Definisi
Demam
reumatik adalah suatu sindroma penyakit sistemik yang dapat bersifat akut,
subakut, kronik, atau fulminan, dan umumnya terjadi setelah infeksi Streptococcus beta
hemolyticus group A biasanya bermula pada saluran pernafasan bagian atas (tonsilitis, faringitis,
atau otitis media) dengan satu atau lebih gejala
mayor yaitu poliartritis migrans akut, karditis, chorea, nodul subkutan dan
eritema marginatum.
Penyakit Jantung reumatik (PJR)
adalah penyakit jantung sebagai akibat adanya gejala sisa (sekuele) dari demam reumatik,
yang berakibat dengan terjadinya kelainan katup jantung dan kelainan jantung lainnya akibat
serangan karditis reumatik akut yang berulang kali.
Seseorang yang mengalami demam reumatik apabila tidak ditangani secara adekuat, Maka sangat mungkin sekali mengalami serangan penyakit jantung reumatik. Infeksi oleh kuman Streptococcus Beta Hemolyticus group A yang menyebabkan seseorang mengalami demam reumatik dimana diawali terjadinya peradangan pada saluran tenggorokan, dikarenakan penatalaksanaan dan pengobatannya yang kurang terarah menyebabkan racun / toxin dari kuman ini menyebar melalui sirkulasi darah dan mengakibatkan peradangan katup jantung. Akibatnya daun-daun katup mengalami perlengketan sehingga menyempit, atau menebal (stenosis) dan mengkerut sehingga kalau menutup tidak sempurna lagi dan terjadi kebocoran (regurgitasi).
Penyakit jantung reumatik adalah
sebuah kondisi dimana terjadi kerusakan permanen dari katup-katup jantung yang
disebabkan oleh demam reumatik (DR). Penyakit jantung reumatik (PJR) merupakan komplikasi yang membahayakan dari demam reumatik. Katup-katup jantung
tersebut rusak karena proses perjalanan penyakit yang dimulai dengan infeksi
tenggorokan yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus β hemoliticus
tipe A (contoh: Streptococcus pyogenes), yang bisa menyebabkan demam
reumatik. Kurang lebih 39 % pasien dengan demam reumatik akut bisa terjadi
kelainan pada jantung mulai dari insufisiensi katup, gagal jantung, perikarditis
bahkan kematian. Dengan penyakit jantung reumatik yang kronik, pada pasien bisa
terjadi stenosis katup dengan derajat regurgitasi yang berbeda-beda, dilatasi
atrium, aritmia dan disfungsi ventrikel. Penyakit jantung reumatik masih
menjadi penyebab stenosis katup mitral dan penggantian katup pada orang dewasa
di Amerika Serikat.
Demam reumatik merupakan penyakit vaskular kolagen multisistem yang terjadi
setelah infeksi streptococcus grup A pada individu yang mempunyai predisposisi
genetik pada penyakit ini. Keterlibatan kardiovaskular pada penyakit ini ditandai
oleh inflamasi endokardium dan miokardium melalui proses autimun yang
menyebabkan kerusakan jaringan.
Demam reumatik dapat
menyerang banyak jaringan konektif tubuh, terutama jantung, sendi, sistem saraf pusat, kulit dan jaringan subkutan. Semua orang dapat terserang
demam reumatik, tapi biasanya terjadi pada anak kecil 5-16 tahun. Penyakit ini jarang tetapi merupakan penyakit yang dapat mengancam
kehidupan.
Gambaran mikroskopis jantung dengan pewarnaan hematoxylin eosin pada penderita penyakit jantung reumatik. Aschoff bodies ditunjukkan oleh panah (dikutip dari wikipedia.org) |
Beberapa temuan tulisan sejak awal abad ke 17
telah melaporkan mengenai gejala penyakit tersebut. Seorang epidemiologis dari Perancis de Baillou adalah yang pertama menjelaskan
rheumatism artikuler akut dan membedakannya dari gout. Kemudian Sydenham yag berasal dari London
menjelaskan chorea (korea), tetapi keduanya tidak menghubungkan kedua gejala tersebut
dengan penyakit jantung. Pada tahun 1761
Morgagni, seorang patolog dari Italia menjelaskan mengenai adanya
kelainan katup pada penderita penyakit tersebut dan deskripsi klinis penyakit
jantung reumatik dijelaskan setelah
didapatinya stetoskop pada tahun 1819 oleh Laennec. Pada tahun 1886 dan 1889
Walter Butletcheadle mengemukakan “rheumatic fever syndrome” yang merupakan
kombinasi artritis akut, penyakit jantung, chorea dan belakangan termasuk
manifestasi yang jarang ditemui yaitu eritema marginatum dan nodul subkutan
sebagai komponen sindroma tersebut. Pada tahun 1931, Coburn mengusulkan
hubungan infeksi Streptokokus grup A
dengan demam reumatik dan secara perlahan- lahan diterima oleh Jones dan peneliti
lainnya. Baru pada tahun 1944 T Duckett Jones mengemukakan suatu kriteria untuk menegakkan diagnosis demam reumatik. Kriteria ini masih digunakan
sampai saat ini untuk menegakkan diagnosis dan telah beberapa mengalami
modifikasi dan revisi, karena dirasakan masih mempunyai kelemahan untuk
menegakkan diagnosis secara akurat, tepat dan cepat.
Epidemiologi
Demam reumatik adalah penyakit yang
umum dikenal di seluruh dunia dan bertanggungjawab akan berbagai kasus
kerusakan katup jantung. Pada tahun 2010 secara global demam reumatik
mengakibatkan 345000 kematian, turun dari 463000 kematian pada tahun 1990.
Pada negara-negara maju, penyakit
ini menjadi cukup jarang terjadi sejak tahun 1960an, hal ini diduga
dimungkinkan karena meluasnya penggunaan antibiotik untuk menangani infeksi
streptococcus. Walaupun penyakit ini kurang umum terjadi di Amerika Serikat
sejak awal abad ke-20, telah terjadi beberapa kejadian perjangkitan sejak tahun
1980an. Walaupun kejadian penyakit ini menurun, namun tetap serius dan memiliki
case fatality rate 2-5%.
Demam reumatik utamanya menyerang
anak-anak berumur 5-16 tahun dan terjadi sekitar 20 hari setelah infeksi pada
tenggorokan. Pada sepertiga kasus, infeksi streptococcus yang melatarbelakangi
dapat tidak menunjukkan gejala apapun.
Angka (rate) perkembangan demam reumatik
pada individu yang mengalami infeksi streptococcus tanpa perawatan diestimasi
sekitar 3%. Angka kekambuhan pada
infeksi yang tidak dirawat adalah cukup tinggi (sekitar 50%). Angka
perkembangan penyakit pada individu yang telah menerima perawatan jauh lebih
rendah.
Pada tahun 1944 diperkirakan di seluruh dunia terdapat 12 juta penderita demam reumatik dan PJR dan sekitar
3 juta mengalami gagal jantung dan memerlukan rawat inap berulang di rumah sakit. Prevalensinya
dinegara sedang berkembang berkisar antara 7,9 sampai 12,6 per 1000 anak
sekolah dan relatif stabil. Data terakhir mengenai prevalensi demam reumatik di
Indonesia untuk tahun 1981 – 1990
didapati 0,3 - 0,8 diantara 1000 anak sekolah dan jauh lebih rendah dibanding negara
berkembang lainnya 5,13. Statistik rumah
sakit di negara sedang berkembang menunjukkan sekitar 10 – 35 persen dari
penderita penyakit jantung yang masuk kerumah sakit adalah penderita demam reumatik dan PJR. Data yang berasal dari negara berkembang memperlihatkan mortalitas
karena demam
reumatik dan PJR masih merupakan
problem dan kematian karena demam reumatik akut terdapat pada anak dan dewasa muda.
Di negara maju insiden demam reumatik dan prevalensi PJR sudah jauh berkurang dan bahkan sudah tidak dijumpai
lagi, tetapi akhir-akhir ini dilaporkan memperlihatkan peningkatan dibeberapa
negara maju. Dilaporkan dibeberapa tempat di Amerika Serikat pada pertengahan
dan akhir tahun 1980an telah terjadi peningkatan insidens demam
reumatik, demikian juga pada populasi
aborigin di Australia dan New Zealand dilaporkan peningkatan penyakit ini.
Tidak semua penderita infeksi saluran nafas yang disebabkan infeksi
Streptokokus beta hemolitik grup A menderita demam
reumatik. Sekitar 3 persen dari
penderita infeksi saluran nafas atas terhadap Streptokokus beta hemolitik grup A di barak militer pada masa epidemi yang menderita demam
reumatik dan hanya 0,4 persen didapati
pada anak yang tidak diobati setelah epidemi infeksi Streptokokus beta hemolitik grup A pada populasi masyarakat sipil.
Dalam laporan WHO Expert consultation Geneva, 29 October – 1 November
2001 yang diterbitkan pada tahun 2004
angka mortalitas untuk
PJR 0,5 per 100.000 penduduk di negara maju hingga 8,2 per 100.000 penduduk
dinegara berkembang dan di daerah Asia Tenggara
diperkirakan 7,6 per 100.000. Diperkirakan sekitar 2000 – 332.000 yang meninggal diseluruh dunia
karena penyakit tersebut.
Angka disabilitas pertahun (The
disability-adjusted life years (DALYs)1 lost) akibat penyakit
jantung reumatik diperkirakan sekitar 27,4 per
100.000 dinegara maju hingga 173,4 per 100.000 dinegara berkembang yang secara
ekonomis sangat merugikan.
Laporan
Prevalensi Penyakit Jantung Reumatik pada Anak Sekolah :
Data insidensi demam reumatik yang dapat dipercaya sangat sulit didapat. Pada beberapa negara data yang diperoleh hanya berupa data lokal yang terdapat pada anak sekolah. Insidens per tahunnya cenderung menurun
dinegara maju, tetapi dinegara berkembang tercatat berkisar antara 1 di Amerika
Tengah – 150 per 100.000 di Cina.
WHO Region (negara, kota)
|
Tahun
|
Rate (per 1000 populasi)
|
Afrika
|
||
Kenya (Nairobi)
|
1994
|
2.7
|
Zambia (Lusaka)
|
1986
|
12.5
|
Ethiopia (Addis Ababa)
|
1999
|
6.4
|
Conakry (Republic of Guinea)
|
1992
|
3.9
|
Congo (Kinshasa)
|
1998
|
14.3
|
Amerika
|
||
Cuba (Havana, Santiago, P. del Rio)
|
1987
|
0.2–2.9
|
Bolivia (La Paz)
|
1986–1990
|
7.9
|
Mediterrania Timur
|
||
Morocco
|
1989
|
3.3–10.5
|
Egypt (Cairo)
|
1986–1990
|
5.1
|
Sudan (Khartoum)
|
1986–1990
|
10.2
|
Saudi Arabia
|
1990
|
2.8
|
Tunisia
|
1990
|
3.0–6.0
|
Asia Tenggara
|
||
Northern India
|
1992–1993
|
1.9–4.8
|
India
|
1984–1995
|
1.0–5.4
|
Nepal (Kathmandu)
|
1997
|
1.2
|
Sri Lanka
|
1998
|
6
|
Pasiifik Barat
|
||
Cook Islands
|
1982
|
18.6
|
French Polynesia
|
1985
|
8.0
|
New Zealand (Hamilton)
|
1983
|
6.5 (Maoris) - 0.9 (non-
|
Maoris)
|
||
Samoa
|
1999
|
77.8
|
Australia (Northern Territory)
|
1989-1993
|
9.6
|
Etiologi
Seperti halnya dengan penyakit lain demam reumatik merupakan akibat interaksi antara individu dengan penyebab penyakit dan faktor lingkungan. Penyakit ini berhubungan erat
dengan infeksi saluran nafas bagian atas oleh Beta Streptococcus Hemolyticus
Grup A berbeda dengan glomerulonefritis yang berhubungan dengan infeksi
streptococcus dikulit maupun disaluran nafas, demam reumatik agaknya tidak
berhubungan dengan infeksi streptococcus dikulit.
Telah lama diketahui demam reumatik mempunyai hubungan dengan infeksi kuman Streptokokus beta hemolitik grup A pada saluran nafas atas dan infeksi kuman ini pada kulit
mempunyai hubungan untuk terjadinya glomerulonefritis akut. Kuman Streptokokus beta hemolitik dapat dibagi atas sejumlah
grup serologinya yang didasarkan atas antigen polisakarida yang terdapat
pada dinding sel bakteri tersebut. Tercatat saat ini lebih dari 130 serotipe M
yang bertanggung jawab pada infeksi pada manusia, tetapi hanya grup A yang
mempunyai hubungan dengan etiopatogenesis demam reumatik dan PJR. Hubungan kuman Streptokokus beta hemolitik grup A sebagai penyebab demam reumatik terjadi secara tidak langsung, karena organisme penyebab tidak dapat
diperoleh dari lesi, tetapi banyak penelitian klinis, imunologis dan
epidemiologis yang membuktikan bahwa penyakit ini mempunyai hubungan dengan
infeksi Streptokokus beta hemolitik
grup A, terutama serotipe M1,3,5,6,14,18,19 dan 24. Sekurang-kurangnya
sepertiga penderita menyangkal adanya
riwayat infeksi saluran nafas karena infeksi streptococcus sebelumnya dan pada
kultur apus tenggorokan terhadap Streptokokus beta hemolitik grup A sering negatif pada saat serangan demam
reumatik. Tetapi respons antibodi
terhadap produk ekstraseluler streptokokus dapat ditunjukkan pada hampir semua
kasus demam
reumatik dan serangan akut demam
reumatik sangat berhubungan dengan
besarnya respons antibody. Diperkirakan banyak anak yang mengalami episode
faringits setiap tahunnya dan 15-20 persen disebabkan oleh Streptokokus grup A
dan 80 persen lainnya disebabkan infeksi virus.
