Definisi
Malaria adalah penyakit infeksi yang dapat bersifat akut maupun kronik,
disebabkan oleh protozoa genus Plasmodium ditandai dengan demam, anemia, dan
splenomegali. Penyakit malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit
dari genus Plasmodium yang termasuk golongan protozoa melalui perantaraan
tusukan (gigitan) nyamuk Anopheles spp.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki endemisitas tinggi. Malaria maupun penyakit yang menyerupai malaria telah diketahui ada selama lebih dari 4.000 tahun yang lalu. Malaria dikenal secara luas di daerah Yunani pada abad ke-4 SM dan dipercaya sebagai penyebab utama berkurangnya penduduk kota.
Penyakit malaria hingga kini masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat dunia yang utama. Malaria menyebar di berbagai negara, terutama di kawasan Asia, Afrika,dan Amerika Latin. Di berbagai negara, malaria bukan hanya permasalahan kesehatan semata. Malaria telah menjadi masalah sosial-ekonomi, seperti kerugian ekonomi, kemiskinan dan keterbelakangan.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki endemisitas tinggi. Malaria maupun penyakit yang menyerupai malaria telah diketahui ada selama lebih dari 4.000 tahun yang lalu. Malaria dikenal secara luas di daerah Yunani pada abad ke-4 SM dan dipercaya sebagai penyebab utama berkurangnya penduduk kota.
Penyakit malaria hingga kini masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat dunia yang utama. Malaria menyebar di berbagai negara, terutama di kawasan Asia, Afrika,dan Amerika Latin. Di berbagai negara, malaria bukan hanya permasalahan kesehatan semata. Malaria telah menjadi masalah sosial-ekonomi, seperti kerugian ekonomi, kemiskinan dan keterbelakangan.
Gejala - gejala yang ditemukan pada Malaria. Gambar modifikasi dari Mikael Häggström |
Sejarah
Etiologi
Sebenarnya penyakit
malaria sudah mulai teridentifikasi sejak jaman dahulu kala bahkan pada tahun sekitar
2700 SM di Cina dengan dikenalnya penyakit khas dengan demam naik turun secara
intermitten.
Pada tahun 1717, pigmentasi yang lebih gelap yang
terdapat pada limpa atau otak postmortem ditemukan oleh ahli epidemiologi Giovanni
Maria Lancisi dan diterbitkan pada buku ajar malarianya yang berjudul De
noxiis paludum effluviis eorumque remediis. Ini merupakan laporan paling awal ditemukannya karakteristik
pembesaran limpa dan penggelapan warna limpa dan otak yang merupakan indikasi
post-mortem tetap akan adanya suatu infeksi malaria kronis. Lancisi
menghubungkan prevalensi malaria pada daerah-daerah rawa dengan adanya lalat
dan merekomendasikan pembersihan rawa sebagai upaya pencegahan.
Pada tahun 1848, seorang ahli anatomi Johann Heinrich
Meckel mencatat adanya granula pigmen hitam kecoklatan pada darah
dan limpa seorang pasien yang telah meninggal di sebuah rumah sakit jiwa. Meckel
diduga kuat saat itu sedang melihat parasit malaria tanpa dia sendiri sadari, dia
tidak menyebut malaria pada laporannya. Meckel berhipotesis bahwa pigmen
tersebut adalah melanin. Hubungan antara pigmen dan parasit dikemukakan pada
tahun 1889, ketika seorang dokter berkebangsaan Perancis Charles Louis
Alphonse Laveran, yang sedang bekerja di rumah sakit militer Constantine,
Algeria, mengamati parasit berpigmen di dalam sel darah merah penderita
malaria. Dia menyaksikan adanya suatu peristiwa eksflagelasi (exflagellation) dan yakin bahwa flagel
yang bergerak tersebut adalah mikroorganisme parasitik. Dia mencatat quinine
mampu menhilangkan parasit tersebut dari darah. Laveran menamakan organisme
mikroskopik ini Oscillaria malariae dan mengusulkan pemikiran bahwa
malaria disebabkan oleh protozoa ini. Penemuan ini pada mulanya tetap menjadi
kontroversial sampai munculnya perkembangan mikroskop dengan lensa teknik oil immersion pada tahun 1884 dan metode
pewarnaan yang memadai pada tahun 1890–1891.
