Definisi
Anemia aplastik merupakan gangguan hematopoesis
yang ditandai oleh penurunan produksi eritroid, myeloid dan megakariosit dalam
sumsum tulang dengan akibat adanya pansitopenia pada darah tepi, serta tidak
dijumpai adanya keganasan sistem hemopoid ataupun kankier metatastik yang menekan
sumsum tulang. Aplasia ini dapat terjadi pada satu, dua atau ketiga sistem
hematopoesis. Aplasia yang hanya mengenai sistem eritropoetik disebut anemia
hipoplastik (eritroblastopenia), yang hanya mengenai sistem granulopoetik
disebut agranulositosis, sedangkan yang hanya mengenai sistem megakariosit
disebut purpura trombositopenik amegakariositik (PTA). Bila mengenai ketiga
sistem tersebut disebut anemia aplastik.
Menurut The
International Agranulositosis and Aplastic Anemia Study (IAAS) disebut bahwa
anemia aplastik apabila kadar hemoglobin ≤ 10 g/dl atau hematokrit ≤ 30, hitung
trombosit ≤50.000 /m3, hitung leukosit ≤ 3500 /m3 atau granulosit ≤ 1.5 x 109
/l.
Konsep mengenai
anemia aplastik pertama kali diperkenalkan pada tahun 1998 oleh Paul Ehrlich.
Ia melaporkan seorang wanita muda yang pucat
dan panas dengan ulserasi gusi, menorrhagia, anemia berat dan
leukopenia. Sewaktu dilakukan autopsy ditemukan tidak ada sumsum tulang yang
aktif, dan Ehrlich kemudian menghubungkan dengan adanya penekanan pada fungsi
sumsum tulang. Pada tahun 1904, Chauffard memperkenalkan istilah anemia
aplastik.2
Hampir semua
kasus anemia aplastik berkembang ke kematian bila tidak dilakukan pengobatan.
Angka kelangsungan hidup tergantung seberapa berat penyakit saat didiagnosis,
dan bagaimana respon tubuh terhadap pengobatan.3 Semakin berat
hipoplasia yang terjadi maka prognosis akan semakin jelek. Dengan transplantasi
tulang kelangsungan hidup 15 tahun dapat mencapai 69% sedangkan dengan
pengobatan imunosupresif mencapai 38%.4
Etiologi
Secara etiologi, penyakit ini dapat
dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu:
A. Faktor
kongenital/anemia aplastik yang diturunkan
Sindroma Fanconi
yang biasanya disertai kelainan bawaan lain seperti mikrosefali, strabismus,
anomali jari, kelainan ginjal, dan sebagainya.
B. Faktor
didapat
Sebagian anemia
aplastik didapat bersifat idiopatik, sebagian lainnya dihubungkan dengan:
- Bahan kimia: benzene, insektida
- Obat: kloramfenikol, anti rematik, anti tiroid, mesantoin (antikonvulsan sitostatika)
- Infeksi: hepatitis, tuberculosis milier
- Radiasi: radioaktif, sinar rontgen
Pembagian
lain etiologi anemia aplastik:
Anemia aplasik dapat merupakan
kelainan kongenital (genetik) atau dapat
berupa kelainan yang di dapat. Sebagai
kelainan kongenital anemia aplastik dibedakan menjadi dua kelompok :
1.
Aplasia yang hanya
mengenai salah satu dari sel. Misalnya :
- Anemia hipoplastik kongenital (erithroblastopenia)→ seri eritropoetik
- Agranulositosis, genetik infanital (agranulositosis) → seri granulopoetik
- Amegakaryolite trombositopeni purpura → seri trombopoetik.
2.
Aplasia yang mengenai
seluruh seri hematopoetik dan biasanya disertai dengan kelainan kongenital.
Misalnya :
- Sindrom kongenital
- Diskeratosis bawaan.
- Anemia aplastik konstitusional tampa kelainan kulit atau tulang.
Sedangkan
anemia aplasik yang di dapat adalah yang berasal dari
1.
Bahan-bahan kimia dan
obat-obatan
Seperti:
Radiasi, benzen, bahan-bahan toxic seperti insektisida, obat-obatan sitosantika, kloramphenicol,
oksiperbutazon, sulfonamid.dll.
2.
