Definisi
Beberapa
definisi hipertensi adalah sebagai berikut :
- Hipertensi adalah apabila tekanan darah
sistolik > 140 mmHg dan tekanan diastolik > 90 mmHg, atau apabila pasien
memakai obat anti hipertensi (Slamet Suyono, 2001 dan Arif Mansjoer, 2001).
- Menurut Tom Smith (1991), hipertensi
atau yang lebih dikenal dengan tekanan darah tinggi adalah suatu keadaan dimana
seseorang mengalami peningkatan tekanan darah di atas normal.
- Hipertensi menurut WHO adalah hipertensi
jika tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg atau tekanan diastolik lebih
dari 90 mmHg.
- Menurut N.G. Yasmin A (1993) hipertensi
adalah peningkatan dari tekanan sistolik standar dihubungkan dengan usia,
tekanan darah normal adalah refleksi dari kardiak out put atau denyut jantung
dan resistensi puerperal.
- Menurut Alison Hull (1996), hipertensi
adalah desakan darah yang berlebihan dan hampir konstan pada arteri. Tekanan
dihasilkan oleh kekuatan jantung ketika memompa darah, hipertensi, berkaitan
dengan kenaikan tekanan diastolik, dan tekanan sistolik atau kedua-duanya
secara terus menerus.
- Hipertensi adalah tekanan darah
persisten dimana tekanan sistoliknya diatas 140 mmHg dan tekanan diastoliknya
diatas 90 mmHg. (Brunner dan Suddarth, 896 ; 2002).
- Hipertensi adalah tekanan darah tinggi
yang abnormal dan diukur paling tidak pada tiga kesempatan yang berbeda.
(Elizabeth J. Corwin, 484; 2009).
- Hipertensi adalah kondisi abnormal dari
hemodinamik, dimana menurut WHO tekanan saitolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan
diastoliknya > 90 mmHg (untuk usia < 60 tahun) dan sistolik ≥ 90 dan atau
tekanan diastoliknya > 95 mmHg (untuk usia > 60 tahun). (Taufan Nugroho,
2011).
Dari beberapa
definisi mengenai hipertensi di atas dapat disimpulkan bahwa hipertensi adalah
tekanan darah diatas 140/90 mmHg, tinggi rendahnya juga tergantung pada usia.
Adapun
Klasifikasi tekanan darah orang dewasa berusia 18 tahun keatas menurut Joint National
Committee on Prevenion, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood
pressure, dalam buku Brunner dan suddarth (896, 2002). Yaitu :
Klasifikasi
Tekanan Darah Tinggi
KATEGORI
|
SISTOLIK (mmHg)
|
DIASTOLIK (mmHg
|
Normal
|
< 130
|
< 85
|
Tinggi Normal Hipertensi
|
130 – 139
|
85 – 89
|
Stadium 1 (ringan)
|
140 – 159
|
90 – 99
|
Stadium 2 (Sedang)
|
160 – 179
|
100 – 109
|
Stadium 3 (berat)
|
180 – 209
|
110 – 119
|
Stadium 4 (sangat berat)
|
> 210
|
> 120
|
a. Anatomi jantung
Jantung adalah
organ berongga, berotot, yang terletak ditengah toraks dan ia menempati
rongga antara paru dan diafragma yang beratnya sekitar 300 g. Daerah pertengahan
dada antara kedua paru disebut sebagai mediastinum. Sebagaian besar rongga
mediastinum ditempati oleh jantung yang terbungkus dalam kantung fibrosa tipis
yang disebut pericardium. Sisi kanan jantung dan kiri masing-masing tersusun
atas dua kamar, atrium dan ventrikel. Dinding yang memisahkan kamar kanan dan
kiri disebut septum. Karena posisi jantung agak memutar dalam rongga dada, maka
ventrikel kanan terletak lebih ke anterior ( tepat di bawah sternum ) dan
ventrikel kiri lebih ke posterior.
b.