Pada tahun 1885, Angelo Celli , Ettore
Marchiafava, dan Camillo Golgi mempelajari siklus reproduksi
parasit ini pada darah manusia (siklus Golgi). Golgi mengamati bahwa seluruh
parasit yang terdapat di dalam darah membelah hampir secara bersamaan pada
selang waktu tertentu dan pembelahan tersebut terjadi bersamaan dengan serangan
demam. Pada tahun 1886 Golgi menjelaskan mengenai perbedaan morfologi yang
masih digunakan hingga saat ini untuk membedakan dua spesies parasit malaria
yaitu Plasmodium vivax dan Plasmodium malariae. Beberapa
saat setelah itu Sakharov pada 1889 dan Marchiafava & Celli pada 1890
masing-masing secara terpisah mengidentifikasi Plasmodium falciparum sebagai
spesies yang berbeda dari P. vivax dan P. malariae. Pada
tahun 1890, Feletti dan Grassi mengulas
informasi yang tersedia dan menamakan Haemamoeba malariae dan Haemamoeba
vivax.
Pada 1890, mikroba penemuan Laveran ini diterima umum secara
luas. Marchiafava dan Celli menamakan mikroorganisme baru ini dengan Plasmodium. Haemamoeba vivax kemudian
akhirnya dirubah namanya menjadi Plasmodium vivax. Pada tahun 1892,
Marchiafava dan Bignami membuktikan bahwa berbagai bentuk yang diamati oleh Laveran
sebenarnya berasal dari satu spesies tunggal. Spesies ini akhirnya dinamakan P.
falciparum. Laveran diberikan penghargaan Nobel untuk bidang kedokteran dan
fisiologi pada tahun 1907 sebagai pengakuan atas kerjanya dalam pengungkapan peran
yang dilakukan protozoa saat menyebabkan penyakit.
Pada tahun 1886 Dokter berkebangsaan Belanda Pieter
Pel pertama kali mengusulkan suatu pemikiran adanya tahap pada jaringan
tubuh dari parasit malaria ini. Usul ini kemudian diperkuat pada 1893 ketika
Golgi menawarkan teori bahwa parasit mungkin memiliki fase jaringan tubuh yang
belum ditemukan (kali ini pada sel endotelial). Pel pada 1896 mendukung teori
fase laten Golgi tersebut.
Penetapan metode ilmiah pada sekitar pertengahan abad ke
19 yang mensyaratkan adanya suatu hipotesis yang dapat diuji dan fenomena yang
dapat diverifikasi untuk penyebaran dan transmisi suatu penyakit, serta adanya
laporan anekdotal dan penemuan pada 1881 mengenai nyamuk adalah vektor pembawa yellow fever, akhirnya membawa ke suatu
usaha penyelidikan untuk menjawab apakah nyamuk berhubungan dengan malaria.
Sebuah usaha awal pencegahan malaria terjadi pada tahun
1896 di sebuah kota bernama Uxbridge di negara bagian Massachusetts, Amerika
Serikat, sebuah kejadian perjangkitan penyakit membuat seorang petugas
kesehatan yaitu dokter Leonard White menulis laporan kepada dewan kesehatan
negara bagian, yang memicu suatu penelitian akan hubungan nyamuk dengan malaria
serta usaha pertama yang pernah tercatat untuk mencegah malaria. Ahli patologi
dari negara bagian. Massachusetts, Theobald Smith, meminta putra White untuk
mengumpulkan spesimen nyamuk untuk analisis lebih lanjut, dan meminta warga
memasang layar penutup pada jendela dan menguras segala kumpulan air.
Sir Ronald Ross, seorang ahli bedah angkatan bersenjata
berkebangsaan Inggris yang bekerja di Secunderabad India, membuktikan pada
1897 bahwa malaria ditularkan / ditransmisikan oleh nyamuk, sebuah peristiwa
yang kini diperingati menjadi hari nyamuk sedunia. Dia berhasil menemukan
parasit malaria berpigmen dalam sebuah nyamuk yang dibuat menghisap pasien
malaria yaitu dengan melihat bentuk bulan sabit di darahnya. Ross melanjutkan
penelitian tentang malaria dengan menunjukkan bahwa spesies nyamuk tertentu (Culex fatigans)
menularkan malaria ke burung pipit dan dia mengisolasi parasit malaria dari
kelenjar saliva dari nyamuk yang telah menghisap burung yang terinfeksi. Dia
melaporkan ini ke British Medical
Association di Edinburg pada tahun 1898.