Virus
Seperti:
Hepatitis virus, sitomegalo virus, dengue, hespes simplex, robeola dan
varicella.
3.
Idiopatik
Kelompok
ini merupakan kelompok yang terbesar, hampir 50 % penderita anemia aplasik tergolong
idiopatik, pengertian idiopatik tidak menyingkirkan kemungkinan adanya
penyebab, sekalipun sampai saat ini belum terbukti.
Penyebab
sekunder lain seperti Lupus Eritematosus Sistemik (LES), kemoterapi, radioterapi, toksin, seperti benzen, toluen, ,
obat-obat seperti, sulfonamid, analgesia (pirazolon), antiepileptik
(hidantoin), kinakrin, dan sulfonilurea, pascahepatitis, kehamilan, dan
hemoglobinuria paroksimal nokturnal.
Epidemiologi
Anemia aplastik
jarang ditemukan. Insidensi bervariasi di seluruh dunia, berkisar antara 2
sampai 6 kasus per sejuta penduduk pertahun.2 Analisis
retrospektif di Amerika Serikat memperkirakan insiden anemia aplastik
berkisar antara 2 sampai 5 kasus per sejuta penduduk pertahun.4 The
International Aplastic Anemia and Agranulocytosis Study dan French Study
memperkirakan ada 2 kasus persejuta orang pertahun.2, 4 Frekuensi
tertinggi anemia aplastik terjadi pada orang berusia 15 sampai 25 tahun;
peringkat kedua terjadi pada usia 65 sampai 69 tahun. Anemia aplastik lebih
sering terjadi di negara Timur, dimana insiden kira-kira 7 kasus persejuta
penduduk di Cina, 4 kasus persejuta penduduk di Thailand dan 5 kasus persejuta
penduduk di Malaysia. Penjelasan kenapa insiden di Asia Timur lebih besar
daripada di negara Barat belum jelas.4
Peningkatan insiden ini diperkirakan berhubungan dengan faktor lingkungan
seperti peningkatan paparan dengan bahan kimia toksik, dibandingkan dengan
faktor genetik. Hal ini terbukti dengan tidak ditemukan peningkatan insiden
pada orang Asia yang tinggal di Amerika.7
Anemia aplasik
biasanya terdapat pada anak besar berumur lebih dari 6 tahun despresi sum-sum
tulang oleh obat atau bahan kimia meskipun dengan dosis rendah tetapi
berlangsung sejak usia muda secara terus-menerus, baru akan melihat pengarunya
setelah beberapa tahun kemudian, misalnya pemberian kloramphenicol yang
terlampau sering pada bayi (sejak umur2-3 bulan) baru akan menyebabkan gejala
anemia aplasik setelah ia berumur lebih dari 6 tahun. Disamping itu pada
beberapa kasus gejala sudah timbul hanya beberapa saat ia kontak dengan agen
penyebabnya.
Klasifikasi
Anemia Aplastik2
Tabel Klasifikasi Anemia Aplastik
|
|
Klasifikasi
|
Kriteria
|
Anemia aplastik tidak berat
|
Sumsum tulang hiposelular namun
sitopenia tidak memenuhi kriteria berat
|
Anemia aplastik berat
|
|
Anemia aplastik sangat berat
|
|
Patofisiologi
Walaupun telah banyak dilakukan penelitian hingga saat
ini, patofisiologi anemia aplastik belum diketahui secara tuntas. Ada 3 teori
yang dapat menerangkan patofisiologi penyakit ini yaitu:
a.
Kerusakan sel induk
hematopoietic (stem cell defect)
b.
Kerusakan lingkungan
mikro sumsum tulang (environtment defect)
c.
Proses imunologik yang
menekan hematopoiesis (immunologic
process)
Kegagalan
produksi sel darah bertanggung jawab atas kosongnya sumsum tulang yang tampak
jelas pada pemeriksaan apusan aspirat sumsum tulang atau specimen core biopsy sumsum tulang. Hasil
pencitraan dengan magneting resonance
imaging vertebra memperlihatkan digantinya sumsum tulang oleh jaringan
lemak yang merata. Secara kuantitatif, sel-sel hematopoietic yang imatur dapat
dihitung flow cytometry. Sel-sel
tersebut mengekspresikan protein cytoadhesive,
yang disebut CD34. Pada pemeriksaan flow
cytometry, antigen sel CD34+ dideteksi secara flouresens satu per satu,
sehingga jumlah sel-sel CD34+ dapat dihitung dengan tepat. Pada anemia
aplastik, sel-sel CD34+ juga hampir tidak ada yang berarti bahwa sel-sel induk
pembentuk koloni eritroid, myeloid, dan megakaryositik sangat kurang jumlahnya.