Fisiologi Jantung
Fungsi jantung
adalah memompa darah ke jaringan, menyuplai oksigen dan zat nutrisi lain sambil
mengangkut karbondioksida dan sampah hasil metabolisme. Aktivitas listrik
jantung terjadi akibat ion bergerak menembus membran sel. Pada keadaan
istirahat otot jantung terdapat dalam keadaan terpolarisasi dan pada saat
siklus jantung bermula saat dilepaskannya implus listrik disebut fase
depolarisasi. Adapun repolarisasi terjadi saat sel kembali kekeadaan dasar dan
sesuai dengan relaksasi otot miokardium.Prinsip penting yang menentukan arah
aliran darah adalah aliran cairan dari daerah bertekanan tinggi ke daerah
bertekanan rendah. Perubahan tekanan yang terjadi dalam kamar jantung selama
siklus jantung di mulai dengan diastolic saat ventrikel berelaksasi. Selama
diastolik, katup atrioventrikularis terbuka dan darah yang kembali dari vena
mengalir ke atrium dan kemudian ke ventrikel. Pada titik ini ventrikel itu
sendiri mulai berkontraksi ( sistolik ) sebagai respon propagasi implus listrik
yang dimulai di nodus SA beberapa milidetik sebelumnya. Selama sistolik tekanan
di dalam ventrikel dengan cepat meningkat, mendorong katup AV untuk menutup.
Pada saat berakhirnya sistolik, otot ventrikel berelaksasi dan tekanan dalam
kamar menurun dengan cepat. Secara bersamaan, begitu tekanan di dalam ventrikel
menurun drastissampai di bawah tekanan atrium, nodus AV akan membuka, ventrikel
mulai terisi dan urutan kejadian berulang kembali. ( Brunner & suddarth , 2002
; 720 – 724 ).
Faktor Resiko Hipertensi
Faktor Resiko Hipertensi
- Faktor resiko seperti : diet dan asupan
garam, stres, ras, obesitas, merokok, genetis
- Sistem saraf simpatis: tonus
simpatis dan variasi diurnal
- Keseimbangan antara modulator
vasodilatasi dan vasokonstriksi: endotel pembuluh darah berperan utama, tetapi
remodeling dari endotel, otot polos dan interstisium juga memberikan konstribusi
akhir
- Pengaruh sistem otokrin setempat
yang berperan pada sistem renin, angiotensin,aldosteron
Etiologi
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
- Hipertensi esensial atau hipertensi
primer yang tidak diketahui penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik.
Terdapat sekitar 95% kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti genetik,
lingkungan, hiperaktivitas susunan saraf simpatis, sistem renin-angiotensin,
defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca intraselular, dan faktor-faktor
yang meningkatkan risiko, seperti obesitas,
alkohol, merokok, serta polisitemia.
- Hipertensi sekunder atau hipertensi
renal. Terdapat sekitar 5% kasus. Penyebab spesifiknya diketahui seperti
penggunaan estrogen. Penyakit ginjal, hipertensi vaskular renal,
hiperaldosteronisme primer, dan sindrom Cushing, feokromositoma, koarktasio
aorta, hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan, dan lain-lain.
Penyebab terjadinya
hipertensi menurut Elizabeth J. Corwin, (2009 ; 485), antara lain :
- Kecepatan denyut jantung
- Volume sekuncup
- Asupan tinggi garam
- Vasokontriksi arterio dan arteri kecil
- Stres berkepanjangan
- Genetik
Sedangkan menurut Jan
Tambayong (2000) etiologi dari hipertensi adalah sebagai berikut :
a.
Usia
Insidens hipertensi makin meningkat
dengan meningkatnya usia. Hipertensi pada yang kurang dari 35 tahun dengan
jelas menaikkan insiden penyakit arteri koroner dan kematian prematur.
b.
Kelamin
Pada umumnya insidens pada pria lebih
tinggi daripada wanita, namun pada uia pertengahan dan lebih tua, insidens pada
waktu mulai meningkat, sehingga pada usia diatas 65 tahun, insidens pada wanita
lebih tinggi.
c.
Ras
Hipertensi pada yang berkulit hitam paling
sedikit dua kalinya pada yang berkulit putih. Akibat penyakit ini umumnya lebih
berat pada ras kulit hitam. Misalnya mmortalitas pasien pria hitam dengan
diastole 115 atau lebih, 3,3 kali lebih tinggi daripada pria berkulit putih,
dan 5,6 kali bagi wanita putih.
d.
Pola hidup
Faktor seperti pendidikan, penghasilan,
dan faktor pola hidup lain telah diteliti, tanpa hasil yang jelas.
Penghasilan rendah, dan kehidupan atau pekerjaan yang penus stes agaknya
berhubungan dengan insidens hipertensi yang lebih tinggi
Hubungan antara diabetes melitus dan
hipertensi kurang jelas, namun secara statistik nyata ada hubungan antara
hipertensi dan penyakit arteri koroner.
f.