Insidens infeksi Streptokokus beta hemolitik grup A pada tenggorokan bervariasi diantara berbagai negara dan
di daerah didalam satu negara. Insidens tertinggi didapati pada anak usia 5 -15
tahun. Beberapa faktor predisposisi
lain yang berperan
pada penyakit ini
adalah keadaan sosio ekonomi yang rendah, penduduk yang padat, golongan etnik tertentu, faktor
genetik, golongan HLA tertentu, daerah iklim sedang, daerah tropis bercuaca
lembab dan perubahan suhu yang mendadak
Faktor-faktor predisposisi yang berpengaruh pada timbulnya demam reumatik
dan penyakit jantung reumatik terdapat pada individunya sendiri serta pada
keadaan lingkungan.
Faktor-faktor pada individu :
Faktor-faktor pada individu :
1. Faktor genetik
Adanya antigen limfosit manusia ( HLA ) yang tinggi. HLA terhadap demam reumatik
menunjukkan hubungan dengan aloantigen sel B spesifik dikenal dengan antibodi
monoklonal dengan status reumatikus
2. Jenis kelamin
Demam reumatik sering didapatkan pada anak wanita dibandingkan dengan anak
laki-laki. Tetapi data yang lebih besar menunjukkan tidak ada perbedaan jenis
kelamin, meskipun manifestasi tertentu mungkin lebih sering ditemukan pada satu
jenis kelamin.
3. Golongan etnik dan ras
Data di Amerika Utara menunjukkan bahwa serangan pertama maupun ulang demam
reumatik lebih sering didapatkan pada orang kulit hitam dibanding dengan orang
kulit putih. Tetapi data ini harus dinilai hati-hati, sebab mungkin berbagai
faktor lingkungan yang berbeda pada kedua golongan tersebut ikut berperan atau
bahkan merupakan sebab yang sebenarnya.
4. Umur
Umur agaknya merupakan faktor predisposisi terpenting pada timbulnya demam reumatik
/ penyakit jantung reumatik. Penyakit ini paling sering mengenai anak umur
antara 5-15 tahun dengan puncak sekitar umur 8 tahun. Tidak biasa ditemukan
pada anak antara umur 3-5 tahun dan sangat jarang sebelum anak berumur 3 tahun
atau setelah 20 tahun. Distribusi umur ini dikatakan sesuai dengan insidens
infeksi streptococcus pada anak usia sekolah. Tetapi Markowitz menemukan bahwa
penderita infeksi streptococcus adalah mereka yang berumur 2-6 tahun.
5. Keadaan gizi dan lain-lain
Keadaan gizi serta adanya penyakit-penyakit lain belum dapat ditentukan
apakah merupakan faktor predisposisi untuk timbulnya demam reumatik.
6. Reaksi autoimun
Dari penelitian ditemukan adanya kesamaan antara polisakarida bagian
dinding sel streptokokus beta hemolitikus group A dengan glikoprotein dalam
katub mungkin ini mendukung terjadinya miokarditis dan valvulitis pada reumatik
fever
Faktor-faktor lingkungan :
Faktor-faktor lingkungan :
1. Keadaan sosial ekonomi yang buruk
Mungkin ini merupakan faktor lingkungan yang terpenting sebagai
predisposisi untuk terjadinya demam reumatik. Insidens demam reumatik di
negara-negara yang sudah maju, jelas menurun sebelum era antibiotik termasuk
dalam keadaan sosial ekonomi yang buruk sanitasi lingkungan yang buruk,
rumah-rumah dengan penghuni padat, rendahnya pendidikan sehingga pengertian
untuk segera mengobati anak yang menderita sakit sangat kurang; pendapatan yang
rendah sehingga biaya untuk perawatan kesehatan kurang dan lain-lain. Semua hal
ini merupakan faktor-faktor yang memudahkan timbulnya demam reumatik.
2. Iklim dan geografi
Demam reumatik merupakan penyakit kosmopolit. Penyakit terbanyak didapatkan
didaerah yang beriklim sedang, tetapi data akhir-akhir ini menunjukkan bahwa daerah
tropis pun mempunyai insidens yang tinggi, lebih tinggi dari yang diduga
semula. Didaerah yang letaknya agak tinggi agaknya insidens demam reumatik
lebih tinggi daripada didataran rendah.
3. Cuaca
Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insidens infeksi saluran
nafas bagian atas meningkat, sehingga insidens demam reumatik juga meningkat.
Patofisiologi
Hubungan antara infeksi infeksi Streptococcus beta hemolitik grup A dengan terjadinya demam reumatik telah lama diketahui. Demam reumatik merupakan respons auto immune
terhadap infeksi Streptococcus beta hemolitik grup A pada tenggorokan. Respons manifestasi klinis dan derajat
penyakit yang timbul ditentukan oleh kepekaaan genetik host, keganasan organisme dan lingkungan yang kondusif. Mekanisme
patogenesis yang pasti sampai saat ini tidak diketahui, tetapi peran antigen
histokompatibility mayor, antigen jaringan spesifik potensial dan antibody yang
berkembang segera setelah infeksi streptococcus telah diteliti sebagai faktor
resiko yang potensial dalam patogenesis penyakit ini. Terbukti sel limfosit T
memegang peranan dalam patogenesis penyakit ini dan ternyata tipe M dari
Streptokkokus grup A mempunyai potensi rheumatogenik. Beberapa serotype
biasanya mempunyai kapsul, berbentuk besar, koloni mukoid yang kaya dengan M-
protein. M-protein adalah salah satu determinan virulensi bakteri, strukturnya
homolog dengan myosin kardiak dan molecul alpha-helical coiled coil, seperti tropomyosin, keratin
dan laminin. Laminin adalah matriks protein ekstraseluler yang disekresikan
oleh sel endothelial katup jantung dan bagian integral dari struktur katup
jantung. Lebih dari 130 M protein sudah teridentifikasi dan tipe 1, 3, 5, 6,
14, 18, 19 dan 24 berhubungan dengan terjadinya demam reumatik.
Superantigen streptokokal adalah glikoprotein unik yang disintesis oleh bakteri dan virus yang dapat berikatan dengan major histocompatibility complex molecules dengan nonpolymorphic V b-chains dari T-cell
receptors. Pada kasus streptokokus banyak penelitian yang difokuskan pada
peranan superantigen-like activity dari
fragmen M protein dan juga streptococcal
pyrogenic exotoxin, dalam patogenesis demam reumatik.
Terdapat bukti kuat bahwa respons autoimmune terhadap antigen streptococcus
memegang peranan dalam terjadinya demam rumatik dan penyakit jantung reumatik pada orang
yang rentan. Sekitar 0,3 – 3 persen individu yang rentan terhadap infeksi
faringitis streptococcus berlanjut menjadi demam reumatik. Data terakhir menunjukkan bahwa gen yang mengontrol low level respons antigen streptococcus berhubungan dengan Class II
human leukocyte antigen, HLA (human
leukocyte antigen).
Infeksi streptococcus dimulai dengan ikatan permukaan bakteri dengan
reseptor spesifik sel host dan melibatkan proses spesifik seperti pelekatan,
kolonisasi dan invasi. Ikatan permukaan bakteri dengan permukaan reseptor host adalah kejadian yang penting
dalam kolonisasi dan dimulai oleh fibronektin dan oleh streptococcal
fibronectin-binding proteins.
Faktor lingkungan seperti kondisi kehidupan yang jelek, kondisi tinggal
yang berdesakan dan akses kesehatan yang kurang merupakan determinan yang
signifikan dalam distribusi penyakit ini. Variasi cuaca juga mempunyai
peran yang besar dalam terjadinya infeksi streptococcus untuk terjadi demam ruematik.
Pada gambar di bawah ini dapat dilihat skema patogenesis demam
reumatik dan penyakit
jantung reumatik
Demam reumatik ditandai oleh radang eksudatif dan proliferatif pada jaringan ikat,
terutama mengenai jantung, sendi dan jaringan subkutan. Bila terjadi karditis
seluruh lapisan jantung akan dikenai. Perikarditis paling sering terjadi dan
perikarditis fibrinosa kadang-kadang didapati. Peradangan perikard biasanya
menyembuh setelah beberapa saat tanpa sekuele klinis yang bermakna, dan jarang
terjadi tamponade. Pada keadaan fatal, keterlibatan miokard
menyebabkan pembesaran semua
ruang jantung.
Pada miokardium mula-mula didapati fragmentasi serabut kolagen, infiltrasi
limfosit, dan degenerasi fibrinoid dan diikuti didapatinya nodul aschoff di
miokard yang merupakan patognomonik demam reumatik. Nodul aschoff terdiri dari area nekrosis sentral yang dikelilingi
limfosit, sel plasma, sel mononukleus yang besar dan sel giant multinukleus.
Beberapa sel mempunyai inti yang memanjang dengan area yang jernih dalam
membran inti yang disebut Anitschkow
myocytes. Nodul Aschoff bisa didapati pada spesimen biopsi endomiokard
penderita demam reumatik. Keterlibatan endokard
menyebabkan valvulitis reumatik kronis. Fibrin kecil, vegetasi verrukous,
berdiameter 1-2 mm bisa dilihat pada permukaan atrium pada tempat koaptasi
katup dan korda tendinea. Meskipun vegetasi tidak didapati, bisa didapati
peradangan dan edema dari daun katup. Penebalan dan fibrotik pada dinding
posterior atrium kiri bisa didapati dan dipercaya akibat efek jet regurgitasi
mitral yang mengenai dinding atrium
kiri. Proses penyembuhan valvulitis memulai pembentukan granulasi dan fibrosis
daun katup dan fusi korda tendinea yang mengakibatkan stenosis atau
insuffisiensi katup. Katup mitral paling sering dikenai diikuti katup aorta.
Katup trikuspid dan pulmonal biasanya jarang dikenai.
Demam reumatik adalah penyakit sistemik
yang mengenai jaringan ikat peri-arteriolar dan terjadi setelah adanya infeksi
faringeal streptococcal yang tidak diobati. Hal ini dipercaya disebabkan oleh
lintas reaktivitas antibodi. Lintas reaktivitas ini adalah suatu reaksi
hipersensivitas tipe II dan dikenal dengan istilah molecular mimicry (meniru di tingkat molekuler).
Biasanya, B-cell yang reaktif tetap anergik di peredaran darah tepi walaupun
tanpa stimulasi T-cell. Selama infeksi Streptococcus, B-cell mempresentasikan
antigen bakterial kepada sel CD4+T yang
kemudian sel ini akan berubah menjadi helper T2 cells. Helper T2
cells selanjutnya mengaktivasi B-cell menjadi sel plasma dan memicu produksi
antibodi yang akan menyerang terhadap dinding sel Streptococcus. Meskipun
demikian, antibodi tersebut juga dapat bereaksi terhadap miokardium dan sendi,
sehingga akan menimbulan gejala demam reumatik.
Streptococcus pyogenes grup A
memiliki dinding sel yang terdiri dari polimer bercabang yang mengandung
protein M yang bersifat sangat antigenik. Antibodi yang mana dihasilkan oleh
sistem imun terhadap protein M tersebut, dapat terjadi lintas reaksi dengan
protein myofiber yaitu miosin, glikogen otot jantung dan sel otot polos dari
arteri, yang dapat mengakibatkan pelepasan sitokin (cytokine) dan penghancuran
jaringan. Namun demikian, reaksi lintas yang sudah dibuktikan terjadi adalah
dengan jangan ikat perivaskuler (perivascular connective tissue). Inflamasi
ini terjadi langsung melalui penempelan komplemen dengan rekrutmen neutrofil
dan makrofag yang dimediasi Fc receptor. Ciri khas aschoff bodies, yang terdiri dari kolagen eosinofilik yang
membengkak yang dikelilingi oleh limfosit dan makrofag dapat terlihat pada
mikroskop cahaya. Makrofag yang lebih besar dapat berubah menjadi Anitschkow cells atau Aschoff giant cells. Lesi reumatik katup
akut dapat juga melibatkan reaksi imunitas yang dimediasi sel karena lesi ini
banyak mengandung T-helper cells dan makrofag.
Pada demam reumatik akut, lesi ini
dapat ditemukan pada lapisan manapun dari jantung sehingga dinamakan
pancarditis. Inflamasi ini dapat menyebabkan eksudat serofibrinous perikardial
yang merupakan ciri khas perikarditis, yang biasanya hilang tanpa sekuele. Keterlibatan endokardium biasanya
menghasilkan nekrosis fibrinoid dan pembentukan verrucae sepanjang garis
penutupan dan katup jantung sisi kiri. Proyeksi menyerupai kutil timbul dari
deposisi, sementara lesi subendokardial dapt memunculkan penebalan tidak normal
yang dinamakan plak MacCallum (MacCallum
plaques). Hubungan keterlibatan akut dari jantung pada demam reumatik bermanifestasi
pada pericarditis, dengan inflamasi pada miokardium, perikardium, dan
endokardium. Karditis (inflamasi endokardium) terjadi pada 40-50% pasien pada
serangan pertama; namun demikian, tingkat keparahan karditis ini masih
dipertanyakan. Perikarditis terjadi 5-10% pasien dengan demam reumatik,
miokarditis yang terjadi tersendiri jarang terjadi
Penyakit
jantung reumatik kronik dikarakteristikan oleh inflamasi berulang dengan
perbaikan fibrinous. Perubahan anatomis yang mendasar dari katup mencakup
penebalan leaflet (daun), fusi komisura, dan pemendekan dan penebalan chorda
tendineae. Perubahan ini disebabkan oleh reaksi autoimun terhadap Streptococci
beta hemolitikus grup A yang berakibat kerusakan katup. Fibrosis dan scarring dari daun katup, komisura
maupun katup itu sendiri dapat menimbulkan kelainan katup seperti stenosis atau
regurgitasi. Inflamasi yang disebabkan demam reumatik, yang biasanya terjadi
pada masa kanak-kanak, dikenal sebagai rheumatic
valvulitis. Sekitar separuh pasien dengan demam reumatik akut penyakitnya
berlanjut dengan inflamasi yang melibatkan endotelium valvular. Mayoritas morbiditas
dan mortalitas yang berhubungan dengan demam reumatik disebabkan efek merusak
yang terjadi pada jaringan ikat kardiak. Patogenesis penyakit jantung reumatik
kompleks dan belum sepenuhnya dipahami, tapi diketahui melibatkan molecular mimicry dan predisposisi
genetis yang mengakibatkan reaksi autoimun.