Assay lain untuk sel-sel hematopoietic yang sangat primitive dan “tenang” (quiescent), yang sangat mirip jika
tidak dapat dikatakan identik dengan sel-sel asal, juga memperlihatkan
penurunan. Pasien yang mengalami panstopenia mungkin telah mengalami penurunan
populasi sel asal dan sel induk sampai sekitar 1% atau kurang. Defisiensi berat
tersebut mempunyai konsekuensi kualitatif, yang dicerminkan oleh pemendekan
telomere granulosit pada pasien anemia aplastik.2 Kemampuan hidup
dan daya proliferasi serta defisiensi sel induk hematopoietic tergantung pada
lingkungan mikro sumsum tulang yang terdiri dari sel stroma yang menghasilkan
berbagai sitokin. Pada berbagai penelitian dijumpai bahwa sel stroma sumsum
tulang pasien anemia aplastik tidak menunjukkan kelainan dan menghasilkan sitokin
perangsang seperti Gm-CSF, G-CSF, dan Il-6 dalam jumlah normal sedangkan
sitokin penghambat seperti interferon-γ
(IFN-γ), tumor necrosis factor-α
(TNF- α), protein macrophage inflammatory
1α (MIP-1α) dan transforming growth
factor-β2 (TGF- β2) akan meningkat. Sel stroma pasien anemia aplastik dapat
menunjang pertumbuhan sel induk, tapi sel stroma normal tidak dapat menumbuhkan
sel induk yang berasal dari pasien. Berdasar temuan tersebut, teori kerusakan
lingkungan mikro sumsum tulang sebagai penyebab mendasar anemia aplastik makin
banyak ditinggalkan.
Kenyataan bahwa
terapi immunosupresif memberikan kesembuhan pada sebagian besar pasien anemia
aplastik merupakan bukti meyakinkan tentang peran mekanisme imunologik dalam
patofisiologi penyakit ini. Pemakaian gangguan sel induk dengan siklosporin
atau metilprednisolon member kesembuhan sekitar 75%, dengan ketahanan hidup
jangka panjang menyamai hasil transplantasi sumsum tulang. Keberhasilan
imunosupresi ini sangat mendukung teori proses imunologik.
Transplantasi
sumsum tulang singeneik oleh karena tiadanya masalah histokomptabilitas
seharusnya tidak menimbulkan masalah rejeksi meskipun tanpa pemberian terapi conditioning. Namun champlin dkk
menemukan 4 kasus transplantasi sumsum tulang singeneik ternyata semuanya
mengalami kegagalan, tetapi ulangan transplantasi sumsum tulang singeneik
dengan didahului terapi conditioning menghasilkan remisi jangka panjang pada semua
kasus. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pada anemia aplastik bukan saja terjadi
kerusakan sel induk tetapi juga terjadi imunosupresi terhadap sel induk yang
dapat dihilangkan dengan terapi conditioning.
Hingga saat ini
teori yang banyak di
anut adalah kerusakan pluri potent stemcell, yaitu sel-sel primitive
pada sum-sum
tulang yang memiliki kemampuan ber differensiasi menjadi berbagai seri
hematoepotik. Dan juga dikembangkan pula teori mengenai kerusakan micro
environment yaitu kerusakan lingkungan sekitar sel-sel pluri potent
sehingga menyebabkan hilangnya kemampuan sel tersebut untuk berdifferensiasi,
apabila faktor yang merusak micro environment diperbaik, maka kemampuan sel-sel
pluri potent akan meningkat kembali. Faktor-faktor yang merusak mikro
environment dihubungkan dengan penekan secara imunulogi pada beberapa keadaan
seperti anemia aplasik yang disebabkan oleh virus, patogenesis kemungkinan
karena kerusakan pada
organ-organ perifer.