Hipertensi sekunder
Seperti dijelaskan sebelumnya,
hipertensi dapat terjadi akibat yang tidak diketahui. Bila faktor penyebab
dapat diatasi, tekanan darah dapat kembali normal.
Patofisiologi
Mekanisme
yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak di pusat
pasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula jarak saraf
simpatis, yang berlanjut kebawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna
medula spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen.
Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke
bawah melalui sistem saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini,
neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf
pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilapaskannya norepinefrin
mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan
ketakutan dapat mempengaruhi respons penbuluh darah terhadap rangsang
vasokonstriktor.
Individu
dengan hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak
diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi. Pada saat
bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah seebagai
rangsang respons emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan
tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medula adrenal mensekresi epinefrin, yang
menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi kkortisol dan steroid
lainnya, yang dapat mempekuat respon vasokonsriktor pembiluh darah.
Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal, menyebabkan
pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian
diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriksi striktor kuat, yang pada
gilirannya merangsang sekresi aldesteron oleh korteks adenal. Hormon ini
menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan
peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung mencetuskan
keadaan hipertensi. (Brunner & Suddarth, 898; 2001).
Menurunnya
tonus vaskuler merengsang saraf simpatis dan diteruskan ke sel juguralis, dari
sel juguralis ini biasanya meningkatkan tekanan darah dan apabila diteruskan
pada ginjal maka akan mempengaruhi ekskresi paada renin yang berkaitan dengan
angiotensinogen.
Dengan adanya perubahan angiotensinogen II berakibat pada terjadinya vasokontriksi pada pembuluh darah sehingga terjadi kenaikan darah, selain itu juga dapat meningkatkan hormon aldosteron yang menyebabkan retensi natrium. Hal tersebut akan berekibat pada peningkatan tekanan darah. Dengan peningkatan tekanan darah maka akan menimbulkan kerusakan pada organ-organ seperti jantung.
Dengan adanya perubahan angiotensinogen II berakibat pada terjadinya vasokontriksi pada pembuluh darah sehingga terjadi kenaikan darah, selain itu juga dapat meningkatkan hormon aldosteron yang menyebabkan retensi natrium. Hal tersebut akan berekibat pada peningkatan tekanan darah. Dengan peningkatan tekanan darah maka akan menimbulkan kerusakan pada organ-organ seperti jantung.
Manifestasi
Klinis
Peninggian
tekanan darah kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala. Bila demikian,
gejala baru muncul setelah terjadi komplikasi pada ginjal, mata, otak, atau
jantung. Gejala lain yang sering ditemukan adalah sakit kepala, epistaksis, marah, telinga berdengung, rasa berat di
tengkuk, sukar tidur, mata berkunang-kunang, dan pusing.
Adapun
manifestasi klinis hipertensi menurut Elizabeth J. Corwin (2009 ; 487), antara
lain :
- Sakit kepala saat terjaga kadang-kadang
disertai mual dan muntah, akibat peningkatan tekanan darah intrakranium.
- Penglihatan kabur akibat kerusakan
hipertensif pada retina.
- Cara berjalan yang tidak mantap karena
kerusakan susuna saraf pusat.
- Nokturia yang disebabkan peningkatan
aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus.
- Edema dependen dan pembengkakan akibat
peningkatan tekanan kapiler
Sedangkan
menurut Marllyn Doengoes (2000). Tanda dari hipertensi adalah kelemahan, napas
pendek, frekuensi jantung meningkat, ansietes, depresi, obesitas, pusing, sakit
kepala, tekanan darah meningkat.
Individu yang menderita hipertensi
kadang tidak menampakkan gejala sampai bertahun-tahun. Gejala, bila ada
biasanya menunjukkan kerusakan vaskuler, dengan manifestasi yang khas sesuai sistem
organ yang divaskularisasi oleh pembuluh darah yang bersangkutan. Penyakit
arteri koroner dengan angina adalah gejala yang paling menyertai hipertensi.
Hipertofi ventrikel kiri terjadi sebagai respons peningkatan beban kerja
ventrikel saat dipaksa berkontraksi melawan tekanan sistemik yang meningkat.
Apabila jantung tidak mampu lagi menahan peningkatan beban kerja maka terjadi
gagal jantung kiri. Perubahan patologis pada ginjal dapat bermanifestasi
sebagai nokturia (peningkatan urinasi pada malam hari) dan azotemia
(peningkatan nitrogen urea darah dan kretinin). Keterlibatan pembuluh darah
otak dapat menimbulkan stroke atau serangan iskemik trasien yang termanifestasi
sebagai paralysis sementara pada satu sisi (hemiplegia) atau gangguan ketajaman
penglihatan.
