyerapan vitamin B12 dalam
tubuh individu yang mengkonsumsi ikan tersebut)
6. Penyakit Crohn
7. AIDS
|
Ketidakcukupan pemanfaatannya
|
1. Defisiensi enzim
2. Gangguan hati
3. Transpor protein yang abnormal
|
Obat-obatan tertentu yang dikonsumsi dalam jangka
waktu yang lama
|
1. Antacid
2. Obat-obatan untuk menurunkan asam
lambung dan obat diabetes (seperti metformin, phenformin, dan biguanides)
3. metotreksat, hidroksiurea, fluorourasil
sitarabin
|
Predisposisi
Semua orang dari berbagai ras berpeluang menderita anemia pernisiosa. Namun demikian, bangsa Eropa sebelah utara atau di daratan Afrika mempunyai resiko yang lebih besar daripada ras dan kelompok etnis lainnya (MedicineNet.com 2007). Hasil survey pada pertengahan bulan November tahun 1997 mengungkapkan bahwa hanya 1,9% orang berusia lebih dari 60 tahun yang tidak didiagnosa menderita anemia pernisiosa, berarti selebihnya yaitu sebagian besar orang pada usia lebih dari 60 tahun berpeluang sangat besar mengalami salah satu tipe anemia tersebut (Epstein&Franklin 1997).
MedicineNet.com
(2007) juga menyatakan bahwa para laki-laki dan perempuan di Amerika Serikat
memiliki peluang yang sama untuk menderita anemia pernisiosa. Tetapi kondisi
ini biasanya dialami oleh orang-orang dewasa akhir atau tua daripada
orang-orang yang masih muda, dan jarang dialami oleh anak-anak. Terdapat
beberapa laporan bahwa keluarga berkulit putih memiliki peluang besar terhadap
anemia pernisiosa dalam beberapa generasi. Epstein dan Franklin (1997)
mengungkapkan bahwa sekitar 20% keluarga pasien dengan anemia pernisiosa juga
menderita penyakit yang sama.
Patofisiologi
Anemia
terjadi akibat gangguan maturasi inti sel akibat gangguan sintesis DNA sel-sel
eritroblas. Defisienasi asam folat akan mengganggu sintesis DNA hingga terjadi
gangguan maturasi inti sel dengan akibat timbulnya sel-sel megaloblas.
Defesiensi vitamin B12 yang berguna dalam reaksi metilasi homosisten menjadi
metionin dan reaksi ini berperan dalam mengubah metil THF menjadi DHF yang
berperan dalam sintesis DNA dan akan mengganggu maturasi inti sel dengan akibat
terjadinya megaloblas (Restiadie 2009).
Penyebab
dasar keabnormalan dari absorpsi vitamin B12 adalah adanya atrofi mukosa
lambung sehingga mukosa lambumg gagal mengekresikan cairan lambung. Pada
keadaan normal, sel-sel parietal pada glandula gaster mengekresikan
glikoprotein yang disebut factor intrinsic yang bergabung dengan vitamin B12
sehingga vitamin B12 dapat diabsorpsi, dan selanjutnya terjadi tahapan sebagai
berikut:
- Faktor intrinsik berikatan erat dengan vitamin B12. Dalam keadaan terikat, Vitamin B12 terlindungi dari percernaan oleh enzim-enzim gastrointestinal.
- Masih dalam keadaan terikat, faktor intrinsik akan berikatan dengan reseptor khusus yang terletak di bagian tepi membran sel mukosa pada Ileum.
- Vitamin B12 diangkut kedalam darah selama beberapa jam berikutnya melalui proses pinositosis, yang mengangkut faktor intrinsik dan vitamin bersama melewati membran. Oleh karena itu, bila faktor intrinsik tidak ada maka benyak vitamin yang hilang (termasuk vitamin B12) karena kerja enzim pencernaan dalam usus dan kegagalan absorpsi (Nazran 2009).
Tubuh
memerlukan vitamin B12 untuk membuat sel darah merah dan menjaga sistem saraf
bekerja normal. Anemia tipe ini sering terjadi pada orang yang tubuhnya tidak dapat
mengabsorbsi vitamin B12 dari makanan karena gangguan autoimun. Hal tersebut
juga dapat terjadi karena terdapat gangguan pada intestinal penderita (Peterson
2008). Penyerapan yang tidak adekuat dari vitamin B12 (kobalamin) menyebabkan
anemia pernisiosa.