Molecular
mimicry terjadi saat epitop digunakan bersama antara antigen host dengan
antigen Streptococcus. Hal ini mengakibatkan reaksi autoimun terhadap jaringan
asli pada jantung yang secara tidak tepat dikenali sebagai “asing” dikarenakan
lintas reaktivitas (cross-reactivity)
antibodi yang dihasilkan dari penggunaan bersama epitop. Endothelium katup merupakan
lokasi khas tersering dari kerusakan yang ditimbulkan limfosit. Protein Streptococcal melakukan molecular
mimicry yang kemudian akan dikenali oleh sistem imun, terutama oleh
protein-M bakterial dan antigen kardiak manusia seperti miosin dan endothelium
katup jantung. Antibodi antimiosin mengenali laminin, suatu protein matrix alpha-helix coiled ekstraseluler,
yag merupakan bagian struktur dasar membran katup jantung. CD4+ T cells adalah
efektor utama dari reaksi autoimun jaringan jantung pada penyakit jantung
reumatik. Pada keadaan normal, aktivasi T
cell dipicu oleh presentasi antigen streptococcus. Pada penyakit ini, molecular mimicry mengakibatkan aktivasi
T cell yang tidak tepat, dan T limfosit ini mengaktivasi B cell, yang akan
memproduksi antibodi self-antigen-specific.
Hal ini mengakibatkan serangan respon imun terhadap jaringan di jantung yang
diidentifikasikan secara salah sebagai patogen. Pada keadaan ini, katup
reumatik menunjukkan peningkatan kadar VCAM-1
(vascular cell adhesion molecule 1), sebuah
protein yang memediasi penempelan limfosit. Antibodi self-antigen-specific yang dihasilkan melalui molecular mimicry antara protein manusia dengan antigen
Streptococcus beta hemolitikus grup A meningkatkan jumlah VCAM-1 setelah
mengikat endothelium katup. Hal ini berakibat terjadinya inflamasi dan scarring (pembentukan bekas luka) yang
utamanya karena infiltrasi CD4+ T cell.
Sementara mekanisme peran
predisposisi genetis masih belum sepenuhnya jelas, beberapa faktor genetik
ditemukan dapat meningkatkan kerentanan terhadap terjadinya reaksi autoimun
pada penyakit janutng reumatik. Kontributor utama adalah komponen dari molekul
MHC (major histocompatibility complex) klas II, yang ditemukan pada limfosit
dan sel yang mempresentasikan antigen, terutama alel DR dan DQ pada kromosom 6
manusia. Kombinasi alel tertentu tampaknya meningkatkan kerentanan terjadinya
autoimun pada penyakit ini. Human leukocyte antigen (HLA) klas II alel DR7 (HLA-DR7)
sering diasosiasikan dengan penyakit jantung reumatik, dan kombinasinya dengan
alel DQ tertentu tampaknya berhubungan dengan perkembangan lesi valvular
(kutup). Mekanisme bagaimana molekul MHC klas II meningkatkan kerentanan inang
(host) terhadap terjadinya reaksi autoimun penyakit jantung reumatik masih
belum diketahui, tapi sepertinya berhubungan dengan peran molekul HLA dalam
mempresentasikan antigen kepada reseptor T cell, sehingga memicu respon imun.
Juga ditemukan pada kromosom 6 manusia adalah sitokin TNF-α yang juga
diasosiasikan dengan penyakit jantung reumatik. Kadar TNF-α yang tinggi dapat
mengeksaserbasi inflamasi jaringan valvular, yang berkontribusi ke patogenesis
penyakit ini. Mannose-binding lectin (MBL) adalah suatu protein inflamasi yang
berperan dalam pengenalan atau identifikasi suatu patogen. Stenosis katup
mitral yang disebabkan oleh penyakit jantung reumatik diasosiasikan dengan
encoding alel MBL2 dalam produksi tinggi MBL. Regurgitasi katup aorta pada
pasien penyakit ini diasosiasikan dengan varian alel MBL2 yang berbeda untuk
encoding produksi rendah MBL. Gen lain juga sedang diteliti untuk memahami
kerumitan reaksi autoimun yang terjadi pada penyakit jantung reumatik.
Manifestasi Klinis
Gambaran klinis umumnya dimulai
dengan demam remiten yang tidak melebihi 39oC atau artritis yang
timbul setelah 2-3 minggu setelah infeksi.
Demam dapat berlangsung berkali-kali
dengan tanda-tanda umum berupa malaise, astenia, dan penurunan berat badan.
Sakit persendian dapat berupa arthralgia, yaitu nyeri persendian dengan
tanda-tanda panas, merah, bengkak atau nyeri tekan, dan keterbatasan gerak.
Artritis pada demam reumatik dapat mengenai beberapa sendi secara bergantian.
Manifestasi lain berupa pankarditis (endokarditis, miokarditis, dan perikarditis), nodul subkutan, eritema
marginatum, chorea, dan nyeri abdomen.
Demam reumatik akut adalah penyakit
multisistem yang dikarakteristikkan dengan keterlibatan jantung, sendi, sistem
saraf pusat (SSP / central nervous system), jaringan subkutan, dan kulit.
Kecuali untuk jantung, kebanyakan dari organ ini hanya menerima efek ringan dan
sementara. Diagnosis klinis bergantung pada kriteria yang melibatkan
sistem-sistem ini begitu juga dengan temuan laboratoris yng mengindikasikan
infeksi streptococcal, atau lebih dikenal dengan kriteria Jones.
Perjalanan klinis penyakit demam reumatik/penyakit jantung reumatik dapat
dibagi dalam 4 stadium:
Stadium I
Stadium
ini berupa infeksi saluran napas bagian atas oleh bakteri beta-Streptococcus hemolyticus grup A. Keluhan biasanya berupa demam,
batuk, rasa sakit waktu menelan, tidak jarang disertai muntah dan bahkan pada
anak kecil dapat terjadi diare. Pada pemeriksaan fisik sering didapatkan
eksudat di tonsil yang menyertai tanda-tanda peradangan lainnya. Kelenjar getah
bening submandibular seringkali membesar. Infeksi ini biasanya berlangsung 2-4
hari dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.
Para
peneliti mencatat 50-90% riwayat infeksi saluran napas bagian atas pada
penderita demam reumatik/penyakit jantung reumatik, yang biasanya terjadi 10-14
hari sebelum manifestasi pertama demam reumatik/penyakit jantung reumatik.
Stadium II
Stadium
ini disebut juga periode laten, ialah masa antara infeksi Streptococcus dengan
permulaan gejala demam reumatik, biasanya periode ini berlangsung 1-3 minggu, kecuali
chorea yang dapat timbul 6 minggu atau bahkan berbulan-bulan kemudian.
Stadium III
Merupakan fase akut demam reumatik, saat timbulnya berbagai manifestasi
klinik demam reumatik/penyakit jantung reumatik. Manifestasi klinik tersebut
dapat digolongkan dalam gejala peradangan umum (gejala minor) dan manifestasi
spesifik (gejala mayor) demam reumatik/penyakit jantung reumatik.
Stadium IV
Disebut
juga stadium inaktif. Pada stadium ini penderita demam reumatik tanpa kelainan
jantung atau penderita penyakit jantung reumatik tanpa gejala sisa katup tidak
menunjukkan gejala apa-apa.
Pada
penderita penyakit jantung reumatik dengan gejala sisa kelainan katup jantung,
gejala yang timbul sesuai dengan jenis serta beratnya kelainan. Pada fase ini
baik penderita demam reumatik maupun penyakit jantung reumatik sewaktu-waktu
dapat mengalami reaktivasi penyakitnya.
Manifestasi Klinis Mayor
Karditis
Karditis pada demam reumatik akut ditemukan pada sekitar 50% pasien, yang
cenderung meningkat dengan tajam pada pengamatan mutakhir. Dua laporan yang
paling baru, dari Florida dan Utah, melaporkan karditis pada 75% pasien demam
reumatik akut. Angka ini didasarkan kepada diagnosis yang ditegakkan hanya
dengan auskultasi, dan bahkan lebih tinggi bila alat ekokardiografi Doppler 91%
pasien menunjukkan keterlibatan jantung. Pada literatur lain menyebutkan yaitu
sekitar 40-80% dari demam reumatik akan berkembang menjadi pankarditis.
Karditis
merupakan kelainan yang paling serius pada demam reumatik akut, dan menyebabkan
mortalitas paling sering selama stadium akut penyakit. Bahkan sesudah fase
akut, cedera sisa pada katup dapat menyebabkan gagal jantung yang tidak mudah
ditangani, dan seringkali memerlukan intervensi bedah. Selanjutnya mortalitas
dapat terjadi akibat komplikasi bedah atau dari infeksi berikut yang
menyebabkan endokarditis bakteri.
Banyak
dokter memandang karditis sebagai manifestasi demam reumatik yang paling khas.
Karditis dengan insufisiensi mitral diketahui dapat berkaitan dengan infeksi
virus, riketsia, dan mikoplasma. Namun demam reumatik tetap merupakan penyebab
utama insufisiensi mitral didapat pada anak dan dewasa muda. Meskipun laporan dari
negara berkembang mengambarkan insidens penyakit jantung reumatik yang tinggi
pada anak muda, demam reumatik dan karditis reumatik jarang ditemukan pada anak
umur di bawah 5 tahun. Penyakit ini terkait dengan gejala nonspesifik meliputi
mudah lelah, anoreksia, dan kulit pucat kekuningan. Mungkin terdapat demam
ringan dan mengeluh bernapas pendek, nyeri dada, dan arthralgia. Pemeriksaan
jantung mungkin menunjukkan keterlibatan jantung, dan pada sebagian pasien
dapat terjadi gagal jantung.
Karditis
dapat merupakan manifestasi tunggal atau terjadi bersamaan dengan satu atau
lebih manifestasi lain. Kadang artritis dapat mendahului karditis; pada kasus
demikian tanda karditis biasanya akan muncul dalam 1 atau 2 minggu; jarang
terjadi keterlibatan jantung yang jelas di luar interval ini.
Seperti
manifestasi yang lain, derajat keterlibatan jantung sangat bervariasi. Karditis
dapat sangat tidak kentara, seperti pada pasien dengan chorea, tanda
insufisiensi mitral dapat sangat ringan dan bersifat sementara, sehingga mudah
terlewatkan pada auskultasi. Karditis yang secara klinis ’mulainya lambat’
mungkin sebenarnya mengambarkan progresivitas karditis ringan yang semula tidak
dideteksi. Pasien yang datang dengan manifestasi lain harus diperiksa dengan
teliti untuk menyingkirkan adanya karditis. Pemeriksaan dasar, termasuk
elektrokardiografi dan ekokardiografi, harus selalu dilakukan. Pasien yang ada
pada pemeriksaan awal tidak menunjukkan keterlibatan jantung harus terus
dipantau dengan ketat untuk mendeteksi adanya karditis sampai tiga minggu
berikutnya. Jikalau karditis tidak muncul dalam 2 sampai 3 minggu
pascaserangan, maka selanjutnya ia jarang muncul.
Takikardia merupakan salah satu tanda klinis awal miokarditis. Pengukuran frekuensi
jantung paling dapat dipercaya apabila pasien tidur. Demam dan gagal jantung
menaikkan frekuensi jantung; sehingga mengurangi nilai diagnostik takikardia.
Apabila tidak terdapat demam atau gagal jantung, frekuensi jantung saat pasien
tidur merupakan tanda yang terpercaya untuk memantau perjalanan karditis.
Miokarditis dapat menimbulkan disritmia sementara; blok atrioventrikular total
biasanya tidak ditemukan pada karditis reumatik. Miokarditis kadang sukar untuk
dicatat secara klinis, terutama pada anak muda yang tidak terdengar bising yang
berarti. Pada umumnya, tanda klinis karditis reumatik meliputi bising
patologis, terutama insufisiensi mitral, adanya kardiomegali secara radiologis
yang makin lama makin membesar, adanya gagal jantung dan tanda perikarditis.
Terdapatnya gagal jantung kongestif, yaitu tekanan vena leher yang meninggi,
muka sembab, hepatomegali, ronki paru, urin sedikit dan bahkan edema pitting,
semuanya dapat dipandang sebagai bukti karditis. Hampir merupakan aksioma,
setiap anak dengan penyakit jantung reumatik yang datang dengan gagal jantung
pasti menderita karditis aktif. Hal ini berbeda dengan orang tua, padanya gagal
jantung kongestif dapat terjadi sebagai akibat stres mekanik pada jantung
karena keterlibatan katup reumatik. Pada anak dengan demam reumatik, gagal
jantung kanan, terutama yang disertai dengan edema muka, mungkin terjadi
sekunder akibat gagal jantung kiri. Gagal jantung kiri pada anak reumatik
relatif jarang ditemukan.
Endokarditis,
radang daun katup mitral dan aorta serta kordae katup mitral, merupakan
komponen yang paling spesifik pada karditis reumatik. Katup-katup pulmonal dan
trikuspid jarang terlibat. Insufisiensi mitral paling sering terjadi pada
karditis reumatik, yang ditandai oleh adanya bising holosistolik (pansistolik)
halus, dengan nada tinggi. Bising ini paling baik terdengar apabila pasien
tidur miring ke kiri. Pungtum maksimum bising adalah di apeks, dengan
penjalaran ke daerah aksila kiri. Apabila terdapat insufisiensi mitral yang
bermakna, dapat pula terdengar bising stenosis mitral relatif yaitu bising
mid-diastolik sampai akhir diastolik yang bernada rendah. Bising ini disebut bising
Carey-Coombs, terjadi karena sejumlah besar darah didorong melalui lubang
katup ke dalam ventrikel kiri selama fase pengisian, menghasilkan turbulensi
yang bermanifestasi sebagai bising aliran (flow murmur).