Komplikasi
Komplikasi yang
dapat terjadi pada hipertensi menurut Elizabeth J. Corwin (2009), antara lain :
a.
Stroke
b.
Infark miokard
c.
Gagal ginjal
d.
Ensefalopati (kerusakan otak)
e.
Kejang
Sedangkan menurut
Sjaifoellah (2002) komplikasi pada hipertensi adalah angina pectoris, infark
miokard, hipertropi ventrikel kiri menyebabkan kegagalan jantung kongestif dan
kerusakan ginjal permanen menyebabkan kegagalan ginjal. Patofisiologi dari
beberapa komplikasi adalah:
1.
Stroke.
Stroke dapat timbul akibat perdarahan
tekanan tinggi di otak, atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh non
otak yang terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik
apabila arteri-arteri yang memperdarahi otak mengalami hipertropi dan menebal,
sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang diperdarahinya berkurang.
Arteri-arteri otak yang mengalami arterosklerosis dapat melemah sehingga
meningkatkan kemungkinan terbentuknya aneurisma (Corwin, 2000). Gejala tekanan
stroke adalah sakit kepala secara tiba-tiba, seperti, orang bingung, lambung
atau bertingkah laku seperti orang mabuk, salah satu bagian tubuh terasa lemah
atau sulit digerakkan (misalnya wajah, mulut, atau lengan terasa kaku, tidak
dapat berbicara secara jelas) serta tidak sadarkan diri secara mendadak
(Novianty, 2006).
2.
Infark Miokard.
Dapat terjadi infark miokardium apabila
arteri koroner yang arterosklerosis tidak dapat menyuplai cukup oksigen ke
miokardium atau apabila terbentuk thrombus yang menghambat aliran darah melalui
pembuluh darah tersebut. Karena hipertensi kronik dan hipertensi ventrikel,
maka kebutuhan oksigen miokardium mungkin tidak dapat terpenuhi dan dapat
terjadi iskemia jantung yang menyebabkan infark. Demikian juga hipertropi
ventrikel dapat menimbulkan perubahan-perubahan waktu hantaran listrik
melintasi ventrikel sehingga terjadi disritmia, hipoksia jantung, dan
peningkatan risiko pembentukan bekuan (Corwin, 2000).
3.
Gagal ginjal.
Gagal ginjal dapat terjadi karena
kerusakan progresif akibat tekanan tinggi pada kapiler-kapiler ginjal,
glomerolus. Dengan rusaknya glomerolus, darah akan mengalir ke unit-unit
fungsional ginjal, nefron akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi hipoksia
dan kematian. Dengan rusaknya membran glomerolus, protein akan keluar melalui
urin sehingga tekanan osmotik koloid plasma berkurang, menyebabkan edema yang
sering dijumpai pada hipertensi kronik (Corwin, 2000).
4.
Ensefalopati
Tanda gejala dari ensefalopati diantaranya nyeri
kepala hebat, berubahnya kesadaran, kejang dengan defisit neurologi fokal
azotermia, mual dan muntah-muntah (Stein, 2001). Ensefalopati dapat terjadi
terutama pada hipertensi maligna (hipertensi yang cepat). Tekanan yang tinggi
pada kelainan ini menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan mendorong cairan
ke dalam ruang intertisium di seluruh susunan saraf pusat. Neron-neron di
sekitarnya kolap dan terjadi koma serta kematian (Corwin, 2000)
Pemeriksaan
Penunjang
Pemeriksaan
laboratorium rutin yang dilakukan bertujuan menentukan adanya kerusakan organ
dan faktor risiko lain atau mencari penyebab hipertensi. Biasanya diperiksa
urinalisa, darah perifer lengkap, kimia darah (kalium, natrium, kreatinin, gula
darah, puasa, kolesterol total, kolesterol HDL), dan EKG.
Sebagai tambahan
dapat dilakukan pemeriksaan lain, seperti klirens kreatinin protein urin 24
jam, asam urat, kolesterol LDL, TSH, dan elektrokardiografi.
a.
EKG
Kemungkinan ada pembesaran ventrikel kiri, pembesaran atrium
kiri, adanya penyakit jantung/aritmia.
b.
Laboratorium
Fungsi ginjal: Urin lengkap (urinalisis) ureum, kreatinin, BUN
dan asam urat, serta darah lengkap lainnya.
c.