Vitamin
B12 banyak terdapat di dalam daging dan dalam keadaan normal telah diserap di
bagian akhir usus halus yang menuju ke usus besar (ilium). Supaya dapat
diserap, vitamin B12 harus bergabung dengan faktor intrinsik (suatu protein
yang dibuat di lambung), yang kemudian mengangkut vitamin ini ke ilium,
menembus dindingnya dan masuk ke dalam aliran darah. Tanpa faktor intrinsik,
vitamin B12 akan tetap berada dalam usus dan dibuang melalui tinja.
Pada
anemia pernisiosa, lambung tidak dapat membentuk faktor intrinsik, sehingga
vitamin B12 tidak dapat diserap dan terjadilah anemia, meskipun sejumlah besar
vitamin dikonsumsi dalam makanan sehari-hari.
Tetapi
karena hati menyimpan sejumlah
besar vitamin B12, maka anemia biasanya tidak akan muncul sampai sekitar 2-4
tahun setelah tubuh berhenti menyerap vitamin B12.
Anemia
terjadi akibat gangguan maturasi inti sel akibat gangguan sintesis DNA sel-sel
eritroblas. Defisienasi asam folat akan mengganggu sintesis DNA hingga terjadi
gangguan maturasi inti sel dengan akibat timbulnya sel-sel megaloblas.
Defesiensi vitamin B12 yang berguna dalam reaksi metilasi homosisten menjadi
metionin dan reaksi ini berperan dalam mengubah metil THF menjadi DHF yang
berperan dalam sintesis DNA dan akan mengganggu maturasi inti sel dengan akibat
terjadinya megaloblas.
Anemia pernisiosa disebabkan oleh
kegagalan sel parietal lambung untuk menyerap
cukup vitamin B12. Gangguan lain yang mengganggu penyerapan dan metabolisme
vitamin B-12 dapat menghasilkan kobalamin (CBL) defisiensi, sehingga terjadi pengembangan
makrositik anemia dan komplikasi neurologis.
Pemecahan vitamin B-12 umumnya dilakukan
oleh mikroorganisme, tetapi kebanyakan hewan mampu mengkonversi vitamin B-12 ke
dalam 2 bentuk koenzim, adenosylcobalamin dan methylcobalamin. Yang pertama
diperlukan untuk konversi-methylmalonic asam L untuk suksinil koenzim A (CoA),
dan koenzim kedua sebagai methyltransferase untuk konversi homocysteine untuk
metionin. Ketika kekurangan folat, fungsi sintesa timidin terganggu. Hal ini
menyebabkan perubahan megaloblastik pada semua sel dengan cepat membagi karena
sintesis DNA berkurang. Dalam prekursor erythroid, macrocytosis dan
eritropoiesis efektif terjadi.
Diet CBL diperoleh sebagian besar
dari daging dan susu dan diserap dalam serangkaian langkah, yang memerlukan pelepasan
proteolitik dari makanan dan mengikat protein lambung. Selanjutnya, pengikatan dari kompleks IF-CBL
oleh reseptor ileum khusus harus terjadi karena transportasi ke dalam sirkulasi
portal untuk terikat oleh transcobalamin II (TC II), yang berfungsi sebagai
transporter plasma.
Transcobalamin (TC) terdegradasi dalam sebuah lisozim, dan CBL
dilepaskan ke sitoplasma. Pengurangan enzim-dimediasi kobalt terjadi dengan
baik untuk membentuk methylcobalamin atau adenosylation mitokondria untuk membentuk
adenosylcobalamin. Kegagalan
dari langkah-langkah dari proses
tersebut menghasilkan manifestasi dari disfungsi
CBL. Sebagian besar efek lanjut
menjadi nyata pada masa bayi dan anak usia dini dan mengakibatkan gangguan
perkembangan, keterbelakangan mental, dan anemia makrositik.
Faktor
intrinsik penyebab anemia ini diperkirakan
adalah gangguan autoimun dengan kecenderungan genetik. Anemia pernisiosa lebih
umum ditemukan dalam keluarga pasien dengan
anemia serupa, dan penyakit yang
berhubungan dengan antigen leukosit manusia (HLA) tipe A2, A3, dan B7 dan tipe
A golongan darah.
Antibodi
sel antiparietal ditemukan pada 90% pasien dengan
anemia pernisiosa, tetapi hanya 5% dari orang dewasa yang sehat. Sebuah hubungan yang lebih besar ditemukan antara anemia
pernisiosa dan penyakit autoimun lainnya, yang meliputi gangguan tiroid,
diabetes mellitus tipe I, ulcerative colitis, penyakit Addison, infertilitas,
dan agammaglobulinemia;
diperoleh hubungan
antara anemia pernisiosa dan infeksi Helicobacter
pylori namun tidak jelas terbukti.
