Definisi
Demam tifoid dan
paratifoid merupakan penyakit infeksi akut usus halus. Sinonim dari demam
tifoid dan paratifoid adalah typhoid dan paratyphoid fever, enteric
fever, tifus, dan paratifus abdominalis. Demam paratifoid menunjukkan
manifestasi yang lama dengan dengan tifoid, namun biasanya lebih ringan. Di Indonesia penderita demam tifoid cukup
banyak diperkirakan 800 /100.000 penduduk per tahun dan tersebar di mana-mana.
Ditemukan hampir sepanjang tahun, tetapi terutama pada musim panas. Demam tifoid dapat ditemukan pada semua umur, tetapi yang paling sering pada anak besar,umur 5- 9 tahun dan laki-laki lebih banyak dari perempuan dengan perbandingan 2-3 : 1.
Ditemukan hampir sepanjang tahun, tetapi terutama pada musim panas. Demam tifoid dapat ditemukan pada semua umur, tetapi yang paling sering pada anak besar,umur 5- 9 tahun dan laki-laki lebih banyak dari perempuan dengan perbandingan 2-3 : 1.
Penularan dapat terjadi dimana saja, kapan saja, sejak usia seseorang
mulai dapat mengkonsumsi makanan dari luar, apabila makanan atau minuman yang
dikonsumsi kurang bersih. Biasanya baru dipikirkan suatu demam tifoid bila
terdapat demam terus menerus lebih dari 1 minggu yang tidak dapat turun dengan
obat demam dan diperkuat dengan kesan anak baring pasif, nampak pucat, sakit
perut, tidak buang air besar atau diare beberapa hari.
Makin cepat demam tifoid dapat didiagnosis makin baik. Pengobatan dalam
taraf dini akan sangat menguntungkan mengingat mekanisme kerja daya tahan tubuh
masih cukup baik dan kuman masih terlokalisasi hanya di beberapa tempat saja.
Almroth Edward
Wright, pembuat vaksin tifoid efektif pertama. Gambar oleh Wellcome Library, London dengan izin CC BY 4.0
|
Epidemiologi
Demam tifoid dan paratifoid endemik di Indonesia. Penyakit ini jarang ditemukan secara epidemik, lebih bersifat sporadis, terpencar-pencar di suatu daerah, dan jarang terjadi lebih dari satu kasus pada orang-orang serumah. Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun dan insidens tinggi pada daerah endemik terjadi pada anak-anak. Terdapat dua sumber penularan S. typhi, yaitu pasien dengan demam tifoid dan yang lebih sering, karier. Di daerah endemik, transmisi terjadi melalui air yang tercemar S. typhi, sedangkan makanan yang tercemar oleh karier merupakan sumber penularan tersering di daerah nonendemik.
EtiologiGambaran sederhana siklus penyebaran tifoid |
Etiologi demam tifoid
adalah Salmonella typhi. Sedangkan demam paratifoid disebabkan oleh
organisme yang termasuk dalam spesies Salmonella enteritidis, yaitu S. enteritidis
bioserotipe paratyphi A, S. enteritidis bioserotipe paratyphi B, S.
enteritidis bioserotipe paratifi C. Kuman-kuman ini lebih dikenal dengan
nama S. paratyphi A, S. schottmuelleri, dan S. hirschfeldii. Penularan
demam tifoid terjadi melalui mulut, kuman S.typhy masuk kedalam tubuh melalui
makanan/minuman yang tercemar ke dalam lambung, ke kelenjar limfoid usus kecil
kemudian masuk kedalam peredaran darah.
Kuman dalam peredaran darah yang pertama berlangsung singkat, terjadi 24-72 jam setelah kuman masuk, meskipun belum menimbulkan gejala tetapi telah mencapai organ-organ hati, kandung empedu, limpa, sumsum tulang dan ginjal. Pada akhir masa inkubasi 5 – 9 hari kuman kembali masuk ke aliran darah (kedua kali) dimana terjadi pelepasan endoktoksin menyebar ke seluruh tubuh dan menimbulkan gejala demam tifoid.