Foto rontgen
Kemungkinan ditemukan pembesaran jantung vaskularisasi atau
aorta yang lebar.
d.
Ekokardiogram
Tampak penebalan dinding ventrikel, mungkin juga sudah terjadi
dilatasi dan gangguan fungsi diastolik dan sistolik.
Diagnosis
Diagnosis
hipertensi tidak dapat ditegakkan dalam satu kali pengukuran, hanya dapat
ditetapkan setelah setelah dua kali atau lebih pengukuran pada kunjungan yang
berbeda, kecuali terdapat kenaikan yang tinggi atau gejala-gejala klinis.
Pengukuran tekanan darah dilakukan dalam keadaan pasien duduk bersandar,
setelah beristirahat selama 5 menit, dengan ukuran pembungkus lengan yang
sesuai (menutupi 80% lengan). Tensimeter dengan air raksa masih tetap dianggap
alat pengukur yang terbaik.
Anamnesis yang
dilakukan meliputi tingkat hipertensi dan lama menderitanya, riwayat dan gejala
penyakit-penyakit yang berkaitan seperti penyakit jantung koroner, gagal
jantung, penyakit serebrovaskular, dan lainnya. Apakah terdapat riwayat
penyakit dalam keluarga, gejala-gejala yang berkaitan dengan penyebab
hipertensi, perubahan aktivitas/kebiasaan (seperti merokok), konsumsi makanan,
riwayat obat-obatan bebas, hasil dan efek samping terapi antihipertensi
sebelumnya bila ada, dan faktor psikososial lingkungan (keluarga, pekerjaan,
dan sebagainya).
Dalam
pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran tekanan darah dua kali atau lebih dengan
jarak 2 menit, kemudian diperiksa ulang pada lengan kontralateral. Dikaji
perbandingan berat badan dan tinggi pasien. Kemudian dilakukan pemeriksaan
funduskopi untuk mengetahui adanya retinopati hipertensif, pemeriksaan leher
untuk mencari bising karotid, pembesaran vena, atau kelenjar tiroid. Dicari
tanda-tanda gangguan irama dan denyut jantung, pembesaran ukuran, bising,
derap, dan bunyi jantung ketiga atau empat. Paru diperiksa untuk mencari ronki
dan bronkospasme. Pemeriksaan abdomen dilakukan untuk mencari adanya massa,
pembesaran ginjal, dan pulsasi aorta yang abnormal. Pada ekstremitas dapat
ditemukan pulsasi arteri perifer yang menghilang, edema, dan bising. Dilakukan
juga pemeriksaan neurologi.
Perhimpunan
Nefrologi Indonesia (Pernefri) memilih klasifikasi sesuai WHO/ISH karena
sederhana dan memenuhi kebutuhan, tidak bertentangan dengan strategi terapi,
tidak meragukan karena memiliki sebaran luas dan tidak rumit, serta terdapat
pula unsur sistolik yang juga penting dalam penentuan.
Hipertensi
sistolik terisolasi adalah hipertensi dengan tekanan sistolik sama atau lebih
dari 160 mmHg, tetapi tekanan diastolik kurang dari 90%. Keadaan ini berbahaya
dan memiliki peranan sama dengan hipertensi diastolik, sehingga harus diterapi.
Klasifikasi
pengukuran tekanan darah berdasarkan The Sixth Report of the Joint National
Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood
Pressure, 1997.
Catatan:
Pasien tidak sedang sakit atau minum obat antihipertensi. Jika tekanan sistolik
dan diastolik berada dalam kategori yang berbeda, masukkan dalam kategori
yang lebih tinggi.
Penatalaksanaan
Tujuan deteksi
dan penatalaksanaan hipertensi adalah menurunkan risiko penyakit kardiovaskular
dan mortalitas serta morbiditas yang berkaitan. Tujuan terapi adalah mencapai
dan mernpertahankan tekanan sistolik di bawah 140 mmHg dan tekanan diastolik di
bawah 90 mmHg dan mengontrol faktor risiko. Hal ini dapat dicapai melalui
modifikasi gaya hidup saja, atau dengan obat antihipertensi.
Kelompok risiko
dikategorikan menjadi:
- Pasien
dengan tekanan darah perbatasan, atau tingkat 1, 2, atau 3, tanpa gejala
penyakit kardiovaskular, kerusakan organ, atau faktor risiko lainnya. Bila
dengan modifikasi gaya hidup tekanan darah belum dapat diturunkan, maka harus
diberikan obat antihipertensi.