Kekurangan CBL bisa dihasilkan dari
kekurangan makanan vitamin B-12; gangguan pada perut, usus kecil, dan pankreas,
infeksi tertentu, dan kelainan transportasi, metabolisme, dan pemanfaatan.
Kekurangan dapat diamati pada vegetarian ketat. Bayi ASI dari ibu vegetarian
juga terpengaruh. Terkena dampak parah bayi dari ibu vegetarian yang tidak
memiliki kekurangan terbuka CBL telah dilaporkan. Daging dan susu merupakan
sumber utama CBL diet. Karena tubuh menyimpan CBL yang biasanya melebihi 1000
mcg dan kebutuhan sehari-hari adalah sekitar 1 mcg, kepatuhan yang ketat untuk
diet vegetarian selama lebih dari 5 tahun biasanya dibutuhkan untuk
menghasilkan temuan kekurangan CBL. Kobalamin (CBL) dibebaskan dari daging di
lingkungan asam lambung di mana ia mengikat faktor R dalam persaingan dengan
faktor intrinsik (IF). CBL dibebaskan dari faktor R dalam duodenum oleh
pencernaan proteolitik faktor R oleh enzim pankreas. CBL kompleks transit IF-ke
ileum mana ia terikat pada reseptor ileum. Jika CBL memasuki sel serap ileum,
dan CBL dilepaskan dan memasuki plasma. Dalam plasma, CBL terikat untuk transcobalamin
II (TC II), yang memberikan kompleks untuk sel nonintestinal.
Pada orang dewasa, anemia
pernisiosa dikaitkan dengan atrofi lambung parah dan achlorhydria, yang
ireversibel. achlorhydria mencegah solubilisasi besi makanan dari bahan pangan.
Manifestasi Klinis
Didapatkan
adanya anoreksia, diare, dispepsia,
lidah yang licin, pucat, dan agak ikterik. Terjadi gangguan neurologis,
biasanya dimulai dengan parestesia, lalu gangguan keseimbangan, dan pada kasus
yang berat terjadi perubahan fungsi serebral, demensia, dan perubahan neuropsikiatrik lainnya.
Terdapat
beberapa gejala umum yang biasanya dialami oleh penderita anemia megaloblastik
(pernisiosa). Namun demikian, setiap individu mungkin dapat mengalami gejala
yang berbeda satu sama lain. Gejala-gejala tersebut yaitu antara lain: otot
lemas, kaki dan tangan terasa kaku dan atau kesemutan, sulit berjalan, mual,
selera makan menurun, kehilangan berat badan, mudah tersinggung, mudah lelah
atau kekurangan energi, diare, glossitis, dan tachycardiaatau detak
jantung meningkat.
MedicineNet.com
(2007) mengungkapkan bahwa orang dengan anemia pernisiosa sering merasa cepat
lelah dan lemas karena tubuh tidak memperoleh cukup oksigen. Dalam beberapa
waktu kemudian, apabila kondisi ini tidak segera dipulihkan maka akan
menimbulkan masalah yang serius pada organ jantung, saraf, dan organ lain dalam
tubuh. Pada penderita anemia, jantung harus bekerja lebih keras memompa darah
agar memperoleh cukup oksigen bagi organ-organ dan jaringan-jaringan tubuh.
Kondisi
seperti ini menimbulkan suara yang tidak biasa terdengar selama jantung
berdetak, detakan jantung yang sangat cepat, ukuran jantung membesar, atau
bahkan gagal jantung. Defisiensi vitamin B12 atau asam folat
dapat menyebabkan masalah yang lebih parah pada jantung karena meningkatnya
level suatu bahan kimia dalam tubuh yang biasa disebut dengan homocystein.
Kadarnya yang tinggi tersebut menambah simpanan lemak dalam pembuluh darah,
yang akan mendorong ke arah serangan jantung dan stroke.
Gangguan
syaraf yang diakibatkan dari anemia megaloblastik menunjukkan degradasi otak,
saraf mata, saraf tulang belakang, dan saraf perifer dengan tanda-tanda mati
rasa, semutan, kaki terasa panas, kaku dan rasa lemah pada kaki (Almatsier
2004).