Kuman dalam peredaran darah yang pertama berlangsung singkat, terjadi 24-72 jam setelah kuman masuk, meskipun belum menimbulkan gejala tetapi telah mencapai organ-organ hati, kandung empedu, limpa, sumsum tulang dan ginjal. Pada akhir masa inkubasi 5 – 9 hari kuman kembali masuk ke aliran darah (kedua kali) dimana terjadi pelepasan endoktoksin menyebar ke seluruh tubuh dan menimbulkan gejala demam tifoid.
Morfologi Salmonella typhosa
Kuman berbentuk batang, tidak berspora dan tidak bersimpai
tetapi mempunyai flagel feritrik (fimbrae), pada pewarnaan gram bersifat gram
negatif, ukuran 2 - 4 mikrometer x 0.5 - 0.8 mikrometer dan bergerak, pada
biakan agar darah koloninya besar bergaris tengah 2 sampai 3 millimeter, bulat,
agak cembung, jernih, licin dan tidak menyebabkan hemolisis (Gupte, 1990).
Salmonella thyposa merupakan basil gram negatif (-),
bergerak dengan rambut getar, tidak berspora. Mempunyai sekurang-kurangnya 3
macam antigen :
- Antigen O, (Ohne Hauch), somatik, terdiri dari zat komplek lipopolisakarida
- Antigen H, (Hauch), flagel, menyebar dan bersifat termolabil
- Antigen V, kapsul, merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan melindungi O antigen terhadap fagositosis.
Fisiologi Salmonella typhi
Kuman tumbuh pada suasana aerob dan fakultatif anaerob, pada
suhu 15 - 41o C (suhu pertumbuhan optimum 37o C) dan pH pertumbuhan 6 - 8. Pada
umumnya isolat kuman Salmonella dikenal dengan sifat-sifat, gerak positif,
reaksi fermentasi terhadap manitol dan sorbitol positif dan memberikan hasil
negatif pada reaksi indol, laktosa, Voges Praskauer dan KCN. Sebagian besar
isolat Salmonella yang berasal dari bahan klinik menghasilkan H2S. Samonella thypi hanya membentuk sedikit
H2S dan tidak membentuk gas pada fermentase glukosa. Pada agar SS,Endo, EMB dan
MacConkey koloni kuman berbentuk bulat, kecil dan tidak berwana, pada agar
Wilson Blair koloni kuman berwarna hitam berkilat logam akibat pembentukan H2S.
Daya tahan bakteri
Kuman akan mati karena sinar matahari atau pada pemanasan
dengan suhu 60o C selama 15 sampai 20 menit, juga dapat dibunuh
dengan cara pasteurisasi, pendidihan dan klorinasi serta pada keadaan kering.
Dapat bertahan hidup pada es, salju dan air selama 4 minggu sampai
berbulan-bulan. Disamping itu dapat hidup subur pada medium yang mengandung
garam metil, tahan terhadap zat warna hijau brilian dan senyawa natrium
tetrationat dan natrium deoksikolat. Senyawa-senyawa ini menghambat pertumbuhan
kuman koliform sehingga senyawa-senyawa tersebut dapat digunakan didalam media
untuk isolasi Salmonella dari tinja (Gupte, 1990).
Patogenesis
S. typhi masuk ketubuh manusia melalui makanan
dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan
sebagian lagi masuk ke usus halus. (mansjoer, 2000). Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar
getah bening mesentrika. Melalui duktus torasikus kuman yang yang terdapat
didalam makrofag ini masuk kedalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia
pertama yang asimtomatik) dan menyebar keseluruh organ retikuloendotelial tubuh
terutama hati dan limpa. Kuman akan meninggalkan sel-sel fagosit dan akan
berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid selanjutnya masuk ke sirkulasi
darah lagi yang mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya yang disertai tanda
dan gejala penyakit infeksi sistemik.