- Pasien
tanpa penyakit kardiovaskular atau kerusakan organ lainnya, tapi memiliki satu
atau lebih faktor risiko yang tertera di atas, namun bukan diabetes melitus. Jika terdapat
beberapa faktor maka harus langsung diberikan obat antihipertensi.
- Pasien
dengan gejala klinis penyakit kardiovaskular atau kerusakan organ yang jelas.
Faktor risiko:
usia lebih dari 60 tahun, merokok, dislipidemia,
diabetes melitus, jenis kelamin (pria dan wanita menopause), riwayat penyakit kardiovaskular dalam keluarga.
Kerusakan organ
atau penyakit kardiovaskular: penyakit
jantung (hipertrofi
ventrikel kiri, infark miokard, angina pektoris, gagal jantung, riwayat revaskularisasi
koroner, strok, transient
ischemic attack, nefropati, penyakit arteri perifer), dan retinopati.
Modifikasi gaya
hidup cukup efektif, dapat menurunkan risiko kardiovaskular dengan biaya
sedikit, dan risiko minimal. Tata laksana ini tetap dianjurkan meski harus
disertai obat antihipertensi karena dapat menurunkan jumlah dan dosis obat.
Langkah-langkah yang dianjurkan untuk:
- Menurunkan
berat badan bila terdapat kelebihan (indeks massa tubuh > 27).
- Membatasi
alkohol.
- Meningkatkan
aktivitas fisik aerobik (30-45 menit/hari).
- Mengurangi
asupan natrium (< 100 mmol Na/2,4 g Na/6 g NaCl/hari).
- Mempertahankan
asupan kalium yang adekuat (90 mmol/hari).
- Mempertahankan
asupan kalsium dan magnesium yang adekuat.
- Berhenti
merokok dan mengurangi asupan lemak jenuh dan kolesterol dalam makanan.
Penatalaksanaan
dengan obat antihipertensi bagi sebagian besar pasien dimulai dengan dosis
rendah kemudian ditingkatkan secara titrasi sesuai dengan umur, kebutuhan dan
usia. Terapi yang optimal harus efektif selama 24 jam, dan lebih disukai dalam
dosis tunggal karena kepatuhan lebih baik, lebih murah, dapat mengontrol
hipertensi terus-menerus dan lancar, dan melindungi pasien terhadap berbagai
risiko dari kematian mendadak, serangan jantung, atau stroke akibat peningkatan tekanan
darah mendadak saat bangun tidur. Sekarang terdapat pula obat yang berisi
kombinasi dosis rendah dua obat dari golongan yang berbeda. Kombinasi ini
terbukti memberikan efektivitas tambahan dan mengurangi efek samping.
Setelah
diputuskan untuk memakai obat antihipertensi dan bila tidak terdapat indikasi
untuk memilih golongan obat tertentu, diberikan diuretik atau beta bloker. Jika
respons tidak baik dengan dosis penuh, dilanjutkan sesuai algoritma. Diuretik
biasanya menjadi tambahan karena dapat meningkatkan efek obat yang lain. Jika
tambahan obat kedua dapat mengontrol tekanan darah dengan baik minimal setelah
1 tahun, dapat dicoba menghentikan obat pertama melalui penurunan dosis secara
perlahan dan progresif
Pada beberapa
pasien mungkin dapat dimulai terapi dengan lebih dari satu obat secara
langsung. Pasien dengan tekanan darah > 200/> 120 mmHg
harus diberikan terapi dengan segera dan jika terdapat gejala kerusakan organ
harus dirawat di rumah sakit.
Kata Kunci Pencarian : Hipertensi, Jurnal, Ilmu Penyakit Dalam, Makalah, Referat, Skripsi, Tesis, SKP (Satuan Kredit Profesi), Kompetensi, pdf, word, .pdf, .doc, .docx, Karya Tulis Ilmiah, Desertasi, Nefrologi, Disertasi, Refrat, modul BBDM, Belajar Bertolak Dari Masalah, Problem Based Learning, askep (asuhan keperawatan)
Kata Kunci Pencarian : Hipertensi, Jurnal, Ilmu Penyakit Dalam, Makalah, Referat, Skripsi, Tesis, SKP (Satuan Kredit Profesi), Kompetensi, pdf, word, .pdf, .doc, .docx, Karya Tulis Ilmiah, Desertasi, Nefrologi, Disertasi, Refrat, modul BBDM, Belajar Bertolak Dari Masalah, Problem Based Learning, askep (asuhan keperawatan)
0 comments:
Posting Komentar