Giovanni Battista Grassi, seorang professor anatomi
perbandingan (comparative anatomy) dari
Rome University, menunjukkan bahwa malaria pada manusia hanya ditransmisikan
oleh nyamuk Anopheles (dari kata
bahasa Yunani yang artinya : tidak ada gunanya). Grassi bersama rekan kerjanya Giuseppe
Bastianelli, Amico Bignami, dan Ettore Marchiafava mengumumkan pada
suatu sesi di Accademia dei Lincei pada 4 Desember 1898 bahwa seorang lelaki sehat di
sebuah zona non-malarial telah terjangkit malaria tertiana setelah tergigit
spesimen Anopheles claviger percobaan
yang terinfeksi.
Pada 1898–1899, Bignami, Grassi dan Bastianelli merupakan
orang-orang pertama yang mengobservasi siklus transmisi lengkap pada P.
falciparum, P. vivax and P. malaria dari
nyamuk ke manusia dan kembali A. Claviger.
Ross menerima
penghargaan Nobel di bidang kedokteran dan fisiologi untuk “hasil kerjanya
tentang malaria, yaitu menunjukkan bagaimana caranya memasuki organisme
sehingga memberi dasar penelitian sukses lainnya dari penyakit ini dan
metode-metode untuk memeranginya”.Etiologi
Plasmodium sebagai penyebab malaria terdiri dari 4 spesies, Plasmodium
vivax, Plasmodium falciparum, Plasmodium malariae, dan Plasmodium ovale.
Malaria juga melibatkan hospes perantara yaitu manusia maupun vertebra lainnya,
dan hospes definitif yaitu nyamuk Anopheles. Jenis jenis malaria bermacam macam , gejala penyakit malaria yang timbul
pada tiap jenis gejala malaria tersebut berbeda beda. berikut ini gejala
malaria berdasarkan jenis jenis penyakit malaria.
- Plasmodium falciparum: perjalanan penyakit penderita dapat berkembang menjadi anemia hemolitik berat (sel-sel darah merah benar-benar rusak), gagal ginjal, koma, dan kematian. Pengobatan keadaan darurat medis, resistensi obat telah menyebar luas. Informasi saat ini terhadap pola penyakit, pencegahan untuk wisatawan, dan resistensi obat selalu dapat ditemukan melalui Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Malaria.
- Plasmodium ovale: Jenis ini juga dapat menyebabkan anemia, tetapi infeksi ini jarang mengancam kehidupan.
- Plasmodium vivax: Gejala malaria pada malaria yang disebabkan oleh plasmodium vivax adalah penderita dapat berkembang menjadi anemia dan pecahnya limpa, yang bisa menjadi hidup terancam. Orang dengan Plasmodium vivax atau Plasmodium ovale mungkin kambuh beberapa bulan setelah sakit awal. Hal ini harus diberantas dengan pengobatan medis.
- Plasmodium malariae: Infeksi ini jarang mengancam kehidupan, tapi penyakit yang lama dapat menyebabkan gagal ginjal. Jika tidak diobati, infeksi ini dapat bertahan sepanjang hidup penderita.
Daur hidup spesies malaria terdiri dari fase seksual eksogen (sporogoni)
dalam badan nyamuk Anopheles dan fase aseksual (skizogoni) dalam badan hospes
vertebra termasuk manusia.
a. Fase aseksual
Fase aseksual terbagi atas fase jaringan dan fase eritrosit. Pada fase
jaringan, sporozoit masuk dalam aliran darah ke sel hati dan berkembang biak
membentuk skizon hati yang mengandung ribuan merozoit. Proses ini disebut
skizogoni praeritrosit. Lama fase ini berbeda untuk tiap fase. Pada akhir fase
ini, skizon pecah dan merozoit keluar dan masuk aliran darah, disebut
sporulasi. Pada P. vivax dan P. ovale, sebagian sporozoit membentuk hipnozoit
dalam hati sehingga dapat mengakibatkan relaps jangka panjang dan rekurens.