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung
empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu di eksresikan secara
intermitten kedalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan
sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama
terulang kembali, makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat
fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa
mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi
inflamasi sistemik seperti demam, malise, mialgia, sakit kepala, sakit perut,
instabilitas vascular, gangguan mental, dan koagulasi.
Didalam plaque peyeri, makrofag hiperaktif menimbulkan
reaksi hiperplasia jaringan. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi karena
erosi pembuluh darah sekitar plague peyeri yang sedang
mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di
dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang ke lapisan
otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel
endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan
neuropsikiatrik, kardiovaskuler, pernafasan, dan gangguan organ lainnya.
Imunulogi humoral lokal, di usus diproduksi IgA
sekretorik yang berfungsi mencegah melekatnya salmonella pada mukosa usus. Pada Humoral sistemik, diproduksi IgM dan IgG untuk memudahkan fagositosis
Salmonella oleh makrofag. Seluler berfungsi untuk membunuh Salmonalla
intraseluler.
Manifestasi Klinis
Gejala-gejala yang
timbul bervariasi. Dalam minggu pertama keluhan dan gejala serupa dengan
penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri
otot, anoreksia, mual, muntah,
obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik
hanya didapatkan peningkatan suhu badan.
Dalam minggu kedua gejala-gejala
menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi relatif, lidah tifoid (kotor di
tengah, tepi dan ujung merah dan tremor), hepatomegali, splenomegali,
meteorismus, gangguan kesadaran berupa somnolen sampai koma, sedangkan roseolae
jarang ditemukan pada orang Indonesia.
Masa inkubasi rata-rata 7 – 14 hari. Manifestasi klinik pada anak umumnya
bersifat lebih ringan dan lebih bervariasi. Demam adalah gejala yang paling
konstan di antara semua penampakan klinis.
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut
pada umumnya seperti demam, sakit kepala, mual, muntah, nafsu makan menurun,
sakit perut, diare atau sulit buang air beberapa hari, sedangkan pemeriksaan
fisik hanya didapatkan suhu tubuh meningkat dan menetap. Suhu meningkat
terutama sore dan malam hari.
Setelah minggu ke dua maka gejala
menjadi lebih jelas berupa demam yang tinggi terus menerus, bradikardia
relative (peningkatan suhu 1oC tidak diikuti peningkatan denyut nadi
8 kali permenit), nafas berbau tak sedap, kulit kering, rambut kering, bibir
kering pecah-pecah terkupas, lidah ditutupi selaput putih kotor, ujung dan
tepinya kemerahan dan tremor, pembesaran hati dan limpa dan timbul rasa nyeri
bila diraba, perut kembung, disertai gangguan kesadaran dari yang ringan letak
tidur pasif, acuh tak acuh (apati) sampai berat (delier, koma).
Pada demam tifoid, pasien
memiliki ciri lidah yang khas yaitu berselaput(kotor ditengah, tepi dan ujung
merah dan tremor). Lidah berselaput ini akan mengganggu fungsi papila tengah
pada lidah yang andil dalam pengecapan rasa pahit sehingga fungsi papila
tengah lebih dominan terhadap intake cairan dan makanan ke tubuh selanjutnya
lidah akan terasa pahit.
Pasien dapat merasakan nyeri ulu hati. Nyeri ini terjadi karena
pembengkakan hati dan limpa yang dapat menimbulkan rasa sakit di perut yaitu
pada ulu hati. Pembengkakan hati dan limpa terjadi karena kuman telah menyebar
(bakteremia pertama yang asimptomatik) ke organ retikuloendotelial tubuh. Di
dalam hati, kuman masuk di dalam empedu kuman dapat berkembang baik karena
kandung empedu merupakan organ yang sensitif terhadap S. Typhi dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermittent ke
dalam lumen usus. Nyeri pada ulu hati dapat menyerupai gejala sakit lambung
(sakit maag).