Manifestasi
Klinis
Pada sebagian
besar penderita anemia aplastik
didapat gejala pertama adalah anemia dengan atau tanpa pendarahan. Sering pula
disertai dengan demam dan tanda-tanda infeksi. Pendarahan dapat berupa purpura,
epistaxia, bahkan dapat terjadi pendarahan gastrointestinal. Infeksi mudah
terjadi karena adanya granulositopenia. Pembesaran kel limfe dan limpa tidak
dijumpai karena sifatnya aplasia pada sistem hematopoetik, sering juga dijumpai
adanya ukresi mulut dan tenggorokan. Keadaan anemia akan menyebabkan berbagai
gejala seperti pucat, anorexia, lemah, sesak, jantung berdebar-debar dan bahkan
bisa jatuh ke decompensasio cordis.
Gejala yang
muncul berdasarkan gambaran umum sumsum tulang yang berupa aplasia system
eritropoetik, granulopetik dan trombopoetik, serta aktifitas relative system
limfopoetik dan system retikulo endothelial (SRE). Aplasia system eritropoetik
dalam darah tepi akan terlihat sebagai retikulositopenia yang disertai
merendahnya kadar Hb, hematokrit, dan hitung eritrosit serta MCV (Mean
Corpuscuolar Volume). Secara klinis anak tampak pucat dengan berbagai gejala
anemia lainnya seperti anoreksia, lemah, palpitasi, sesak karena gagal jantung,
dsb. Oleh karena sifatnya aplasia system hematopoetik, maka umumnya tidak
ditemukan ikterus, pembesaran limpa, hepar maupun kelenjar getah bening.
Tabel
Keluhan Pasien Anemia Aplastik (n=70) (Salonder, 1983)8
|
|
Jenis
Keluhan
|
%
|
Perdarahan
Badan lemah
Pusing
Jantung berdebar
Demam
Nafsu makan berkurang
Pucat
Sesak napas
Penglihatan kabur
Telinga berdengung
|
83
30
69
36
33
29
26
23
19
13
|
Pemeriksaan
Fisik8
Tabel
Pemeriksaan Fisik pada Pasien Anemia Aplastik (N=70) (Salonder, 1983)
|
|
Jenis
Pemeriksaan Fisik
|
%
|
Pucat
Perdarahan
·
Kulit
·
Gusi
·
Retina
·
Hidung
·
Saluran cerna
·
Vagina
Demam
Hepatomegali
Splenomegali
|
100
63
34
26
20
7
6
3
16
7
0
|
Diagnosis
Penegakan diagnosis memerlukan pemeriksaan darah
lengkap dengan hitung jenis leukosit, hitung retikulosit, dan aspirasi serta
biopsi sumsum tulang. Pemeriksaan flow
cytometry darah tepi dapat menyingkirkan hemoglobinuria nokturnal
paroksismal, dan karyotyping sumsum
tulang dapat membantu menyingkirkan sindrom myelodisplastik. Pasien berusia kurang
dari 40 tahun perlu diskrining untuk anemia Fanconi dengan memakai obat
klastogenik diepoksibutan atau mitomisin. Riwayat keluarga sitopenia
meningkatkan kecurigaan adanya kelainan diwariskan walaupun tidak ada kelainan
fisik yang tampak.2
Diagnosis
dibuat berdasarkan gejala
klinis berupa panas, pucat, perdarahan- tanpa adanya organomegali
(hepato splenomegali). Gambaran darah tepi menunjukan pansitopenia dan
limfositosis relatif. Diagnosis pasti ditentukan dengan pemeriksaan biopsi
sumsum tulang yaitu gambaran sel sangat kurang, banyak jaringan penyokong dan
jaringan lemak; aplasia sistem eritropoetik, granulopoetik dan trombopoetik.
Diantara sel sumsum tulang yang sedikit ini banyak ditemukan limfosit, sel SRE
(sel plasma, fibrosit, osteoklas, sel endotel). Hendaknya dibedakan antara
sediaan sumsum tulang yang aplastik dan yang tercampur darah.
Pemeriksaan
Penunjang
A. Pemeriksaan
laboratorium 2,
6
·
Temuan Laboratorium
1. Anemia
bersifat normokrom normositik, atau makrositik (volume eritrosit rata-rata
(VER) seringkali 95-110 fl). Jumlah retikulosit biasanya sangat rendah jika
dikaitkan dengan derajat anemia.