Fase eritrosit dimulai dan merozoit dalam darah menyerang eritrosit
membentuk trofozoit. Proses berlanjut menjadi trofozoit-skizon-merozoit.
Setelah 2-3 generasi merozoit dibentuk, sebagian merozoit berubah menjadi
bentuk seksual. Masa antara permulaan infeksi sampai ditemukannya parasit dalam
darah tepi adalah masa prapaten, sedangkan masa tunas/inkubasi dimulai dari
masuknya sporozoit dalam badan hospes sampai timbulnya gejala klinis demam.
b. Fase seksual
Parasit seksual masuk dalam lambung betina nyamuk. Bentuk ini mengalami
pematangan menjadi mikro dan makrogametosit dan terjadilah pembuahan yang
disebut zigot (ookinet). Ookinet kemudian menembus dinding lambung nyamuk dan
menjadi ookista. Bila ookista pecah, ribuan sporozoit dan mencapai kelenjar
liur nyamuk.
Patogenesis malaria ada 2 cara:
- Alami, melalui gigitan nyamuk ke tubuh manusia.
- Induksi, jika stadium aseksual dalam eritrosit masuk ke dalam darah manusia melalui transfusi, suntikan, atau pada bayi baru lahir melalui plasenta ibu yang terinfeksi (kongenital).
Manifestasi Klinis
Pada anamnesis ditanyakan gejala penyakit dan riwayat bepergian ke daerah
endemik malaria. Gejala dan tanda yang dapat ditemukan adalah:
1. Demam
Demam periodik yang berkaitan dengan saat pecahnya skizon matang
(sporulasi). Pada malaria tertiana (P. vivax dan P. ovale), pematangan skizon
tiap 48 jam maka periodisitas demamnya setiap hari ke-3, sedang malaria
kuartana (P. malariae) pematangannya tiap 72 jam dan periodisitas demamnya tiap
4 hari. Tiap serangan ditandai dengan beberapa serangan demam periodik. Demam
khas malaria terdiri atas 3 stadium, yaitu menggigil (15 menit – 1 jam), puncak
demam (2 – 6 jam), dan berkeringat (2 – 4 jam). Demam akan mereda secara
bertahap karena tubuh dapat beradaptasi terhadap parasit dalam tubuh dan ada
respons imun.
2. Splenomegali
Splenomegali merupakan gejala khas malaria kronik. Limpa mengalami
kongesti, menghitam, dan menjadi keras karena timbunan pigmen eritrosit parasit
dan jaringan ikat yang bertambah.
3. Anemia
Derajat anemia tergantung pada spesies penyebab, yang paling berat adalah
anemia karena P. falciparum. Anemia disebabkan oleh:
- penghancuran eritrosit yang berlebihan
- eritrosit normal tidak dapat hidup lama (reduced survival time)
- gangguan pembentukan eritrosit karena depresi eritropoesis dalam sumsum tulang (diseritropoesis).
Gambaran mikrograf elektron sel darah merah yang terinfeksi Plasmodium falsiparum (tengah), memberikan tampilan seperti kenop (knob) / bintik-bintik yang merupakan adhesi protein. Selama perkembangannya kenop ini berfungsi untuk menghindari destruksi eritrosit dan menyebabkan inflamasi. Dengan menggunakan scanning mikroskop elektron, gambar ini menunjukkan sel darah merah yang diliputi kenop yang banyak di tengah dan dikelilingi sel darah merah mulus yang tidak terinfeksi. Gambar oleh Rick Fairhurst dan Jordan Zuspann, National Institute of Allergy and Infectious Diseases, National Institutes of Health dengan izin CC BY 2.0 |
4. Ikterus
Ikterus disebabkan karena hemolisis dan gangguan hepar.
Malaria laten adalah masa pasien di luar masa serangan demam. Periode ini
terjadi bila parasit tidak dapat ditemukan dalam darah tepi, tetapi stadium
eksoeritrosit masih bertahan dalam jaringan hati.