Konstipasi pada demam tifoid dapat terjadi karena, di dalam plague
peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia jaringan (S. typhii
intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitifitas tipe lambat, hyperplasia
jaringan dan nekrosis organ). Akibat hyperplasia jaringan di usus menyebabkan
penyempitan lumen usus yang mengganggu pergerakan makanan.
Pasien demam tifoid juga sering
mengeluhkan mual. Mual adalah pengenalan secara sadar terhadap eksitasi bawah
sadar pada daerah medulla yang secara erat berhubungan dengan atau merupakan
bagian dari pusat muntah, dan mual dapat disebabkan impuls iritasi yang dating
dari traktus gastrointestinal.
Pada tahap awal dari iritasi atau
distensi yang berlebihan, antiperistaltik mulai terjadi, sering beberapa menit
sebelum muntah terjadi. Antiperistaltik dapat dimulai sampai sejauh ileum di
traktus intestinal, dan gelombang antiperistalsis bergerak mundur naik ke usus
halus dengan kecepatan 2-3 cm/ detik; proses ini benar2 dapat mendorongsebagian
besar isi usus kembali ke duodenum, lambung dalam waktu 3- 5 menit. Kemudian
pada saat bagian atas traktus gastrointestinal, terutama duodenum, menjadi
sangat meregang, peregangn ini menjadi factor pencetus yang menimbulkan
tindakan muntah sebenarnya.
Distensi berlebihan atau iritasi
traktus gastrointestinal menyebabkan suatu rangsangan khusus yang kuat untuk
muntah. Impuls ditransmisikan, baik oleh saraf aferen vagal maupun oleh saraf
simpatis ke pusat muntah bilateral di medulla, yang terletak dekat traktus
solitaries lebih kurang pada tingkat nucleus motorik dorsalis vagus. Impuls2
motorik yang menyebabkan muntah ditransmisikan dari pusat muntah melalui saraf
kranialis V, VII, IX, X & XII ke traktus gastrointestinal bagian atas &
melalui saraf spinalis bagian atas
Penyebab iritasi:
Di dalam plaque peyeri makrofag
hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia jaringan (S. typhii intra makrofag
menginduksi reaksi hipersensitifitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh
darah sekitar plague peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia
akibat akumulasi sel2 mononuklear di dinding usus.
Demam tifoid yang berat memberikan komplikasi perdarahan, kebocoran usus
(perforasi), infeksi selaput usus (peritonitis) , renjatan, bronkopnemoni
dan kelainan di otak (ensefalopati, meningitis).
Jadi ada tiga komponen
utama dari gejala demam tifoid yaitu:
- Demam yang berkepanjangan (lebih dari 7 hari),
- Gangguan saluran pencernaan
- Gangguan susunan saraf pusat/ kesadaran
Trias (suspek/curiga) demam
tifoid:
1. Demam
step-ladder temperature chart, dengan karakteristik:
- Naik secara bertahap setiap hari
- Mencapai suhu tertinggi pada akhir minggu pertama. Pada minggu kedua demam terus menerus tinggi. Pada minggu keempat demam turun perlahan secara lisis, kecuali jika terjadi fokus infeksi, maka demamakan menetap. Biasanya sore dan atau malam hari.
2. Lidah
tifoid
3. Nyeri spontan/tekan daerah McBurney,
sedangkan sisi kiri normal/kurang nyeri.
Alur diagnosis :
- Anamnesis
- Tanda klinik
- Laboratorium :
- Leukopenia, anesonofilia
- Kultur empedu (+) : darah pada minggu I ( pada minggu II mungkin sudah negatif); tinja minggu II, air kemih minggu III
- Reaksi widal (+) : titer > 1/200. Biasanya baru positif pada minggu II, pada stadium rekonvalescen titer makin meninggi
- Identifikasi antigen : Elisa, PCR. IgM S typphi dengan Tubex TF cukup akurat dengan
- Identifikasi antibodi : Elisa, typhi dot dan typhi dot M
Pada DT dapat terjadi kekurangan darah dari ringan sampai sedang karena efek kuman yang menekan sumsum tulang. Lekosit dapat menurun hingga < 3.000/mm3 dan ini ditemukan pada fase demam.