Insufisiensi aorta terjadi pada sekitar 20% pasien dengan karditis
reumatik. Insufisiensi ini dapat merupakan kelainan katup tunggal tetapi
biasanya bersama dengan infusiensi mitral. Infisiensi aorta ini ditandai oleh
bising diastolik dini dekresendo yang mulai dari komponen aorta bunyi jantung
kedua. Bising ini bernada sangat tinggi, sehinggga paling baik didengar dengan
stetoskop membran (diafragma) pada sela iga ketiga kiri dengan pasien pada
posisi tegak, terutama jika pasien membungkuk ke depan dan menahan napasnya
selama ekspirasi. Bising ini mungkin lemah, dan karenanya sering gagal dikenali
oleh pemeriksa yang tidak terlatih. Pada infusiensi aorta yang berat, bising
terdengar keras dan mungkin disertai getaran bising diastolik. Pada kasus ini
tekanan nadi yang naik karena lesi aorta yang besar digambarkan sebagai nadi
perifer yang melompat-lompat (water-hammer pulse). Keterlibatan katup
pulmonal dan trikuspid jarang terjadi; ia ditemukan pada pasien dengan penyakit
jantung reumatik yang kronik dan berat. Pemeriksaan ekokardiografi-Doppler
menunjukkan bahwa kelainan pada katup trikuspid dan pasien demam reumatik
pulmonoal ini lebih banyak daripada yang dipekirakan sebelumnya.
Miokarditis atau insufisiensi katup yang berat dapat menyebabkan terjadinya
gagal jantung. Gagal jantung yang jelas terjadi
pada sekitar 5% pasien demam reumatik akut, terutama pada anak yang lebih muda.
Di Yogyakarta pasien yang datang dengan gagal jantung jelas dapat mencapai 65%
karena kasus yang dapat berobat ke rumah sakit terdiri atas pasien demam
reumatik akut serangan pertama dan demam reumatik akut serangan ulang. Lagipula
pasien di Yogyakarta baru berobat apabila telah timbul gejala dan tanda gagal
jantung.
Manifestasi gagal jantung meliputi batuk, nyeri dada, dispne, ortopne, dan
anoreksia. Pada pemeriksaan terdapat takikardia, kardiomegali, dan hepatomegali
dengan hepar yang lunak. Edema paru terjadi pada gagal jantung sangat
bervariasi.
Pembesaran jantung terjadi bila perubahan hemodinamik yang berat terjadi akibat
penyakit katup. Pembesaran jantung yang progresif dapat terjadi akibat
pankarditis, yaitu karena dilatasi jantung akibat miokarditis ditambah dengan
akumulsi cairan perikardium parietale dan viserale. Penggesekan permukaan yang
meradang menimbulkan suara gesekan yang dapat didengar. Bising gesek ini
terdengar paling baik di midprekordium pada pasien dalam posisi tegak, sebagai
suara gesekan permukaan. Bising gesek dapat didengar pada sistole atau diastole
tergantung pada apakah pergeseran timbul oleh kontraksi maupun relaksasi
ventrikel. Pengumpulan cairan yang banyak menyebabkan terjadinya pergeseran
perikardium, sehingga dapat mengakibatkan menghilangnya bising gesek. Bising
gesek pada pasien parditis reumatik hampir selalu merupakan petunjuk adanya
pankarditis. Perikarditis yang tidak disertai dengan endokarditis dan
miokarditis biasanya bukan disebabkan demam reumatik.
Irama
derap yang mungkin terdengar biasanya berupa derap protodiastolik, akibat
aksentuasi suara jantung ketiga. Derap presistolik agak jarang terjadi, akibat
pengerasan suara jantung keempat yang biasanya tidak terdengar, atau derap
kombinasi, yaitu kombinasi dari dua derap (summation gallop).
Artritis
Artritis terjadi pada sekitar 70% pasien dengan demam reumatik. Walaupun
merupakan manifestasi mayor yang paling sering, artritis ini paling tidak
spesifik dan sering menyesatkan diagnosis. Insidens artritis yang rendah
dilaporkan pada penjangkitan demam reumatik akhir-akhir ini di Amerika Serikat,
mungkin akibat pedekatan diagnosis yang berbeda. Kebanyakan laporan menunjukkan
artritis sebagai manifestasi reumatik yang paling sering, tetapi bukan yang
paling serius, seperti kata Lasegue, ’demam reumatik menjilat sendi namun
menggigi jantung.
Artritis
menyatakan secara tidak langsung adanya radang aktif sendi, ditandai oleh nyeri
yang hebat, bengkak, eritema, dan demam. Meskipun tidak semua manifestasi ada,
tetapi nyeri pada saat istirahat yang menghebat pada gerakan aktif atau pasif
biasanya merupakan tanda yang mencolok. Intensitas nyeri dapat menghambat
pergerakan sendi hingga mungkin seperti pseudoparalisis.
Artritis
harus dibedakan dari artralgi, karena pada arthralgia hanya terjadi nyeri
ringan tanpa tanda objektif pada sendi. Sendi besar paling sering terkena, yang
terutama adalah sendi lutut, pergelangan kaki, siku, dan pergelangan tangan.
Sendi perifer yang kecil jarang terlibat. Artritis reumatik bersifat asimetris
dan berpindah-pindah (poliartritis migrans). Proses radang pada satu sendi
dapat sembuh secara spontan sesudah beberapa jam serangan, kemudian muncul
artritis pada sendi yang lain. Pada sebagian besar pasien, artritis sembuh
dalam 1 minggu, dan biasanya tidak menetap lebih dari 2 atau 3 minggu. Artritis
demam reumatik berespons dengan cepat terhadap salisilat bahkan pada dosis
rendah, sehingga perjalanan artritis dapat diperpendek dengan nyata dengan
pemberian aspirin.
Pemeriksaan radiologis sendi tidak menunjukkan kelainan kecuali efusi.
Meskipun tidak berbahaya, artritis tidak boleh diabaikan; ia harus benar-benar
diperhatikan, baik yang berat maupun yang ringan. Sebelum terburu-buru ke
laboratorium untuk memikirkan ’skrining kolagen’ yang lain, ia harus diperiksa
dengan anamnesis yang rinci serta pemeriksaan fisis yang cermat.
chorea Sydenham
chorea Sydenham, chorea minor, atau St. Vitus dance, mengenai sekitar
15% pasien demam reumatik. Manifestasi ini mencerminkan keterlibatan sistem
saraf pusat, terutama ganglia basal dan nuklei kaudati, oleh proses radang.
Hubungan chorea Sydenham dengan demam reumatik tetap tidak jelas untuk waktu
yang lama. Hubungan tersebut tampak pada pasien dengan manifestasi reumatik,
terutama insufisiensi mitral, yang semula datang hanya dengan chorea Sydenham. Sekarang jelas bahwa periode laten antara infeksi streptokokus dan awal
chorea lebih lama daripada periode laten untuk artritis atau karditis. Periode laten manifestasi klinis artritis atu karditis adalah sekitar 3
minggu, sedangkan manifestasi klinis chorea dapat mencapai 3 bulan atau lebih.
Pasien
dengan chorea datang dengan gerakan yang tidak disengaja dan tidak bertujuan,
inkoordinasi muskular, serta emosi yang labil. Manifestasi ini lebih nyata
apabila pasien dalam keadaan stres. Gerakan abnormal ini dapat ditekan
sementara atau sebagian oleh pasien dan menghilang pada saat tidur. Semua otot
terkena, tetapi yang mencolok adalah otot wajah dan ekstremitas. Pasien tampak
gugup dan menyeringai. Lidah dapat terjulur keluar dan masuk mulut dengan cepat
dan menyerupai ’kantong cacing’. Pasien chorea biasanya tidak dapat
mempertahankan kestabilan tonus dalam waktu yang pendek.
Biasanya
pasien berbicara tertahan-tahan dan meledak-ledak. Ekstensi lengan di atas
kepala menyebabkan pronasi satu atau kedua tangan (tanda pronator). Kontraksi
otot tangan yang tidak teratur tampak jelas bila pasien menggenggam jari
pemeriksa (pegangan pemerah susu). Apabila tangan diekstensikan ke depan, maka
jari-jari berada dalam keadaan hiperekstensi (tanda sendok atau pinggan).
Koordinasi otot halus sukar. Tulisan tangannya buruk, yang ditandai oleh
coretan ke atas yang tidak mantap. Bila disuruh membuka dan menutup kancing
baju, pasien menunjukkan inkoordinasi yang jelas, dan ia menjadi mudah kecewa.
Kelabilan emosinya khas, pasien sangat mudah menangis, dan menunjukkan reaksi
yang tidak sesuai. Orangtua sering cemas oleh kecanggungan
pasien yang reaksi yang mendadak. Guru memperhatikan bahwa pasien kehilangan
perhatian, gelisah, dan tidak koperatif. Sebagai pasien mungkin
disalahtafsirkan sebagai menderita kelainan tingkah laku. Meskipun tanpa
pengobatan sebagian besar chorea minor akan menghilang dalam waktu 1-2 minggu.
Pada kasus yang berat, meskipun dengan pengobatan, chorea minor dapat menetap
selama 3-4 bulan, bahkan dapat sampai 2 tahun.
Insidens
chorea pada pasien demam reumatik sangat bervariasi dan cenderung menurun,
tetapi pada epidemi mutakhir di Utah chorea terjadi pada 31% kasus. chorea tidak
biasa terjadi sesudah pubertas dan tidak terjadi pada dewasa, kecuali jarang
pada wanita hamil (’chorea gravidarum’). chorea ini merupakan satu-satunya manifestasi
yang memilih jenis kelamin, yakni dua kali lebih sering pada anak wanita
dibanding pada lelaki. Sesudah pubertas perbedaan jenis kelamin ini bertambah.
Eritema Marginatum
Eritema marginatum merupakan khas untuk demam reumatik dan jarang ditemukan
pada penyakit lain. Karena khasnya, ia termasuk dalam manifestasi mayor. Data
kepustakaan menunjukkan bahwa eritema marginatum ini hanya terjadi pada
lebih-kurang 5% pasien. Pada literatur lain menyebutkan eritema ini ditemukan
pada kurang dari 10% kasus. Ruam ini tidak gatal, maskular, dengan tepi eritema
yang menjalar dari bagian satu ke bagian lain mengelilingi kulit yang tampak
normal. Lesi ini berdiameter sekitar 2,5 cm, tersering pada batang tubuh dan
tungkai proksimal, dan tidak melibatkan wajah. Pemasangan handuk hangat atau
mandi air hangat dapat memperjelas ruam. Eritema sukar ditemukan pada pasien
berkulit gelap. Ia biasanya timbul pada stadium awal penyakit, kadang menetap
atau kembali lagi, bahkan setelah semua manifestasi klinis lain hilang. Eritema
biasanya hanya ditemukan pada pasien dengan karditis, seperti halnya nodul
subkutan. Menurut literatur lain, eritema ini sering ditemukan pada wanita
dengan karditis kronis.
Nodulus Subkutan
Frekuensi manifestasi ini telah menurun sejak beberapa dekade terakhir,
saat ini jarang ditemukan, kecuali pada penyakit jantung reumatik kronik.
Penelitian mutakhir melaporkan frekuensi nodul subkutan kurang dari 5%. Namun
pada laporan mutakhir dari Utah nodul subkutan ditemukan pada sekitar 10%
pasien. Nodulus terletak pada permukaan ekstensor sendi, terutama pada siku,
ruas jari, lutut dan persendian kaki. Kadang nodulus
ditemukan pada kulit kepala dan di atas kolumna vetrebralis. Ukurannya
bervariasi dari 0,5-2 cm, tidak nyeri, dan dapat bebas digerakkan. Nodul
subkutan pada pasien demam reumatik akut biasanya lebih kecil dan lebih cepat
menghilang daripada nodul pada reumatoid artritis. Kulit yang menutupinya tidak
menunjukkan tanda radang atau pucat. Nodul ini biasanya muncul sesudah beberapa
minggu sakit dan pada umumnya hanya ditemukan pada pasien dengan karditis.
Manifestasi
minor
Demam hampir selalu ada pada poliartritis reumatik; ia sering ada pada
karditis yang tersendiri (murni) tetapi pada chorea murni. Jenis demamnya adalah
remiten, tanpa variasi diurnal yang lebar, gejala khas biasanya kembali normal
atau hampir normal dalam waktu 2 atau 3 minggu, walau tanpa pengobatan. Arthralgia adalah nyeri sendi tanpa tanda
objektif pada sendi. Arthralgia biasanya melibatkan sendi besar. Kadang
nyerinya terasa sangat berat sehingga pasien tidak mampu lagi menggerakkan
tungkainya.
Termasuk kriteria minor adalah beberpa uji laboratorium. Reaktan fase akut
seperti LED atau C-reactive protein mungkin naik. Uji ini dapat tetap naik
untuk masa waktu yang lama (berbulan-bulan). Pemanjangan interval PR pada
elektrokardiogram juga termasuk kriteria minor.
Nyeri
abdomen dapat terjadi pada demam reumatik akut dengan gagal jantung oleh karena
distensi hati. Nyeri abdomen jarang ada pada demam reumatik tanpa gagal jantung
dan ada sebelum manifestasi spesifik yang lain muncul. Pada kasus ini nyeri
mungkin terasa berat sekali pada daerah sekitar umbilikus, dan kadang dapat
disalahtafsirkan sebagai apendistis sehingga dilakukan operasi.