Tanda-tanda
dan gejala-gejala yang ditunjukkan oleh penderita anemia pernisiosa dapat juga
berhubungan dengan saluran pencernaan, bisa diawali dengan kondisi lidah
menjadi berwarna merah terang dan tekstur yang lembut serta termasuk daerah di
mulut terasa sangat sakit dan mengalami perdarahan. Defisiensi vitamin B12 selain
dapat mengubah permukaan lidah, juga dapat membuat lapisan lambung menjadi
tipis dan menyusut. Perubahan apapun yang terjadi di dalam lambung akan membawa
peluang besar ke arah kanker lambung. Selain itu, anemia pernisiosa juga
mengakibatkan ukuran hati membesar (MedicineNet.com 2007).
Manifestasi
klinis lain pada anemia pernisiosa adalah pucat atau kulit kekuning-kuningan,
demam tinggi, dan merasa pusing ketika akan berdiri. Bayi dengan kondisi anemia
pernisiosa dapat menunujukkan pergerakan yang tidak biasa atau terhambat
pertumbuhannya dan kegagalan untuk tumbuh subur (MedicineNet.com 2007).
Tanda
dan gejala anemia pernisiosa pada umumnya seperti tanda dan gejala anemia
lainnya. Seseorang yang menderita anemia pernisiosa akan tampak lemah dan pucat
sebagai akibat ketidakmampuan sumsum tulang untuk membentuk sel darah merah
sehingga menyebabkan kurangnya volume sel darah merah dalam tubuh (Restiadie
2009).
Tanda
dan gejala lainnya pada penderita anemia pernisiosa yaitu akan muncul ikterus,
di mana sklera mata berubah warna menjadi kuning. Adanya defisiensi vitamin B12
menyebabkan kerja jaringan saraf terganggu. Gangguan ini ditandai dengan
munculnya gejala neuropati. Selain mengurangi pembentukan sel darah merah,
kekurangan vitamin B12 juga mempengaruhi sistem saraf dan menyebabkan:
- kesemutan di tangan dan kaki
- hilangnya rasa di tungkai, kaki dan tangan
- gangguan pergerakan (Nurcahyo 2007).
Gejala
lainnya adalah:
- buta warna tertentu, termasuk warna kuning dan biru
- luka terbuka di lidah atau lidah seperti terbakar (glositis)
- penurunan berat badan
- warna kulit menjadi lebih gelap
- linglung
- depresi
- penurunan fungsi intelektual
- purpura tromositopenik (Nurcahyo 2007).
Diagnosis
Biasanya,
kekurangan vitamin B12 terdiagnosis pada pemeriksaan darah rutin untuk anemia.
Pada contoh darah yang diperiksa dibawah mikroskop, tampak megaloblas (sel
darah merah berukuran besar). Juga dapat dilihat perubahan sel darah putih dan
trombosit, terutama jika penderita telah menderita anemia dalam jangka waktu
yang lama Jika diduga terjadi kekurangan, maka dilakukan pengukuran kadar
vitamin B12 dalam darah. Jika sudah pasti terjadi kekurangan vitamin B12, bisa
dilakukan pemeriksaan untuk menentukan penyebabnya. Biasanya pemeriksaan
dipusatkan kepada faktor intrinsik. Adapun langkah pemeriksaannya yaitu:
- Contoh darah diambil untuk memeriksa adanya antibodi terhadap faktor intrinsik. Biasanya antibodi ini ditemukan pada 60-90% penderita anemia pernisiosa.
- Pemeriksaan yang lebih spesifik, yaitu analisa lambung. Dimasukkan sebuah selang kecil (selang nasogastrik) melalui hidung, melewati tenggorokan dan masuk ke dalam lambung.
- Lalu disuntikkan pentagastrin (hormon yang merangasang pelepasan faktor intrinsik) ke dalam sebuah vena. Selanjutnya diambil contoh cairan lambung dan diperiksa untuk menemukan adanya faktor intrinsik.
Jika
penyebabnya masih belum pasti, bisa dilakukan tes Schilling.
Diberikan sejumlah kecil vitamin B12 radioaktif per-oral (ditelan) dan diukur
penyerapannya. Kemudian diberikan faktor intrinsik dan vitamin B12, lalu
penyerapannya diukur kembali. Jika vitamin B12 diserap dengan faktor intrinsik,
tetapi tidak diserap tanpa faktor intrinsik, maka diagnosisnya pasti anemia
pernisiosa.
Pada
pemeriksaan darah ditemukan sel darah merah besar-besar (makrositik), MCV >
100 fmol/l, neutrofil hipersegmentasi. Gambaran sumsum tulang megaloblastik.
Sering ditemukan dengan gastritis
atrofi (dalam jangka waktu lama dikaitkan dengan peningkatan risiko karsinoma gaster), sehingga
menyebabkan aklorhidria. Kadar vitamin B12 serum kurang dari 100
pg/ml.