Pemeriksaan serologik Widal (titer Aglutinin OD) sangat
membantu dalam diagnosis walaupun ± 1/3 penderita memperlihatkan titer yang
tidak bermakna atau tidak meningkat. Uji Widal bermanfaat bila dilakukan
pemeriksaan serial tiap minggu dengan kenaikan titer sebanyak 4 kali.Beberapa
laporan yang ada tiap daerah mempunyai nilai standar Widal tersendiri,
tergantung endemisitas daerah tersebut. Misalnya : Surabaya titer OD >
1/160, Yogyakarta titer OD > 1/160, Manado titer OD > 1/80, Jakarta titer
OD > 1/80, Ujung Pandang titer OD 1/320.
Diagnosis demam tifoid ditegakkan atas dasar riwayat penyakit, gambaran
klinik dan laboratorium (jumlah lekosit menurun dan titer widal yang meningkat)
. Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya kuman pada salah satu biakan.
Diagnosis Banding
- Influenza
- Bronchitis
- Broncho Pneumonia
- Gastroenteritis
- Tuberculosa
- Malaria
- Sepsis
- I.S.K
- Keganasan :
- Leukemia
- Lymphoma
(Darmowandowo, 2006)
Komplikasi
Komplikasi demam tifoid
dapat dibagi dalam:
1. Komplikasi
intestinal
- Perdarahan usus
- Perforasi usus
- Ileus paralitik
2. Komplikasi ekstraintestinal
- Komplikasi kardiovaskular: kegagalan sirkulasi perifer (renjatan, sepsis), miokarditis, trombosis, dan tromboflebitis.
- Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia dan/atau koagulasi intravaskular diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
- Komplikasi paru: pneumonia, empiema, dan pleuritis.
- Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis.
- Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis.
- Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis.
- Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer, sindrom Guillain Barre, psikosis, dan sindrom katatonia.
Pada anak-anak dengan
demam paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi. Komplikasi lebih sering
terjadi pada keadaan toksemia berat dan kelemahan umum, bila perawatan pasien
kurang sempurna.
Penatalaksanaan
Tujuan perawatan dan pengobatan demam tifoid anak adalah meniadakan
invasi kuman dan mempercepat pembasmian kuman, memperpendek perjalanan
penyakit, mencegah terjadinya komplikasi, mencegah relaps dan mempercepat
penyembuhan.
Pengobatan terdiri dari antimikroba yang tepat yaitu : Kloramfenikol. Perawatan
biasanya bersifat simptomatis istrahat dan dietetik. Tirah baring sempurna
terutama pada fase akut. Masukan cairan dan kalori perlu diperhatikan.
Anak baring terus di tempat tidur dan letak baring harus sering
diubah-ubah. Lamanya sampai 5-7 hari bebas demam dan dilanjutkan mobilisasi
bertahap yaitu : hari I duduk 2 x 15 menit, hari II duduk 2 x 30 menit, hari
III jalan, hari IV pulang.
Dahulu dianjurkan semua makanan saring, sekarang semua jenis makanan pada
prinsipnya lunak, mudah dicerna, mengandung cukup cairan , kalori, serat,
tinggi protein dan vitamin, tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas.
Makanan saring / lunak diberikan selama istirahat mutlak kemudian dikembalikan
ke makanan bentuk semula secara bertahap bersamaan dengan mobilisasi. Misalnya
hari I makanan lunak, hari II makanan lunak, hari III makanan biasa, dan
seterusnya.
Sampai saat ini masih
dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu:
1. Pemberian antibiotik;
untuk menghentikan dan memusnahkan penyebaran kuman.