Anoreksia, nausea, dan muntah seringkali ada, tetapi kebanyakan akibat gagal
jantung kongestif atau akibat keracunan salisilat. Epitaksis berat mungkin
dapat terjadi. Kelelahan merupakan gejala yang tidak jelas dan jarang, kecuali
pada gagal jantung. Nyeri abdomen dan epitaksis, meskipun sering ditemukan pada
demam reumatik, tidak dianggap sebagai kriteria diagnosis.
Lama Serangan Demam Reumatik
Lama serangan demam reumatik secara keseluruhan (bukan lama masing-masing
manifestasi) berbeda tergantung pada kriteria yang digunakan, dan pada
manifestasi klinis. Serangan yang terpendek merupakan ciri artritis, yang lebih
panjang terjadi pada chorea dan serangan terpanjang adalah karditis.
Pada
serangan lebih pendek jikalau yang dianggap sebagai titik akhir adalah
hilangnya manifestasi klinis akut, dan lebih panjang jika titik akhir adalah
kembalinya laju endap darah manjadi normal. Walaupun demikian dalam beberapa
kasus manifestasi klinis mayor tertentu (misalnya chorea, dan kadang eritema
marginatum dan nodulus) dapat menetap atau bahkan muncul pertama kalinya
setelah fase akut telah kembali normal.
Lama
serangan pertama demam reumatik adalah mulai kurang dari 3 minggu (pada
sepertiga kasus) sampai 3 bulan. Namun pada pasien karditis berat, proses
reumatik aktif ini dapat berlanjut sampai 6 bulan atau lebih. Pasien ini
menderita demam reumatik ”kronik”. Di negara Barat keadaan ini terjadi pada
sebagian kecil kasus (3% atau kurang). Sebagian besar pasien dengan demam
reumatik yang berkepanjangan menderita beberapa kali serangan. Di negara tempat
karditis berat dan kumat sering terjadi, frekuensi demam reumatik kronik
mungkin sekali lebih tinggi.
Proses
demam reumatik dianggap aktif terdapat salah satu dari tanda berikut: artritis,
bising organik baru, kardiomegali, nadi selama tidur melebihi 100/menit, chorea,
eritema marginatum, atau nodulus subkutan. Gagal jantung tanpa penyakit katup
yang berat juga merupakan tanda karditis aktif. Karditis reumatik kronik dapat
berlangsung berlarut-larut dan menyebabkan kematian sesudah beberapa bulan atau
tahun. Laju endap darah (LED) yang terus tinggi lebih dari 6 bulan bukan aktivitas
reumatik jika tidak disertai tanda lain.
Penyakit jantung reumatik, adalah
penyebab utama stenosis mitral. Riwayat demam reumatik dapat diperoleh dari
sekitar 60% pasien yang memiliki stenosis mitral murni. Terdapat rasio 2:1
antara insidensi perempuan dengan laki-laki. Pada negara maju, penyakit ini mempunyai
masa laten 20-40 tahun, dengan periode hampir satu dekade setelah itu sebelum
muncul gejala dimana diperlukan intervensi pembedahan.
Setelah timbulnya gejala signifikan
berat terjadi, maka terdapat kemungkinan 5-10% angka survival rate (harapan
hidup) 10 tahun apabila tidak menerima perawatan. Hipertensi pulmonal merupakan
tanda prognostik buruk. Usia rata-rata pasienpenyakit jantung reumatik yang
terdeteksi di Amerika Utara adalah pada umur dekade kelima sampai enam, dan
lebih dari sepertiga dari pasien menjalani pembedahan penggantian atau
perbaikan katup berusia lebih dari 65 tahun.
Dari pasien penderita penyakit
jantung pasca reumatik kelainan katupnya adalah, 46% menderita stenosis dengan
insufisiensi (regurgitasi), 34% stenosis murni, dan 20% dengan insufisiensi
murni. Insufisiensi katup mitral lebih dimungkinkan terjadi karena penyebab
katup mitral terlalu lemas, dengan
iskemia dan endokarditis dan beberapa penyebab lainnya.
Stenosis dan
insufisiensi katup aorta
Penyakit jantung reumatik adalah
salah satu penyebab dari insufisiensi
aorta pada negara maju, namun biasanya
lebih jarang dari aortic root disease dan endokarditis, tergantung dari
populasi pasien. Stenosis aorta murni disebabkan oleh penyakit pasca inflamasi
pada 9% pasien pembedahan katup, dibandingkan 14% dari pasien insufisiensi
aorta murni dan 17% dari campuran stenosis dan insufisiensi aorta. Tampilan
klinis stenosis dan regurgitasi aorta karena penyebab pasca demam reumatik sama
dengan penyebab patologis lainnya.
Temuan
substansial
Pada fase akut, endokarditis
verrocous (menyerupai penampakan kutil) terdiri dari vegetasi trombotik kecil
dan berukuran seragam yang tidak menyebabkan kerusakan katup. Katup yang
memiliki bekas luka kronis, terinflamasi, dan terdapat neovaskularisasi adalah
temuan yang paling umum terjadi. Secara kronis, demam reumatik dapat
menyebabkan fusi komisura, penebalan katup, dan kalsifikasi. Penampakan katup
mitral dengan chordae yang memendek dan menyatu serta komisura dengan bekas
perlukaan sering disamakan dengan penampakan mulut ikan (fish-mouth deformity). Terdapat juga bekas luka difus pada katup
aorta, dengan fibrosis komisura dan penebalan daun katup.
Katup jantung pasca inflamasi atau
pasca reumatik secara umum didiagnosis pada saat pembedahan pada inspeksi katup
yang dilakukan dokter bedah. Pada kasus stenosis mitral, terdapat beberapa
kondisi dalam diagnosis differential, stenosis aorta lebih sering disebabkan
penyakit jantung kalsifikasi, yang sekitar setengahnya terjadi pada katup
bikuspid kongenital. Stenosis kalsifik nodular dikarakteristikkan dengan
deposit kalsifisk pada sinus valsava, dengan sisa sedikit dari ujung bebas
katup dan komisura.
Sebaliknya, stenosis aorta pasca
inflamasi biasanya hanya sedikit kalsifikasi dan melibatkan daun katup, ujung
bebas, dan komisura, dengan fibrosis. Insufisiensi mitral yang disebabkan penyakit katup pasca reumatik
mungkin dapat sulit dibedakan dengan katup mitral prolaps, tapi kehadiran fusi
chordae, penebalan, dan pemendekan, dapat menjadi pembeda dengan prolaps katup
mitral dengan chorda yang tipis dan memanjang, serta daun katup yang seperti
transparan dan berkilau.
Temuan
Mikroskopis
Vegetasi akut dari demam reumatik
akut menunjukkan daun katup dengan trombi permukaan, ketiadaan tanda kerusakan
katup sebelumnya, edema ringan dan inflamasi kronis. Secara kronis, penyakit
reumatik katup dikarakteristikkan dengan neovaskularisasi, inflamasi kronis,
dan kalsifikasi yang relatif ringan. Beda dengan kalsifikasi annular, pada
kondisi ini kalsium hanya pada daun katup itu sendiri.
Secara
histologis, neovaskularisasi umum terjadi pada penyakit katup pasca reumatik,
tapi bukan merupakan tanda dari prolaps katup mitral yang uncomplicated. Inflamasi signifikan tidak umum ditemukan pada fase
kronik penyakit katup reumatik, tapi biasanya tidak ditemukan sama sekali
inflamasi pada penyakit katup myxomatous. Secara umum, diagnosis dibuat dari
penampilan mikroskopis secara keseluruhan, dengan riwayat klinis dan pendukung
diagnosis lainnya.
Aschoff bodies adalah temuan
spesifik untuk karditis pasca reumatik, sedangkan Anitschkow cells dapat ditemui pada berbagai
kondisi. Bahkan, nodul Aschoff dianggap sebagai patognomonik untuk penyakit
jantung reumatik, nodul ini merupakan lesi fibroinflamasi interstisial dengan
makrofag dan nekrosis kolagen. Anitschkow cells, memiliki garis lingkar nuklear
yang bergelombang dan tidak wajar, dikenal sebagai sel ‘ulat bulu’ (caterpillar
cells) dan biasanya ditemukan pada penyakit ini, tapi sel ini juga dapat
ditemukan pada kondisi lain yang tidak berhubungan dengan nodul Aschoff.
Immunohistochemistry
Pada
penyakit jantung reumatik, CD4 dan CD8 T-cell ditemukan pada katup jantung
penderita demam reumatik akut. Antigen Major histocompatibility complex klas 2
(MHC-2) ditemukan pada pembuluh endothelium dan fibroblast katup.
Diagnosis
Gambaran klinis demam reumatik bergantung pada sistem organ yang terlibat dan manifestasi klinis yang tampak bisa tunggal atau merupakan gabungan sistem organ yang terlibat. Berbagai komponen DR (demam reumatik) seperti artritis, karditis, chorea, eritema marginatum, nodul subkutan dan lainnya telah dijelaskan secara terpisah atau kolektif pada awal abad ke-17. de Baillou dari Perancis adalah epidemiologis pertama yang menjelaskan rheumatism artikuler akut dan membedakannya dari gout 1,7 dan kemudian Sydenham dari London menjelaskan chorea, tetapi keduanya tidak menghubungkan kedua gejala tersebut dengan penyakit jantung. Pada tahun 1761 Morgagni, seorang patolog dari Italia menjelaskan adanya kelainan katup pada penderita penyakit tersebut dan deskripsi klinis penyakit jantung kronik dijelaskan setelah diciptakannya stetoskop pada tahun 1819 oleh Laennec. Pada tahun 1886 dan 1889 Walter Butletcheadle mengemukakan “rheumatic fever syndrome” yang merupakan kombinasi artritis akut, penyakit jantung, chorea dan belakangan termasuk manifestasi yang jarang yaitu eritema marginatum dan nodul subkutan sebagai komponen sindroma tersebut. Pada tahun 1931, Coburn mengusulkan hubungan infeksi Streptokokus grup A dengan demam reumatik dan secara perlahan-lahan diterima oleh Jones dan peneliti lainnya.
Gambaran klinis demam reumatik bergantung pada sistem organ yang terlibat dan manifestasi klinis yang tampak bisa tunggal atau merupakan gabungan sistem organ yang terlibat. Berbagai komponen DR (demam reumatik) seperti artritis, karditis, chorea, eritema marginatum, nodul subkutan dan lainnya telah dijelaskan secara terpisah atau kolektif pada awal abad ke-17. de Baillou dari Perancis adalah epidemiologis pertama yang menjelaskan rheumatism artikuler akut dan membedakannya dari gout 1,7 dan kemudian Sydenham dari London menjelaskan chorea, tetapi keduanya tidak menghubungkan kedua gejala tersebut dengan penyakit jantung. Pada tahun 1761 Morgagni, seorang patolog dari Italia menjelaskan adanya kelainan katup pada penderita penyakit tersebut dan deskripsi klinis penyakit jantung kronik dijelaskan setelah diciptakannya stetoskop pada tahun 1819 oleh Laennec. Pada tahun 1886 dan 1889 Walter Butletcheadle mengemukakan “rheumatic fever syndrome” yang merupakan kombinasi artritis akut, penyakit jantung, chorea dan belakangan termasuk manifestasi yang jarang yaitu eritema marginatum dan nodul subkutan sebagai komponen sindroma tersebut. Pada tahun 1931, Coburn mengusulkan hubungan infeksi Streptokokus grup A dengan demam reumatik dan secara perlahan-lahan diterima oleh Jones dan peneliti lainnya.
Kombinasi kriteria diagnostik dari manifestasi “rheumatic fever syndrome” pertama sekali diusulkan oleh T. Duckett
Jones pada tahun 1944 sebagai kriteria untuk menegakkan diagnosis demam
reumatik setelah ia mengamati ribuan
penderita selama beberapa dekade dan sebagai panduan dalam penatalaksanaan demam
reumatik dan atau penyakit
jantung reumatik eksaserbasi akut. Terbukti
kriteria yang dikemukan Jones sangat bermanfaat bagi para dokter untuk menegakkan
diagnosis demam reumatik dan atau penyakit
jantung reumatik eksaserbasi akut.
Berikutnya pada tahun 1956 atas saran Dr.Jones telah dilakukan modifikasi
atas kriteria Jones yang asli untuk penelitian “The Relative Effectiveness of ACTH, Cortisone and Aspirin in the
Treatment of Rheumatic Fever”.
Kurangnya pertimbangan klinis oleh para dokter dalam menerapkan Kriteria
Jones menyebabkan terjadinya overdiagnosis
dalam menegakkan diagnosis demam reumatik. Pada tahun 1965 telah dilakukan revisi terhadap Kriteria Jones Modifikasi
oleh “AdHoc Committee to revise the
Modified Jones Criteria of the Council on Rheumatic Fever and Congenital Heart
Disease of the American Heart Association (AHA)” yang diketuai oleh Dr.
Gene H.Stollerman. Revisi ini menekankan perlu ada bukti infeksi streptokokus
sebelumnya sebagai syarat mutlak untuk menegakkan diagnosis DR atau PJR aktif
untuk menghindarkan overdiagnosis,
agar menghindarkan kecemasan pada pasien dan keluarganya. Juga akan efektif dalam penatalaksanaan biaya medik karena akan
mencegah pemakaian dan biaya kemoprofilaksis jangka panjang untuk DR dan penyakit
jantung reumatik aktif. Bukti adanya infeksi
streptococcus sebelumnya termasuk riwayat demam skarlet, kultur apus tenggorokan yang
positif dan atau ada bukti peningkatan infeksi streptokokus pada pasien dengan
chorea dan pasien dengan “karditis subklinik atau derajat rendah”. AHA Committee juga memperbaiki beberapa
penjelasan berbagai manifestasi klinis DR akut tetapi tidak ada membuat perubahan .
Pada tahun 1984 telah dilakukan perbaikan Kriteria Jones yang dikenal
sebagai Kriteria Jones yang diedit yang isinya tidak banyak berbeda dari
Kriteria Jones yang direvisi.