2. Leukopenia.
Terdapat penurunan selektif granulosit, tetapi biasanya tidak selalu sampai
dibawah 1,5 x 109/l. pada kasus-kasus berat jumlah limfosit juga
rendah. Netrofil tampak normal dan kadar fosfatase alkalinya tinggi.
3. Trombositopenia
selalu ada, dan pada kasus berat, kurang dari 10 x 109/l.
4. Tidak
ada sel abnormal dalam darah tepi.
5. Laju
endap darah selalu meningkat. Penulis menemukan bahwa 62 dari 70 kasus (89%)
mempunyai laju endap darah lebih dari 100 mm dalam jam pertama.
- Faal Hemostasis
Waktu perdarahan
memanjang dan retraksi bekuan buruk disebabkan oleh trombositopenia. Faal
hemostasis lainnya normal.
- Sumsum Tulang
Sumsum tulang
memperlihatkan adanya hipoplasia, dengan hilangnya jaringan hemopoietik dan
penggantian oleh lemak yang meliputi lebih dari 75% sumsum tulang. Biopsy
trephine sangat penting dilakukan dan dapat memperlihatkan daerah selular
berbercak pada latar belakang yang hiposelular. Sel-sel utama yang tampak
adalah limfosit dan sel plasma; megakariosit sangat berkurang atau tidak ada.
- Virus
Evaluasi
diagnosis anemia aplastik meliputi pemeriksaan virus Hepatitis, HIV parvovirus
sitomegalovirus.
- Tes Ham atau Tes Hemolisis Sukrosa
Tes ini
diperlukan untuk mengetahui adanya PNH sebagai penyebab.
- Kromosom
Pada anemia
aplastik didapat, tidak ditemukan kelainan kromosom. Pemeriksaan sitogenik
dengan fluroscence in situ hybridization (FISH)
dan immunofenotipik dengan flow cytometry
diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis banding, seperti myelodisplasia
hiposelular.
- Defisiensi Imun
Adanya
defisiensi imun diketahui melalui penentuan titer immunoglobulin dan
pemeriksaan imunitas sel T.
- Lain-lain
Hemoglobin F
meningkat pada anemia aplastik anak, dan mungkin ditemukan pada anemia aplastik
konstitusional.Kadar eritropoietin ditemukan meningkat pada anemia aplastik.
B. Pemeriksaan Radiologis
- Nuclear Magnetic Resonance Imaging
Pemeriksaan ini
merupakan cara terbaik untuk mengetahui luasnya perlemakan karena dapat membuat
pemisahan tegas antara daerah sumsum tulang berlemak dan sumsum tulang
berelular.
- Radionuclide Bone Marrow Imaging (Bone Marrow Scanning)
Luasnya kelainan
sumsum tulang dapat ditentukan oleh scanning
tubuh setelah disuntik dengan koloid radioaktif technetium sulfur yang akan
terikan pada makrofag sumsum tulang atau iodium
chloride yang akan terikat pada transferin. Dengan bantuan scan sumsum tulang dapat ditentukan
daerah hemopoiesis aktif untuk memperoleh sel-sel guna pemeriksaan sitogenetik
atau kultur sel-sel induk.
Diagnosis Banding
a.
Purpura Trombositopenik
Imun (PTI) dan PTA. pemeriksaan darah tepi dari kedua kelainan ini hanya
menunjukan trombositopenia tanpa retikulositopenia atau granulositopenia/leukopenia.
Pemeriksaan sumsum tulang dari PTI menunjukan gambaran yang normal atau ada
peningkatan megakariosit, sedangkan pada PTA tidak atau kurang ditemukan
megakariosit.
b.
Leukemia akut jenis
aleukemia, terutama Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) dengan jumlah Ieukosit yang
kurang dari 6000/Mm3. kecuali pada stadium dini, biasanya pada LLA
ditemukan splenomegali. pemeriksaan darah tepi sukar dibedakan, karena kedua
penyakit mempunyai gambaran yang serupa (pansitopenia dan relative
limfositosis) kecuali bila terdapat sel blas dan limfositosis yang dari 90%.
diagnosis lebih cenderung ke LLA.
c.