Antibiotik yang dapat digunakan:
a. Kloramfenikol; dosis hari 4 x 250 mg, hari kedua 4 x 500 mg, diberikan selama demam dilanjutkan sampai 2 hari bebas demam, kemudian dosis diturunkan menjadi 4 x 250 mg selama 5 hari kemudian. Penelitian terakhir (Nelwan, dkk. di RSUP Persahabatan), penggunaan kloramfenikol masih memperlihatkan hasil penurunan suhu 4 hari, sama seperti obat-obat terbaru dari jenis kuinolon.
b.
Ampisilin/Amoksisilin; dosis 50-150 mg/kg BB, diberikan selama 2 minggu.
c. Kotrimoksazol; 2 x 2
tablet (1 tablet mengandung 400 mg sulfametoksazol – 80 mg trimetoprim,
diberikan selama dua minggu pula.
d. Sefalosporin
generasi II dan III. Di Subbagian Penyakit Tropik dan Infeksi FKUI RSCM
pemberian sefalosporin berhasil mengatasi demam tifoid dengan baik. Demam pada
umumnya mereda pada hari ke-3 atau menjelang hari ke-4. Regimen yang dipakai
adalah:
- Seftriakson 4 g/hari selama 3 hari.
- Norfloksasin 2 x 400 mg/hari selama 14 hari.
- Siprofloksasin 2 x 500 mg/hari selama 6 hari.
- Ofloksasin 600 mg/hari selama 7 hari.
- Pefloksasin 400 mg/hari selama 7 hari.
- Fleroksasin 400 mg/hari selama 7 hari.
2. Istirahat dan
perawatan profesional; bertujuan mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan.
Pasien harus tirah baring absolut sampai 7 hari bebas demam atau kurang lebih
selama 14 hari. Mobilisasi dilakukan bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan
pasien. Dalam perawatan perlu sekali dijaga higiene perseorangan, kebersihan,
tempat tidur, pakaian, dan peralatan yang dipakai oleh pasien. Pasien dengan
kesadaran menurun, posisinya perlu diubah-ubah untuk mencegah dekubitus dan pneumonia
hipostatik. Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan, karena
kadang-kadang terjadi obstipasi dan retensi urin.
3. Diet dan terapi
penunjang (simtomatis dan suportif)
Pertama pasien diberi
diet bubur saring, kemudian bubur kasar, dan akhimya nasi sesuai tingkat
kesembuhan pasien. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian
makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang
sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman. Juga diperlukan
pemberian vitamin dan mineral yang cukup untuk mendukung keadaan umum pasien.
Diharapkan dengan menjaga keseimbangan dan homeostasis, sistem imun akan tetap
berfungsi dengan optimal.
Pada kasus perforasi intestinal dan renjatan
septik diperlukan perawatan intensif dengan nutrisi parenteral total. Spektrum
antibiotik maupun kombinasi beberapa obat yang bekerja secara sinergis dapat
dipertimbangkan. Kortikosteroid selalu perlu diberikan pada renjatan septik.
Prognosis tidak begitu baik pada kedua keadaan di atas.
Pengobatan Demam Tifoid
pada Wanita Hamil
Tidak semua antibiotik
dapat digunakan untuk pengobatan tifoid pada wanita hamil. Kloramfenikol tidak
boleh diberikan pada trimester ketiga, kehamilan, karena dapat menyebabkan
partus prematur, kematian fetus intrauterin, dan sindrom Gray pada neonatus.
Demikian pula dengan tiamfenikol yang mempunyai efek teratogenik terhadap fetus.
Namun pada kehamilan lebih lanjut, tiamfenikol dapat diberikan. Selain itu,
kotrimoksazol dan fluorokuinolon juga tidak boleh diberikan.
Antibiotik yang aman
bagi kehamilan adalah golongan penisilin (ampisilin, amoksisilin), dan
sefalosporin generasi ketiga, kecuali pasien yang hipersensitif terhadap obat
tersebut.