Pada tahun 1960 Roy mengemukakan pengamatan bahwa poliartritis jarang
didapati diantara populasi orang India dan arthralgia sering didapati. Pengamatannya
ternyata sama dengan yang diamati di Boston yang memperlihatkan poliartritis
sering didapati pada demam reumatik. Roy kemudian merekomendasikan trias berupa sakit sendi, LED yang
meningkat atau C- reaktif protein dan titer ASTO > 400 unit untuk dipertimbangkan
sebagai kriteria major untuk diagnosis demam reumatik. Ia menyarankan trias tersebut
merupakan manifestasi yang
sering ditemui dinegara
berkembang dan diberi nama diagnosis “presumptive”
dari DR akut dan dikonfirmasi atau ditolak setelah observasi selama 4-6 minggu.
Pengamatan ini memulai ide adanya Kriteria Jones yang dirubah (Amended jones
Criteria [1988]) yang diusulkan oleh Agarwal. Pada lampiran 5 dapat dilihat
Kriteria Jones yang dirubah (Amended jones Criteria [1988]) 1.
Pada tahun 1992 “Special Writing
Group of the Committee on Rheumatic Fever, Endocarditis and Kawasaki Disease of
the Council on Cardiovascular Disease in the Young of the American Heart
Association” melakukan update kriteria Jones yang telah dimodifikasi,
direvisi dan diedit selama beberapa tahun dan disebut sebagai Kriteria Jones
Update dan digunakan untuk menegakkan diagnosis demam reumatik sampai saat ini.
Kriteria update ini menjelaskan alat yang tersedia dan perannya dalam
mendiagnosis, mendeteksi infeksi streptokokus sebelumnya. Kriteria update ini
juga mempertahankan 2 gejala major dan 1 gejala major ditambah 2 minor untuk menegakkan diagnosis, tetapi kriteria
ini menyebabkan hanya dapat digunakan pada serangan awal demam
reumatik akut. Riwayat demam
reumatik atau adanya penyakit jantung reumatik dikeluarkan dari kriteria minor. Alasan untuk merubahnya karena pada
beberapa penderita dengan riwayat DR atau PJR kurang memperlihatkan gejala dan
tanda serangan berulang dan karena itu tidak cukup memenuhi Kriteria Jones.
Penggunaan ekokardiografi juga telah didiskusikan dan mempunyai peran sebagai
parameter diagnostik bila pada auskultasi tidak didapati valvulitis pada pada demam
reumatik akut.
Kriteria
diagnosis oleh Jones meliputi dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dan
satu kriteria minor.
A. Kriteria
Mayor
- Karditis. Karditis paling sering terjadi pada anak dan remaja. Adanya karditis dapat dilihat dari gejala perikarditis, kardiomegali, gagal jantung, bising karena regurgitasi aorta dan mitral.
- Eritema marginatum dan nodul subkutan. Eritema marginatum berupa makula yang cepat membesar berbentuk cincin atau sabit dengan bagian tengah yang jernih. Eritema bisa menimbul, berkonfluens, dan hilang timbul atau menetap.
- Nodul subkutan jarang ditemui kecuali pada anak. Diameter < 2 cm, tidak dapat digerakkan, tidak nyeri tekan, dan menempel pada fasia atau sarung tendon di atas tonjolan tulang. Nodul menetap selama beberapa hari atau minggu, rekurens, dan tidak dapat dibedakan dari nodul reumatik.
- chorea Sydenham. Pergerakan chorea atetoid terutama pada wajah, lidah, dan ekstremitas bagian atas, mungkin merupakan manifestasi satu-satunya, hanya setengah kasus mempunyai tanda-tanda demam reumatik yang jelas. Gadis remaja lebih sering terkena, dan pada orang dewasa jarang. Kejadiannya sangat jarang namun paling diagnostik untuk demam reumatik.
- Artritis. Merupakan poliartritis migran yang melibatkan sendi-sendi besar secara berantai. Pada orang dewasa hanya satu sendi yang terkena. Artritis berlangsung selama 1-5 minggu dan mereda tanpa deformitas sisa.
B. Kriteria
minor, meliputi
- Demam dengan suhu 38.2–38.9 °C (100.8–102.0 °F)
- Arthalgia : Nyeri sendi tanpa pembengkakan (Tidak
dapat disertakan jika polyarthritis hadir sebagai gejala mayor)
- Meningkatnya erythrocyte
sedimentation rate (LED/ Laju Endap Darah) atau meningkatnya C
reactive protein
- Leukositosis
- Elektrokardiogram menunjukkan tanda-tanda blok
jantung, seperti interval PR memanjang (Tidak dapat disertakan jika
karditis hadir sebagai gejala mayor)
- Episode atau riwayat demam reumatik atau penyakit
jantung inaktif
*Tambahan:
- Didukung adanya bukti infeksi Streptokokus sebelumnya berupa kultur apus tenggorok yang positip atau tes antigen streptokokus yang cepat atau titer ASTO yang meningkat.
- Jika didukung adanya bukti infeksi Streptokokus sebelumnya, adanya 2 manifestasi mayor atau adanya 1 manifestasi mayor ditambah 2 manifestasi minor menunjukkan kemungkinan besar adanya demam reumatik.
Perubahan WHO untuk diagnosis penyakit jantung
reumatik dan demam reumatik
Pada negara berkembang di mana insidensi dan prevalensi demam reumatik dan penyakit jantung reumatik masih
tinggi dibandingkan negara maju mempunyai gambaran dan presentasi klinis yang
berbeda dibanding dinegara maju. Poliartritis, eritema marginatum dan nodul
subkutan jarang didapati dinegara berkembang dibandingkan dinegara maju, dan arthralgia
lebih sering ditemui dinegara berkembang dibandingkan dengan poliartritis
dinegara maju. Dua pengecualian penggunaan Kriteria Jones disebutkan pada
Revisi 1965 dan ditekankan lagi pada Update 1992 yaitu 1). Bila didapati adanya
murmur regurgitasi mitral atau aorta yang baru tanpa adanya kejadian reumatik
aktif seperti tanpa gejala, tanpa demam, dan mempunyai laju endap darah yang
normal dan 2). Pada chorea sydenham tanpa manifestasi minor yang lain.
Pada 2002–2003 WHO mengajukan kriteria untuk diagnosis DR dan PJR
(berdasarkan kriteria Jones yang telah direvisi).
Revisi kriteria WHO ini memfasilitasi diagnosis untuk:
·
a primary episode of RF
- recurrent
attacks of RF in patients without RHD
- recurrent
attacks of RF in patients with RHD
- rheumatic
chorea
- insidious
onset rheumatic carditis
- chronic
RHD.
Kesulitan untuk menegakkan diagnosis dengan tepat menyebabkan Kelompok
Studi WHO secara berhati-hati meninjau kembali kriteria Jones dan memandang
perlu untuk mengadakan beberapa perubahan. Kelompok ini menyimpulkan bahwa
bukti adanya infeksi sterptokokus grup A sebelumnya adalah menyimpulkan
penting, mengingat fasilitas laboratorium telah banyak tersedia di banyak
negara selama dua puluh tahun terakhir ini. Uji laboratorium untuk biakan dan
antibodi sterptokokus saat ini sudah dapat diperoleh di banyak negara. Juga
disimpulkan bahwa artralgia harus dipertahankan sebagai manifestasi minor, bila
tidak maka akan terjadi overdiagnosis.
Di
negara sedang berkembang tidak jarang pasien didiagosis untuk pertama kalinya
sebagai karditis reumatik aktif tanpa dukungan anamnesis, pemeriksaan fisis,
ataupun pemeriksaan laboratorium untuk memenuhi kriteria Jones yang direvisis.
Untuk membuat kriteria benar-benar lebih sesuai dengan pengalaman klinikus,
disetujui bahwa pada pasien dengan karditis yang datang diam-diam atau datang
terlambat, diagnosis demam reumatik dimungkinkan pada pasien yang manifestasi
satu-satunya adalah karditis aktif, sebagaimana halnya pada diagnosis chorea
Sydenham. Namun harus ditekankan bahwa dasar diagnosis tersebut haruslah secara
hati-hati ditentukan untuk membedakan dari penyakit jantung valvular kronik
yang diduga reumatik, dari mioperikarditis, dan dari kardiomiopati.
Akhirnya
kelompok studi menyimpulkan bahwa diagnosis demam reumatik akut kumat pada
pasien yang telah diketahui pernah menderita demam reumatik harus ditentukan
secara tersendiri. Pada pasien dengan riwayat demam reumatik atau penyakit
jantung reumatik yang dapat dipercaya, diagnosis haruslah didasarkan atas
manifestasi minor ditambah bukti adanya infeksi streptokokus yang baru. Diagnosis demam reumatik kumat mungkin baru dapat
ditegakkan sesudah waktu yang cukup lama untuk menyingkirkan diagnosis lain.
Dalam mengevaluasi pasien seperti ini harus diingat kemungkinkan endokarditis
infektif yang mungkin secara klinis menyerupai demam reumatik kumat. Kelambatan
diagnosis endokarditis infektif dapat berakibat amat serius.
Kelompok studi WHO menganjurkan bahwa kriteria Jones yang direvisi tahun
1982 dengan tambahan catatan di bawah, diambil sebagai pegangan umum. Pada tiga
golongan pasien yang diuraikan di bawah, diagnosis demam reumatik diterima
tanpa adanya dua manifestasi mayor atau satu manifestasi mayor dan dua
manifestasi minor. Hanya pada dua yang pertama persyaratan untuk infeksi
streptokokus sebelumnya dapat dikesampingkan.
- chorea
dalam praktek diagnosis chorea reumatik ditegakkan apabila chorea merupakan manifestasi klinis
tunggal, sesudah sindrom grenyet (tic) dan penyebab gerakan
koreiform lain (misalnya lupus) disingkirkan. Kelompok WHO secara tegas
menyatakan bahwa chorea murni dapat dikecualikan dari pemakaian kriteria
Jones.
- Karditis
datang diam-diam atau datangnya terlambat. Pasien kelompok ini biasanya mempunyai
riwayat demam reumatik yang samar-samar atau tidak ada sama sekali, tetapi
selama periode beberapa bulan timbul gejala dan tanda umum seperti rasa
tidak enak badan, lesu, anoreksia, dengan penampakan sakit kronik. Mereka
sering datang dengan gagal jantung, dan pemeriksaan fisis dan laboratorium
menunjukkan adanya penyakit jantung valvular. Jenis miokarditis akibat
kelainan lain harus disingkirkan. Tanda radang aktif (biasanya reaksi fase
akut seperti LED dan PCR) diperlukan untuk membedakannya dari penyakit
katup reumatik inaktif. Pemeriksaan ekokardiografi bermanfaat untuk
memperkuat atau menyingkirkan adanya penyakit katup kronik. Endokarditis infektif mudah dirancukan dengan keadaan ini.
- Demam reumatik kumat (rekuren). Pada
pasien penyakit reumatik yang telah menetap (establihed) yang telah
tidak minum obat antiradang (salisilat atau kortikosteroid) selama paling
sedikit dua bulan, terdapatnya satu kriteria mayor atau demam, arthralgia,
atau naiknya reaktan fase akut memberikan kesan dugaan diagnosis demam reumatik
kumat, asalkan terdapat bukti adanya infeksi sterptokokus sebelumnya
(misalnya peninggian titer ASTO). Namun untuk diagnosis yang tepat
diperlukan pengamatan yang cukup lama untuk menyingkirkan penyakit lain
dan komplikasi penyakit jantung reumatik seperti endokarditis infektif.
Seringkali sukar membuktikan adanya karditis akut selama serang kumat.
Munculnya bising baru, bertambahnya kardiomegali, atau adanya bising gesek
perikadial biasanya membuktikan diagnosis karditis. Adanya nodul subkutan atau
eritema marginatum juga merupakan bukti terpercaya untuk terdapatnya karditis
aktif.
Sejak tahun 1944 diagnosis untuk menegakkan
penyakit ini telah menggunakan kriteria Jones dan telah beberapa kali mengalami
perbaikan dan revisi. Hal ini terjadi karena dirasakan adanya over diagnosis
atau under diagnosis dalam menegakkan
diagnosis penyakit ini berdasarkan kriteria Jones. Pada tabel di bawah dapat
dilihat kriteria Jones yang telah beberapa kali mengalami perubahan.
Komplikasi
Gagal jantung dapat terjadi pada beberapa kasus. Komplikasi lainnya termasuk aritmia jantung, pankarditis dengan efusi yang luas, pneumonitis reumatik, emboli paru-paru dan kelainan katup jantung,
Gagal jantung dapat terjadi pada beberapa kasus. Komplikasi lainnya termasuk aritmia jantung, pankarditis dengan efusi yang luas, pneumonitis reumatik, emboli paru-paru dan kelainan katup jantung,
Pemeriksaan Penunjang
Pasien demam
reumatik 80% mempunyai ASTO (antistreptolysin O) positif. Ukuran proses
inflamasi dapat dilakukan dengan pengukuran LED (Laju Endap Darah) dan protein C-reaktif.
Ekokardiografi
Saat ini pemeriksaan
ekokardiografi memegang peranan
penting pada bidang kardiologi, karena pemeriksaan ini mudah dilakukan, hasilnya cepat
diperoleh dengan tingkat akurasi yang tinggi. Tetapi pemeriksaan ini
memerlukan alat yang
harganya relatif mahal dan
memerlukan ketrampilan
tinggi dalam melakukan dan menilai hasilnya. Pada DR dan PJR pemeriksaan ini
juga memegang peranan, walaupun pemeriksaan ini bukan pemeriksaan standard
dalam menegakkan diagnosis. Pemeriksaan 2D
echo- Doppler dan colour flow Doppler
echocardiography cukup sensitif dan memberikan informasi yang spesifik
terhadap kelainan jantung. Pemeriksaan M-mode echocardiography dapat memberikan
informasi mengenai fungsi ventrikel. Pemeriksaan 2D echocardiography dapat memberikan informasi mengenai gambaran
struktur anatomi jantung secara realistic, sedangkan pemeriksaan 2-dimensional echo-Doppler dan colour flow Doppler echocardiography cukup
sensitive untuk mengenali adanya aliran darah yang abnormal dan regurgitasi
katup jantung.