Relaps dapat bersifat:
- Relaps jangka pendek (rekrudesensi), dapat timbul 8 minggu setelah serangan pertama hilang karena parasit dalam eritrosit yang berkembang biak.
- Relaps jangka panjang (rekurens), dapat muncul 24 minggu atau lebih setelah serangan pertama hilang karena parasit eksoeritrosit hati masuk ke darah dan berkembang-biak.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah tepi, pembuatan preparat darah tebal dan tipis
dilakukan untuk melihat keberadaan parasit dalam darah tepi, seperti trofozoit
yang berbentuk cincin.
Penampakan bentuk cincin tropozoit dan gametosit Plasmodium falsiparum pada preparat darah tepi hapus dengan pewarnaan Giemsa. Gambar oleh Tim Vickers
|
Penatalaksanaan
Obat antimalaria terdiri dari 5 jenis, antara lain:
- Skizontisid jaringan primer yang membasmi parasit praeritrosit, yaitu proguanil, pirimetamin.
- Skizontisid jaringan sekunder yang membasmi parasit eksoeritrosit, yaitu primakuin.
- Skizontisid darah yang membasmi parasit fase eritrosit, yaitu kina, klorokuin, dan amodiakuin.
- Gametosid yang menghancurkan bentuk seksual. Primakuin adalah gametosid yang ampuh bagi keempat spesies. Gametosid untuk P. vivax, P. malariae, P. ovale adalah kina, klorokuin, dan amodiakuin.
- Sporontosid mencegah gametosit dalam darah untuk membentuk ookista dan sporozoit dalam nyamuk Anopheles, yaitu primakuin dan proguanil.
Penggunaan obat antimalaria tidak terbatas pada pengobatan kuratif saja
tetapi juga termasuk:
- Pengobatan pencegahan (profilaksis) bertujuan mencegah terjadinya infeksi atau timbulnya gejala klinis atau timbulnya gejala klinis. Penyembuhan dapat diperoleh dengan pemberian terapi jenis ini pada infeksi malaria oleb P. falciparum karena parasit ini tidak mempunyai fase eksoeritrosit.
- Pengobatan kuratif dapat dilakukan dengan obat malaria jenis skizontisid.
- Pencegahan transmisi bermanfaat untuk mencegah infeksi pada nyamuk atau mempengaruhi sporogonik nyamuk. Obat antimalaria yang dapat digunakan seperti jenis gametosid atau sporontosid.
Resistensi P. falciparum terhadap Obat Malaria
Resistensi P. falciparum terdapat obat malaria golongan aminokuinolin
(klorokuin dan aminodiakuin) untuk pertama kali ditemukan pada tahun 1960-1961
di Kolumbia dan Brazil. Kemudian ditemukan secara berturut-turut di Asia
Tenggara yaitu di Muangthai, Malaysia, Kamboja, Laos, Vietnam dan Filipina. Di
Indonesia ditemukan di Kalimantan Timur (1974), Jawa Tengah (Jepara, 1981), dan
Jawa Barat (1991). Fokus resistensi tidak mencakup seluruh daerah, parasit
masih sensitif di beberapa tempat di daerah tersebut. Resistensi obat malaria
dipikirkan bila kasus malaria falsiparum tidak sembuh setelah diobati dengan
dosis standar atau bila rekrudesensi timbul segera setelah parasit menghilang
untuk sementara waktu setelah pengobatan.
Bila resistensi P. falciparum terhadap klorokuin sudah dapat dipastikan,
obat antimalaria lain dapat diberikan, antara lain:
- Kombinasi sulfadoksin 1.000 mg dan pirimetamin 25 mg per tablet dalam dosis tunggal sebanyak 2-3 tablet.
- Kina 3 x 650 mg selama 7 hari.
- Antibiotik seperti tetrasiklin 4 x 250 mg/hari selama 7- 10 hari, dan minosiklin 2 x 100 mg/hari selama 7 hari.
- Kombinasi-kombinasi lain seperti kina dan tetrasiklin.
Malaria Berat
Kasus malaria terbanyak adalah malaria falsiparum fatal yang
memperlihatkan keterlibatan susunan saraf pusat
Organ yang terkena adalah:
- Otak: timbul delirium, disorientasi, stupor, koma, kejang, dan tanda neurologis fokal.