Penatalaksanaan
pengobatan
untuk anemia pernisiosa terbagi berdasarkan penyebab kekurangan zat gizinya,
yaitu:
- Untuk defisiensi B12
- Diberikan vitamin B12 100-1000 μg/ hari selama 2 minggu selanjutnya 100- 1000 μg / bulan
- Transfusi darah jika diperlukan
- Sebagian besar penderita tidak dapat menyerap vitamin B12 per-oral (ditelan), karena itu diberikan melalui suntikan. Pada awalnya suntikan diberikan setiap hari atau setiap minggu, selama beberapa minggu sampai kadar vitamin B12 dalam darah kembali normal.Selanjutnya suntikan diberikan 1 kali/bulan.
- Untuk defisiensi asam folat
Diberikan
asam folat 1-5 mg /hari secara oral selama 1-5 minggu.
Pencegahan
Dunia
medis dan akademis belum mengetahui secara pasti cara
mencegah anemia pernisiosa yang disebabkan dari sistem imun yang merusak sel
parietal (sel induk) dalam lambung. Sebenarnya cara pencegahan anemia
pernisiosa merupakan upaya yang tidak terlalu sulit karena dapat dilakukan
dengan hanya mengkonsumsi makanan-makanan yang mengandung asam folat dan
vitamin B12.
Makanan-makanan
yang kaya asam folat yaitu antara lain jus jeruk, jeruk, daun selada , bayam,
hati, beras, barley, kecambah, gandum, kacang kedelai, buncis, kacang-kacangan,
brokoli, asparagus, dan sayur-sayuran berdaun hijau lainnya. Sedangkan
makanan-makanan yang kaya asam folat dan vitamin B12 antara lain telur, susu,
daging, unggas, ikan, jenis-jenis ikan yang bercangkang, dan sereal (Anonim
2008).
Vitamin
B12 juga dapat diperoleh dari multivitamin dan suplemen-suplemen B kompleks.
Para dokter merekomendasikan pemberian suplemen bagi individu yang memiliki
resiko terhadap defisiensi vitamin B12, seperti bayi dan anak-anak dari ibu yang
vegan (MedicineNet.com 2007).
Pengobatan
standar adalah injeksi (suntikan) paling sedikit 100 μg vitamin B12 untuk
memulihkan defisiensi vitamin. Pengobatan tersebut mampu mengatasi anemia dan
komplikasi neurologi jika segera diberikan setelah tanda-tanda awal anemia
diketahui. Bagi para penderita yang berusia lebih tua dengan atrofi lambung
disarankan untuk mengkonsumsi tablet yang mengandung 25 μg sampai 1 mg vitamin
B12 setiap hari untuk mencegah defisiensi vitamin B12. Rekomendasi didasarkan
pada pengamatan bahwa sekitar 1% vitamin B12 diserap oleh sejumlah aksi tanpa
faktor intrinsik (Epstein&Franklin 1997).
Kejenuhan
cadangan vitamin ini dalam tubuh mampu mengatasi secara cepat anemia yang berkenaan
dengan riwayat penyakit orang tua. Jika penyebabnya adalah asupan yang kurang,
maka anemia ini bisa dicegah melalui pola makanan yang seimbang. Sumber makanan
yang berasal dari hewani merupakan makanan yang banyak mengandung vitamin B12.
Oleh karena itu, telah terbukti bahwa koreksi terhadap defisiensi kobalamin
(vitamin B12) pada anemia pernisiosa tersebut dapat diatasi dengan berbagai
cara.
Kata Kunci Pencarian : Anemia Pernisiosia, Referat, Hematologi, Skripsi, Tesis, Ilmu Penyakit Dalam, Desertasi, Makalah, Jurnal, SKP (Satuan Kredit Profesi), Kompetensi, pdf, word, .pdf, .doc, .docx, Karya Tulis Ilmiah, Disertasi, Refrat, modul BBDM, Belajar Bertolak Dari Masalah, Problem Based Learning, askep (asuhan keperawatan)
Kata Kunci Pencarian : Anemia Pernisiosia, Referat, Hematologi, Skripsi, Tesis, Ilmu Penyakit Dalam, Desertasi, Makalah, Jurnal, SKP (Satuan Kredit Profesi), Kompetensi, pdf, word, .pdf, .doc, .docx, Karya Tulis Ilmiah, Disertasi, Refrat, modul BBDM, Belajar Bertolak Dari Masalah, Problem Based Learning, askep (asuhan keperawatan)
0 comments:
Posting Komentar