Pada pemeriksaan orang normal bisa didapati regurgitasi katup yang
fisiologis yang bervariasi: misalnya pada regurgitasi mitral didapati 2,4-45
persen, regurgitasi aorta 0-33 persen, regurgitasi tricuspid 6,3-95 persen dan
regurgitasi pulmonal 21,9-92 persen. Memperhatikan hal tersebut untuk menghindarkan misinterpretasi maka WHO
mengemukakan peranan pemeriksaan ekokardiografi dalam diagnosis karditis pada
DR dan pemeriksaan regurgitasi katup.
Pemeriksaan ekokardiografi pada karditis reumatik bisa diperoleh keadaan
mengenai ukuran atrium, ventrikel, penebalan katup, daun katup yang prolaps dan
disfungsi ventrikel. Pada karditis DR akut didapati nodul pada daun katup
sekitar 25 persen dan dapat menghilang pada follow-up. Gagal Jantung kongestif
pada DR yang ada berhubungan dengan insufisiensi katup mitral dan aorta dan
disfungsi miokard. Pada mitral regurgitasi didapati kombinasi valvulitis,
dilatasi annulus mitral, prolaps daun katup, dengan atau tanpa pemanjangan
kordae tendinea. Pemeriksaan eko-doppler dan
eko berwarna dapat membantu diagnosis reumatik karditis akut pada pasien
dengan bising jantung yang kurang jelas atau dengan poliartritis dan minor
manifestasi yang kurang jelas.
Derajat regurgitasi katup yang terjadi berdasarkan pemeriksaan ekokardiografi
dan angiografi secara tradisional dibagi atas 5 skala (0+, 1+, 2+, 3+ and 4+).
Tetapi berdasarkan colour flow Doppler
mapping dibagi atas 6 skala yaitu:
0 : Nil, yaitu physiological or trivial regurgitant jet <1.0 cm, terbatas,
kecil, durasinya pendek, bersifat early
systolic pada katup mitral atau early
diastolic pada katup aorta.
0+ : Regurgisi jet yang sangat ringan, lebih dari 1.0 cm, lebar, berlokasi
tepat di atas atau di bawah katup, terdapat pada fase systole di katup mitral atau fase diastole di katup
aorta sedangkan secara klinis bising jantung tidak terdengar.
1+ :
Regurgitasi jet ringan.
2+ :
Regurgitasi jet sedang, dengan area lebih panjang dan lebih lebar
3+ : Regurgitasi jet sedang-berat dan mencapai dinding atrium kiri
(regurgitasi mitral) atau ventrikel kiri (regurgitasi aorta)
4+ : Regurgitasi jet berat, diffuse kedalam atrium kiri yang membesar
dengan aliran sistolik balik ke vena pulmonal (katup mitral); pembesaran
ventrikel kiri yang diisi dengan regurgitasi jet (katup aorta).
Pemeriksaan ekokardiografi untuk menegakkan diagnosis insufisiensi mitral
dan atau insufisiensi aorta karena karditis reumatik tersembunyi ditegakkan
setelah kausa non reumatik disingkirkan, seperti anomali congenital mitral valve cleft, degenerasi floppy mitral valve,
bicuspid aortic valve; dan kelainan katup didapat karena infektif endocarditis,
dan penyakit sistemik lainnya.
Pada penyakit jantung katup yang kronik pemeriksaan ekokardiografi 2
dimensi dapat memperlihatkan kelainan anatomi katup mitra, aorta, tricuspid dan
pulmonal, annulus katup dan gambaran lainnya. Pemeriksaan Doppler berwarna
dapat mengevaluasi aliran darah yang melalui
daun katup secara kualitatif dan
kuantitatif dan menilai derajatnya. Kelainan congenital atau didapat dan kelainan
katup non reumatik dapat disingkirkan dengan pemeriksaan ini
Diagnosis Karditis reumatik berulang pada pasien dengan riwayat DR
sebelumnya dan DR berulang berhubungan dengan karditis, perikarditis,
regurgitasi katup yang baru atau perburukan dari lesi yang ada, pembesaran ruang-ruang jantung dan gagal
jantung. Keadaan ini dapat dikenali dengan pemeriksaan ekokardiografi.
Diagnosis karditis reumatik subklinis secara tradisional ditegakkan dengan
adanya bising regurgitasi mitral dan atau bising regurgitasi aorta. Pemeriksaan
ekokardiografi 2 dimensi, eko-doppler dan Doppler berwarna dapat mendeteksi
pada karditis reumatik subklinis. Pemeriksaan ekokardiografi akan
memperlihatkan:
(i) panjang regurgitant jet >1cm;
(ii) regurgitant jet terdapat sekurang-kurangnya pada 2 dataran
pemeriksaan ekokardiografi;
(iii) gambaran mosaic colour jet dengan
peak velocity >2.5 m/s; and
(iv) regurgitant
jet terdapat pada fase sistole
(katup mitral) dan fase diastole (katup aortic).
Pada beberapa kasus karditis reumatik subklinis didapati dilatasi annulus,
prolaps daun katup, pemanjangan kordae mitral anterior yang menunjukkan keterlibatan atau kerusakan
katup. Pasien dengan karditis reumatik subklinis murmur akan berkembang dan
terdengar dalam 2 minggu dan dapat berlanjut selama 18 bulan sampai 5 tahun
atau semakin bertambah berat dan irreversible seperti mitral stenosis
Keuntungan dan kerugian pemeriksaan ekokardiografi Doppler pada DR jelas diketahui manfaatnya dalam
mendeteksi adanya valvulitis pada DR, di mana dengan
pemeriksaan auskultasi rutin tidak selamanya dapat dikenali adanya regurgitasi
valvular. Keuntungan kedua dari pemeriksaan ekokardiografi dapat mendeteksi
struktur katup dan juga gangguan fungsi katup yang disebabkan non reumatik
(seperti prolaps katup mitra, bicuspid katup aorta) dan mencegah salah
diagnosis sebagai karditis reumatik. Pemeriksaan ekokardiografi Doppler sangat
sensitive untuk menegakkan diagnosis regurgitasi katup, sehingga dapat
menyebabkan over diagnosis regurgitasi katup fisiologis sebagai disfungsi
organic atau sebaliknya. Keadaan ini akan menyebabkan laporan prevalensi
karditis reumatik dengan pemeriksaan ekokardiografi lebih tinggi dari laporan
klinis.
Dan harus diingat dinegara berkembang di mana DR dan PJR masih menjadi beban
kesehatan yang berat penyediaan alat ekokardiografi belum dapat tersedia secara
luas.
Diagnosis Banding
Tidak ada satupun gejala klinis maupun kelainan
laboratorium yang khas untuk demam reumatik/penyakit jantung reumatik. Banyak
penyakit lain yang mungkin memberi gejala yang sama atau hampir sama dengan
demam reumatik/penyakit jantung reumatik. Yang perlu diperhatikan ialah infeksi
piogen pada sendi yang sering disertai demam serta reaksi fase akut. Bila
terdapat kenaikan yang bermakna titer ASTO akibat infeksi Streptococcus
sebelumnya (yang sebenarnya tidak menyebabkan demam reumatik), maka seolah-olah
kriteria Jones sudah terpenuhi. Evaluasi terhadap riwayat infeksi Streptococcus
serta pemeriksaan yang teliti terhadap kelainan sendinya harus dilakukan dengan
cermat agar tidak terjadi diagnosis berlebihan.
Reumatoid artritis serta lupus eritrmatosus sistemik juga
dapat memberi gejala yang mirip dengan demam reumatik . Diagnosis banding
lainnya ialah purpura Henoch-Schoenlein, reaksi serum, hemoglobinopati, anemia
sel sabit, artritis pasca infeksi, artritis septik, leukimia dan endokarditis
bakterialis sub akut.
Tabel
diagnosis banding demam reumatik
Demam reumatik
|
Artritis reumatoid
|
Lupus eritomatosus sistemik
|
|
Umur
|
5-15 tahun
|
5 tahun
|
10 tahun
|
Rasio
kelamin
|
Perempuan 2:1
|
Perempuan 1,5:1
|
Perempuan 5:1
|
Kelainan
sendi
Sakit
Bengkak
Kelainan
Ro
|
Hebat
Non
spesifik
Tidak
ada
|
sedang
Non spesifik
Sering (lanjut)
|
Biasanya ringan
Non spesifik
Kadang-kadang
|
Kelainan
kulit
|
Eritema
marginatum
|
Makular
|
Lesi
kupu-kupu
|
Karditis
|
ya
|
Jarang
|
Lanjut
|
Laboratorium
Lateks
Aglutinasi
sel domba
Sediaan sel LE
|
-
-
|
± 10%
± 10%
± 5%
|
|
Respon
terhadap salisilat
|
cepat
|
Biasanya
lambat
|
Lambat / -
|
Penatalaksanaan
Tatalaksana demam reumatik aktif atau reaktivasi adalah sebagai berikut:
1.
Tirah baring dan mobilisasi bertahap sesuai keadaan
jantung
2.
Eradikasi terhadap kuman streptokokus dengan pemberian
penisilin benzatin 1,2 juta unit im bila berat badan > 30 kg dan
600.000-900.000 unit bila berat badan < 30 kg, atau penisilin 2 x 500.000
unit/hari selama 10 hari. Jika alergi penisilin, di berikan eritromisin 2 x 20
mg/kg BB/hari untuk 10 hari. Untuk profilaksis di penisilin benzatin tiap 3
atau 4 minggu sekali. Bila alergi penisilin, diberikan sulfadiazin 0,5 g/hari
untuk berat badan < 30 kg atau 1 g untuk yang lebih besar. Jangan lupa
menghitung sel darah putih pada minggu-minggu pertama, jika leukosit < 4.000
dan neutrofil < 35% sebaiknya obat dihentikan. Diberikan sampai 5-10 tahun
pertama bila ada kelainan jantung dan rekurensi.
3.
Antiinflamasi
Salisilat
biasanya dipakai pada demam reumatik tanpa karditis dan ditambah kortikosteroid
jika ada kelainan jantung. Pemberian salisilat dosis tinggi dapat menyebabkan
intoksikasi dengan gejala tinitus dan hiperpnea. Untuk pasien dengan arthralgia
saja cukup diberikan analgesik
Pada artritis sedang atau berat
tanpa karditis atau tanpa kardiomegali, salisilat diberikan 100 mg/kg BB/hari
dengan maksimal 6 g/hari, dibagi dalam 3 dosis selama 2 minggu, kemudian
dilanjutkan 75 mg/kg BB/hari selama 4-6 minggu kemudian.
Kortikosteroid diberikan pada pasien
dengan karditis dan kardiomegali. Obat terpilih adalah prednison dengan dosis
awal 2 mg/kg BB/hari terbagi dalam 3 dosis dan dosis maksimal 80 mg/hari. Bila
gawat diberikan metilprednisolon iv 10-40 mg diikuti prednison oral. Sesudah
2-3 minggu secara berkala pengobatan prednison dikurangi 5 mg setiap 23 hari.
Secara bersamaan, salisilat dimulai dengan 75 mg/kg BB/hari dan dilanjutkan
selama 6 minggu sesudah prednison dihentikan. Tujuannya untuk menghindari efek rebound
atau infeksi streptokokus baru.
Pengobatan terhadap DR ditujukan pada 3 hal yaitu 1). Pencegahan primer
pada saat serangan DR, 2). Pencegahan sekunder DR, 3). Menghilangkan gejala
yang menyertainya, seperti tirah baring, penggunaan anti inflamasi,
penatalaksanaan gagal jantung dan chorea.
Pencegahan primer bertujuan untuk eradikasi kuman streptokokus pada saat serangan DR dan diberikan fase awal
serangan. Jenis antibiotika, dosis dan frekuensi pemberiannya dapat dilihat
pada 2 tabel di
bawah ini.