Stadium praleukemik dan
leukemik akut
Keadaan
ini sukar dibedakan baik gambaran klinis, darah tepi maupun sumsum tulang
karena masih menunjukan gambaran sitopenia dari ketiga system hematopoetik.
Biasanya setelah beberapa bulan kemudian baru terlihat gambaran khas LLA.
Penatalaksanaan
Tujuan
utama terapi adalah pengobatan yang disesuaikan dengan etiologi dari anemianya. Berbagai teknik pengobatan
dapat dilakukan, seperti:
- Transfusi darah, sebaiknya diberikan packed red cell. Bila diperlukan trombosit, berikan darah segar atau platelet concentrate.
- Atasi komplikasi (infeksi) dengan antibiotik. Higiene yang baik perlu untuk mencegah timbulnya infeksi.
- Kortikosteroid, dosis rendah mungkin bermanfaat pada perdarahan akibat trombositopenia berat.
- Androgen, seperti fluokrimesteron, testosteron, metandrostenolon, dan nondrolon. Efek samping yang mungkin terjadi virilisasi, retensi air dan garam, perubahan hati, dan amenore.
- Imunosupresif, seperti siklosporin, globulin antitimosit. Champlin, dkk menyarankan penggunaannya pada pasien > 40 tahun yang tidak dapat menjalani transplantasi sumsum tulang dan pada pasien yang telah mendapat tranfusi berulang.
- Transplantasi sumsum tulang.
1.
Terapi
Konservatif
Terapi
Imunosupresif
Terapi
imunosupresif merupakan modalitas terapi terpenting untuk sebagian besar pasien
anemia aplastik. Obat-obatan yang termasuk dalam terapi imunosupresif adalah
antithymocyte globuline (ATG) atau antilymphocyte globuline (ALG) dan
siklosporin A (CsA). Mekanisme kerja ATG atau ALG pada kegagalan sumsum tulang
tidak diketahui dan mungkin melalui:
- Koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediated pada sel asal
- Stimulasi langsung atau tidak langsung pada hematopoiesis
ATG
atau ALG diindikasikan pada:
- Anemia aplastik bukan berat
- Pasien tidak mempunyai donor sumsum tulang yang cocok
- Anemia aplastik berat, yang berumur lebih dari 20 tahun, dan pada saat pengobatan tidak terdapat infeksi atau perdarahan atau granulosit lebih dari 200/mm3
Algoritma penatalaksanaan pasien
anemia berat
2.
Terapi
Suportif 2,
5
Pengobatan
suportif diberikan untuk mencegah dan mengobati terjadinya infeksi dan
perdarahan:
- Pengobatan terhadap infeksi
Untuk meghindarkan anak
dari infeksi, sebaiknya anak diisolasi
dalam ruangan khusus yang “suci hama”. Pemberian obat antibiotika hendaknya
dipilih yang tidak menyebabkan depresi sumsum tulang.
- Transfusi darah
Gunakan komponen darah
bila harus melakukan transfusi darah.
Bila terdapat keluhan
akibat anemia, diberikan tranfusi eritrosit berupa packed red cell sampai kadar hemoglobin7-8 gr % atau lebih pada
orang tua dan pasien dengan penyakit kardiovaskular. Hendaknya harus diketahui
bahwa tidak ada manfaatnya mempertahankan kadar hemoglobin yang tinggi, karena
dengan transfusi darah yang terlampaui sering, akan timbul depresi terhadap
sumsum tulang atau dapat menyebabkan timbulnya reaksi hemolitik (reaksi
transfusi), akibat dibentuknya antibodi terhadap sel darah merah, leukosit dan
trombosit. Dengan demikian transfusi darah diberikan bila diperlukan.
Resiko perdarahan
meningkat bila trombosit kurang dari 20.000/mm3. Pada keadaan yang
sangat gawat (perdarahan massif, perdarahan otak, dan sebagainya) dapat
diberikan suspensi trombosit. Transfusi trombosit diberikan bila
perdarahan atau kadar trombosit dibawah 20.000/mm3 (profilaksis).
Pada mulanya diberikan trombosit donor acak.
Pemberian transfusi
leukosit sebagai profilaksis masih kontroversi dan tidak dianjurkan karena efek
samping yang lebih parah daripada manfaatnya. Masa hidup leukosit yang
ditransfusikan sangat pendek. Pada infeksi berat khasiatnya hanya sedikit
sehingga pemberian antibiotik masih diutamakan.