Prognosis
Prognosis demam tifoid
tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan tubuh, jumlah dan
virulensi Salmonela, serta cepat dan tepatnya pengobatan. Angka kematian pada
anak-anak 2,6%, dan pada orang dewasa 7,4%, rata-rata 5,7%.
Pencegahan
Langkah pencegahan adalah seperti berikut:
Kesimpulan
- Penyediaan air minum yang memenuhi syarat
- Pembuangan kotoran manusia yang pada tempatnya
- Pemberantasan lalat
- Pengawasan terhadap rumah-rumah makan dan penjual-penjual makanan.
- Imunisasi
- Menemukan dan mengawasi pengidap kuman (carrier)
- Pendidikan kesehatan kepada masyarakat.
Kesimpulan
Demam tifoid adalah suatu infeksi akut pada usus kecil yang disebabkan
oleh kuman Salmonella typhi. Di Indonesia penderita demam tifoid cukup
banyak diperkirakan 800 /100.000 penduduk per tahun, tersebar di mana-mana, dan
ditemukan hampir sepanjang tahun. Demam tifoid dapat ditemukan pada semua umur,
tetapi yang paling sering pada anak besar,umur 5- 9 tahun. Dengan keadaan
seperti ini, adalah penting untuk melakukan pengenalan dini Demam Tifoid, yaitu
adanya 3 komponen utama: Demam yang berkepanjangan (lebih dari 7 hari),Gangguan
saluran pencernaan, dan Gangguan susunan saraf pusat/ kesadaran.
DAFTAR PUSTAKA/REFERENSI
- Coovadia HM, Loening WEK. Typhoid. Bactrial
infections. In: Coovadia HM, Loening WEK, eds. Pediatric and child health.
Oxford University Press, 1984;147-51.
- Daud D. Penanganan penyakit tipes pada anak. Simposium penyakit tipus di Ujung Pandang, 1988; 1-5.
- Feigin RD. Typhoid fever (enteric fever). In:
BehrmanRE, Kliegman RM, Nelson WE, Vaughan VC III, eds. Nelson textbook of
pediatrics; 14th ed. Philadelphia: Saunders,1990; 7311-34.
- HornickRB. Salmonella infections. In: Feigin
RD,Cherry JD, eds. Textbook of pediatric infectious diseases; 2nd
ed. Philadelphia: Saunders, 1987; 673-81.
- Lamadjido A, Daud D. Protokol penatalaksanaan
demam tifoid pada anak. BIKA FK UNHAS, 1989.
- Lauer BA, Glode MP, Ogle JW. Typhoid fever and
paratyphoid fever. In: Current pediatric diagnosis and treatment; 10th
ed. California: Appleton & Lange, 1991; 869-71.
- Simanjuntak CH. Masalah demam tifoid di
Indonesia. Cermin dunia kedokteran, 1990;60: 31-4.
- Soemarsono, Widodo D. Patogenesis,
patofisiologi dan gambaran klinik demam tifoid. Simposium demam tifoid FK
UI. Jakarta,1980; 11-24.
- Sumarmo, Nathin MA, Ismael S, TumbelakaWAFJ.
Masalah demam tifoid pada anak. Simposium demam tifoid FK UI. Jakarta,
1980; 113-19.
Kata Kunci Pencarian : Demam Tifoid, tifus, tifes, Paratifoid, Artikel, Jurnal, Makalah, Referat, Karya Tulis Ilmiah, Desertasi, Skripsi, Tesis, Infeksi Tropik, Ilmu Penyakit Dalam, SKP (Satuan Kredit Profesi), Kompetensi, pdf, word, .pdf, .doc, .docx, Mikrobiologi, Patologi Klinik, Disertasi, Refrat, modul BBDM, Belajar Bertolak Dari Masalah, Problem Based Learning, askep (asuhan keperawatan)
0 comments:
Posting Komentar