Tabel
Pencegahan Primer dan Sekunder Demam Reumatik
Pencegahan primer: pengobatan terhadap faringitis streptokokus
untuk mencegah serangan primer demam reumatik
Cara
Pemberian
|
Jenis
Antibiotik
|
Dosis
|
Frekuensi
|
Intramuskuler
|
Benzatin PNC G
|
1,2 juta unit (600.000 unit untuk BB <27 kg)
|
Satu kali
|
Oral
|
Penisilin V
|
250 mg/400.000 unit
|
4 kali sehari selama 10 hari
|
Eritromisin
|
40 mg/kg BB/hari
(jangan lebih dari 1 gr/hari)
|
3-4 kali sehari
selama 10 hari
|
|
Yang lain seperti
Klindamisin, Nafsilin Amoksilin, Sefaleksin
|
Dosis bervariasi
|
||
Tetrasiklin dan sulfa jangan
digunakan
|
Pencegahan sekunder: pencegahan
berulangnya demam reumatik
Cara pemberian
|
Jenis
Antibiotik
|
Dosis
|
Frekuensi
|
Intramuskuler
|
Benzatin PNC G
|
1,2 juta
unit
|
setiap 3-4 minggu
|
Oral
|
Penisilin
V
|
250 mg
|
2 kali sehari
|
Sulfadiazin
|
500 mg
|
sekali sehari
|
|
Eritromisin
|
250 mg
|
2 kali sehari
|
|
Tetrasiklin jangan digunakan
|
Pencegahan sekunder DR bertujuan untuk mencegah serangan ulangan DR, karena
serangan ulangan dapat memperberat kerusakan katup katup jantung dan dapat
menyebabkan kecacatan dan kerusakan katup jantung. Jenis antibiotika yang
digunakan dapat dilihat pada tabel di atas dan durasi
pencegahan sekunder dapat dilihat pada tabel di bawah:
Tabel durasi
pencegahan sekunder demam reumatik
Kategori
|
Durasi
|
Demam reumatik dengan karditis dan kelainan katup yang menetap*
|
Sekurang-kurangnya 10 tahun sejak episode
yang terakhir dan sampai usia 40 tahun dan kadang-kadang seumur hidup
|
Demam reumatik dengan karditis tanpa kelainan katup yang menetap*
|
10 tahun atau sampai dewasa, bisa lebih lama
|
Demam
reumatik tanpa karditis
|
5 tahun atau sampai usia 21 tahun, bisa
lebih lama
|
* Klinis atau
ekokardiografi
Tetapi sayangnya preparat Benzatine Penisilin G saat ini sukar didapat dan
tidak tersedia diseluruh wilayah Indonesia. Pada serangan DR sering didapati
gejala yang menyertainya seperti gagal jantung atau chorea. Penderita gagal
jantung memerlukan tirah baring dan anti inflamasi perlu diberikan pada
penderita DR dengan manifestasi mayor karditis dan artritis. Petunjuk mengenai
tirah baring dan dan ambulasi dan penggunaan anti inflamasi dapat dilihat pada tabel di
bawah
Tabel
Petunjuk Tirah Baring dan Ambulasi
Hanya
artritis
|
Karditis
minimal
|
Karditis
sedang
|
Karditis
berat
|
|
Tirah
baring
|
2 minggu
|
2-3 minggu
|
4-6 minggu
|
2-4 bulan
|
Ambulasi dalam rumah
|
1-2 minggu
|
2-3 minggu
|
4-6 minggu
|
2-3 bulan
|
Ambulasi luar (sekolah)
|
2 minggu
|
2-4 minggu
|
1-3 bulan
|
2-3 bulan
|
Aktivitas penuh
|
Setelah 4-6 minggu
|
Setelah 6-10 minggu
|
Setelah 3-6 bulan
|
bervariasi
|
Tabel Rekomendasi Penggunaan Anti Inflamasi
Anti inflamasi
|
Hanya artitis
|
Karditis minimal
|
Karditis sedang
|
Karditis berat
|
Prednison
|
-
|
-
|
2-4 minggu*
|
2-6 minggu*
|
Aspirin
|
1-2 minggu
|
2-4 minggu +
|
6-8 minggu
|
2-4 bulan
|
Dosis: Prednison 2 mg/kg
BB/hari dibagi 4 dosis Aspirin 100 mg/kg BB/hari dibagi 6 dosis
* Dosis prednison
ditappering dan aspirin dimulai selama minggu akhir
+ Aspirin dapat dikurangi
menjadi 60 mg/kg BB/hari setelah 2 minggu pengobatan
Pada penderita DR dengan gagal jantung perlu diberikan diuretika, restriksi
cairan dan garam. Penggunaan digoksin pada penderita DR masih kontroversi
karena resiko intoksikasi dan aritmia. Pada penderita chorea dianjurkan
mengurangi stres fisik dan emosi. Penggunaan anti inflamasi untuk mengatasi
chorea masih kontroversi. Untuk kasus chorea yang berat fenobarbital atau haloperidol dapat digunakan.
Selain itu dapat digunakan valproic acid, chlorpromazin dan diazepam.
Penderita penyakit jantung reumatik tanpa
gejala tidak memerlukan terapi. Penderita dengan gejala gagal jantung yang
ringan memerlukan terapi medik untuk
mengatasi keluhannya. Penderita yang simtomatis memerlukan terapi pembedahan atau intervensi invasif. Tetapi terapi pembedahan dan intervensi ini masih terbatas tersedia serta memerlukan biaya yang
relatif mahal dan memerlukan follow up jangka panjang.
Prognosis
Morbiditas demam reumatik akut berhubungan erat
dengan derajat keterlibatan jantung. Mortalitas sebagian besar juga akibat
karditis berat, komplikasi yang sekarang sudah jarang terlihat di negara maju
(hampir 0%) namun masih sering ditemukan di negara berkembang (1-10%). Selain
menurunkan mortalitas, perkembangan penisilin juga mempengaruhi kemungkinan
berkembangnya menjadi penyakit valvular kronik setelah serangan demam reumatik
aku. Sebelum penisilin, persentase pasien berkembang menjadi penyakit valvular
yaitu sebesar 60-70% dibandingkan dengan setelah penisilin yaitu hanya sebesar
9-39%.
Profilaksis sekunder yang efektif mencegah kumatnya demam reumatik akut
hingga mencegah perburukan status jantung. Pengamatan menunjukkan angka
penyembuhan yang tinggi penyakit katup bila profilaksis dilakukan secara
teratur. Informasi ini harus disampaikan kepada pasien, bahwa profilaksis dapat
memberikan prognosis yang baik, bahkan pada pasien dengan penyakit jantung yang
berat.
Daftar
Pustaka/Referensi
- Sastroasmoro S, Madiyono B. Buku Ajar Kardiologi Anak. Jakarta: Binarupa Aksara, 1994. Hal 279-314
- Hasan, Rusepro. Buku Kuliah Ilmu kesehatan anak jilid dua edisi keempat. Jakarta: Bagian ilmu kesehatan anak FK UI, 1985. Hal. 734-752
- Pusponegoro HD. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak Edisi 1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2004. hal 149-153
- Fayler, DC. Kardiologi Anak Nadas. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1996. Hal 354-366
- Behrman, R.E. Nelson, Ilmu Kesehatan Anak vol. 2 Ed. 15. Jakarta: EGC; 1999. hal 929-935
- Samsi, TK, dkk. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak: RS. Sumber Waras Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara. Jakarta: UPT Penerbitan Universitas Tarumanagara, 2000. hal 190-193
- Penn State Medical Center. Rheumatic Fever. 31 Oktober 2006. (online). (http://www..hmc.psu.edu, diakses 13 Oktober 2015)
- Ghaleb, Thuria. Rheumatic Fever Still Threatens Yemens’s Children. 22 Mei 2007. (online). (http://www.yobserver.com, diakses 13 Oktober 2015)
- Penatalaksanaan beberapa penyakit jantung dengan kegawatan pada neonatus. Abdullah Afif Siregar, Sahat Halim, Mansur karo-Karo: MKN. Vol.XXII, No 4, hal 228-239, Des 1992.
- Insidens dan problem penyakit jantung bawaan dan penyakit jantung didapat di Bagian IKA FK-USU Medan: A. Afif Siregar, T.M.Thaib, Rusdidjas dan T. Bahri Anwar Djohan. Dipresentasikan pada Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak IX, Semarang, 14-17/06/1993.
- Demam rematik dan penyakit jantung rematik di Bagian Ilmu Kesehatan Anak fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS CM Jakarta: A. Afif Siregar, Bambang Madiyono, Ismed N Oesman, Sudigdo Sastroasmoro, Sukman Tulus Putra. MKN Vol.XXII hal 133-147 No.3- Sep 1993.
- Lopez WL, de la Paz AG. Jones Criteria for Diagnosis of Rheumatic Fever. A Historical Review and Its Applicability in Developing Countries. In: Calleja HB, Guzman SV. Rheumatic fever and Rheumatic Heart Disease, epidemiology, clinical aspect, management and prevention and control programs. A publication of the Philipine Foundation for the prevetion and control of rheumatic fever/rheumatic heart disease: Manila, 2001; p. 17- 26.
- Chakko S, Bisno AL. Acute Rheumatic Fever. In: Fuster V, Alexander RW, O’Rourke et al. Hurst The Heart; vol.II; 10th ed. Mc Graw-Hill: New York, 2001; p. 1657 – 65.
- Meador RJ, Russel IJ, Davidson A, et al. Acute Rheumatic Fever. Available from: http://www.emedicine.com/med/topic2922.htm
- Stollerman GH. Rheumatic fever (Seminar). Lancet 1997; 349: 935- 42
- Madiyono B. Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik pada Anak di Akhir Milenium Kedua. In Kaligis RWM, Kalim H, Yusak M et al. Penyakit Kardiovaskular dari Pediatrik Sampai Geriatrik. Balai Penerbit Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta 2001.p.3-16.
- Stollerman GH. Can We Eradicate Rheumatic Fever in the 21st Century? Indian Heart J 2001; 53: 25 –34.
- Parillo S, Parillo CV, Sayah AJ, et al.Rheumatic Fever. Available from: http://www.emedicine.com/emerg/topic509.htm
- Narula J, Chandrasekar Y, Rahimtoola S. Diagnosis of active rheumatic carditis. The Echoes of change. Circulation 1999; 100:1576– 81.
- Saxena A. Diagnosis of Rheumatic Fever: current status of Jones Criteria and role of echocardiography. Indian J Pediatr; 2000 Mar:67(3 Suppl): S11-4.
- Medeiros CCJ, Moraes AV, Snitcowsky R, et al. Echocardiographic diagnosis of rheumatic fever and rheumatic valvar disease. Cardiol Young 1992; 2:236-39.
- Vasan RS, Shrivastava S, Vijayakumar M, et al. Echocardiographic evaluation of Patients with acute rheumatic fever and rheumatic carditis. Circulation 1996; 94: 73-82.
- Park MK. Acute Rheumatic Fever. In: Pediatric Cardiology for practitioners; 3rd ed. St.Louis: Mosby, 1996; p. 302-09.
- Achutti A, Achutti VR. Epidemiologi of rheumatic fever in the developing world. Cardiol Young 1992; 2:206-15.
- Veasy GL. Rheumatic fever –T.Duckett Jones and the rest of the story. Cardiol Young 1995; 5: 293-01.
- Williamson L, Bowness P, Mowat A, et al. Difficulties in diagnosing acute rheumatic fever-arthritis may be short lived and carditis silent. BMJ 2000; 320: 362-65.
- Ty ET and Ortiz EE. M-mode, cross sectional and color flow Doppler echocardiographic finding in acute rheumatic fever. Cardiol Young 1992; 2:229-35.
- Sukman TP, Sastroasmoro S, Madiyono B, et al. Echocardiographic diagnosis of acute rheumatic fever in children. Paediat Indones 1993; 33:227-31.
- Ashby, Carol Turkington, Bonnie Lee (2007). The encyclopedia of infectious diseases (3rd ed.). New York: Facts On File. p. 292.
- "Rheumatic Fever 1997 Case Definition". cdc.gov. 3 February 2015. Retrieved 19 October 2015.
- Spinks, A; Glasziou, PP; Del Mar, CB (5 November 2013). "Antibiotics for sore throat.". The Cochrane database of systematic reviews.
- Kumar, Vinay; Abbas, Abul K; Fausto, Nelson; Mitchell, Richard N (2007). Robbins Basic Pathology (8th ed.). Saunders Elsevier. pp. 403–6.
- GBD 2013 Mortality and Causes of Death, Collaborators (17 December 2014). "Global, regional, and national age-sex specific all-cause and cause-specific mortality for 240 causes of death, 1990-2013: a systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2013.". Lancet 385 (9963): 117–171.
- Quinn, RW (1991). "Did scarlet fever and rheumatic fever exist in Hippocrates' time?". Reviews of infectious diseases 13 (6): 1243–4.
- "rheumatic fever" at Dorland's Medical Dictionary
- Abbas, Abul K.; Lichtman, Andrew H.; Baker, David L.; et al. (2004). Basic immunology: functions and disorders of the immune system (2 ed.). Philadelphia, Pennsylvania: Elsevier Saunders.
- Faé KC, da Silva DD, Oshiro SE, et al. (May 2006). "Mimicry in recognition of cardiac myosin peptides by heart-intralesional T cell clones from rheumatic heart disease". J. Immunol. 176 (9): 5662–70.
- Cotran, Ramzi S.; Kumar, Vinay; Fausto, Nelson; Nelso Fausto; Robbins, Stanley L.; Abbas, Abul K. (2005). Robbins and Cotran pathologic basis of disease. St. Louis, Mo: Elsevier Saunders.
- Kaplan, MH; Bolande, R; Rakita, L; Blair, J (1964). "Presence of Bound Immunoglobulins and Complement in the Myocardium in Acute Rheumatic Fever. Association with Cardiac Failure". The New England Journal of Medicine 271 (13): 637–45.
- Brice, Edmund A. W; Commerford, Patrick J. (2005). "Rheumatic Fever and Valvular Heart Disease". In Rosendorff, Clive. Essential Cardiology: Principles and Practice. Totowa, New Jersey: Humana Press. pp. 545–563.
- Caldas, AM; Terreri, MT; Moises, VA; Silva, CM; Len, CA; Carvalho, AC; Hilário, MO (2008). "What is the true frequency of carditis in acute rheumatic fever? A prospective clinical and Doppler blind study of 56 children with up to 60 months of follow-up evaluation". Pediatric cardiology 29 (6): 1048–53.
- Guilherme, L; Kalil, J; Cunningham, M (2006). "Molecular mimicry in the autoimmune pathogenesis of rheumatic heart disease". Autoimmunity 39 (1): 31–9.
- Kemeny, E; Grieve, T; Marcus, R; Sareli, P; Zabriskie, JB (1989). "Identification of mononuclear cells and T cell subsets in rheumatic valvulitis". Clinical immunology and immunopathology 52 (2): 225–37.
- Roberts, S; Kosanke, S; Terrence Dunn, S; Jankelow, D; Duran, CM; Cunningham, MW (2001). "Pathogenic mechanisms in rheumatic carditis: Focus on valvular endothelium". The Journal of infectious diseases 183 (3): 507–11.
Kata Kunci Pencarian : penyakit reumatik jantung, demam, artikel, jurnal, tesis, makalah, referat, SKP (Satuan Kredit Profesi), Kompetensi, pdf, word, .pdf, .doc, .docx, tesis, skripsi, desertasi, kardiologi, ilmu penyakit dalam, refrat, modul BBDM, Belajar Bertolak Dari Masalah, Problem Based Learning, askep, asuhan keperawatan
Terima kasih buat penjelasan penyakit jantung reumatik yg lengkap + good explanation 👍
BalasHapus