- Transplantasi sumsum tulang ditetapkan sebagai terapi terbaik pada pasien anemia aplastik sejak tahun 70-an. Donor terbaik berasal dari saudara sekandung dengan Human Leukocyte Antigen (HLA)nya cocok.
Prognosis
Prognosis
bergantung pada
- Gambaran sumsum tulang hiposeluler atau aseluler
- Kadar Hb F yang lebih dari 200mg% memperlihatkan prognosis yang lebih baik
- Jumlah granulosit lebih dari 2000/mm3 menunjukkan prognosis yang lebih baik
- Pencegahan infeksi sekunder, terutama di Indonesia karena kejadian infeksi masih tinggi.
Remisi biasanya
terjadi beberapa bulan setelah pengobatan (dengan oksimetolon setelah 2-3 bulan),
mula-mula terlihat perbaikan pada sistem eritropoetik, kemudian sistem
granulopoetik dan terakhir sistem trombopoetik. Kadang-kadang remisi terlihat
pada sistem granulopoetik lebih dahulu, disusul oleh sistem. eritropoetik dan
trombopoetik. Untuk melihat adanya remisi hendaknya diperhatikan jumlah
retikulosit, granulosit/leukosit dengan hitung jenisnya dan jumlah trombosit.
Pemeriksaan sumsum tulang sebulan sekali merupakan indicator terbaik untuk
menilai keadaan remisi ini. Bila remisi parsial telah tercapai, yaitu timbuInva
aktifitas eritropoetik dan granulopoetik, bahaya perdarahan yang fatal masih
tetap ada karena perbaikan sistem trombopoetik terjadi paling akhir. Sebaiknya
pasien dibolehkan pulang dari rumah sakit setelah hitung trombosit mencapai
50.000-100.000/mm3
Gambaran sumsum
tulang merupakan parameter yang terbaik untuk menentukan prognosis. Pada
umumnya kematian pada anemia aplastik terjadi karena sebab berikut:
- Infeksi, biasanya bronkopneumonia atau sepsis. Harus waspada terhadap tuberculosis akibat pemberian prednisone jangka panjang.
- Perdarahan otak atau abdomen
Daftar
Pustaka/Referensi
- Dorland WA. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC; 2002.
- Widjanarko A, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
- Young NS. The Pathophysiology of Acquired Aplastic Anemia. [Online] [Accessed 2012 April]. Avaliable from: (www.ishapd.org/1996/1996/078.pdf).
- Shadduck RK. Aplastic anemia. In: Lichtman MA, Beutler E, et al (eds). William Hematology 7th ed. New York : McGraw Hill Medical; 2007.
- Sudarmanto, et al. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010.
- Hoffbrand, AV. Kapita selekta hematologi Edisi 4. Jakarta: EGC; 2005.
- Niazi M, Rafiq F. The Incidence of Underlying Pathology in Pancytopenia-an experience of 89 cases. JPMI; 18: 76-79.
- Salonder H,
Anemia Aplasik dalam Ilmu Penyakit Dalam jilid II, FKUI,
Jakarta,1994 : 396 – 403
- Baldy C.M, Anemia Aplastik dalam Patofisiologi, Jakarta, 2000 : 234 – 3
- corwin E.J,
Anemia Aplasik dalam Buku Saku Patofisiologi, EGC, Jakarta : 122 – 2
- Linch.D,et,all.
Anemia Aplasik dalam Buku Atkas Bantu Hematologi Hipokrates, Jakarta
1995 : 25 – 8
- Azwar.N. Anemia Aplastik dalam buku Catatan Kuliah Patologi Klinik, FK-UNBRAH, Padang 1995.
Kata Kunci Pencarian : Aplastic Anemia, Hematologi, Karya Tulis Ilmiah, Referat, Jurnal, SKP (Satuan Kredit Profesi), Kompetensi, pdf, word, .pdf, .doc, .docx, Ilmu Penyakit Dalam, Makalah, Desertasi, Skripsi, Tesis, Disertasi, Refrat, modul BBDM, Belajar Bertolak Dari Masalah, Problem Based Learning, askep (asuhan keperawatan)
0 comments:
Posting Komentar