- Saluran gastrointestinal: muntah, diare hebat, perdarahan dan malabsorpsi.
- Ginjal: nekrosis tubular akut, hemoglobinuria, dan gagal ginjal akut.
- Hati: timbul ikterus karena adanya gangguan hepar, billous remittent fever ditandai dengan muntah hijau empedu karena komplikasi hepar
- Paru: Edema paru
- Lain-lain: anemia, malaria hiperpireksia, hipoglikemia, demam kencing hitam (black water fever).
Penatalaksanaan malaria dapat dibagi menjadi dua, yaitu bersifat umum dan
spesifik.
A. Pengobatan umum.
1. Syok dengan hipovolemia.
Bila pasien mengalami renjatan, pemberian cairan sebagai berikut:
- Satu jam pertama: 30 ml/kg BB/jam, dilanjutkan untuk 23 jam berikutnya 20 ml/kg BB/jam, dan tetes pemeliharaan 10 ml/kg BB/hari.
- Dilakukan pengawasan terhadap: (a) tekanan darah (b) volume urin harus > 400 ml/hari, sehingga cairan yang masuk dalam 24 jam pertama dapat melebihi jumlah urin yang dikeluarkan (c) kemungkinan terjadinya edema paru.
- Dapat juga dipakai plasma ekspander, misalnya 500 ml larutan dekstose 40% dalam campuran garam fisiologis dan glukosa (dapat menaikkan volume darah sampai 3 kali).
2. Hipertermia (suhu > 40 derajat C)
- Ditolong dengan kompres dingin.
- Diperlukan tambahan cairan ± 400 ml/hari untuk mengimbangi cairan yang hilang melalui keringat.
- Awasi suhu pasien, sebaiknya secara rektal.
3. Transfusi darah
- Indikasinya: (a) Hemoglobin (Hb) < 6 g% atau Hematokrit (Ht) < 18% (b) Jumlah eritrosit < 2 juta/mm3
- Transfusi diberikan untuk mempertahankan agar Hb > 8 g% dan Ht > 20%.
- Dilanjutkan dengan perbaikan gizi dan pemberian asam folat 5 mg selama 2-3 minggu.
4. Gejala serebral
a. Edema serebral
- Deksametason 10 mg iv, dapat diulang setiap 4-6 jam tergantung keadaan pasien, atau
- Hidrokortison suksinat 100-500 mg iv.
b. Kejang
- Diazepam 10-20 mg iv atau
- Klorpromazin 50-l00 mg iv dapat diulang setiap 4 jam.
- Penggunaan morfin merupakan kontraindikasi.
5. Gangguan fungsi ginjal
a. Gejala:
- Muntah-muntah.
- Ureum darah > 16 mmol/l.
- Urin < 400 ml/hari (oliguria). Bila terjadi nekrosis tubular, berat jenis urin menjadi < 1,010.
b. Lakukan pengamatan terhadap:
- Volume urin: pasien yang mengeluarkan urin < 200 ml dalam 16 jam pertama harus segera diberikan pertolongan untuk mengembalikan keseimbangan cairannya.
- Tekanan darah.
- Gejala-gejaia kekurangan natrium.
- Adanya gejala edema paru.
c. Pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit darah:
- 1.000 larutan garam fisiologis diberikan dalam satu jam.
- Bila volume urin menjadi > 20-30 ml/jam atau > 200 ml dalam 8 jam pertama, maka oliguria telah teratasi.
- Teruskan pemberian larutan garam sampai keadaan umum menjadi baik dan jumlah urin mencapai 1.000 ml/hari.
- Pertahankan kalium plasma < 7 mmol/l.
- Bila telah terlihat adanya kekurangan natrium plasma sebelum timbul gangguan fungsi ginjal, dapat ditolong dengan pemberian 200 mmol natrium laktat lewat infus selama 3 jam.
- Bila terjadi asidosis sesudah gangguan fungsi ginjal, batasi pemasukan cairan karena penambahan natrium karbonat akan menarik cairan ekstraselular dengan kemungkinan terjadi kegagalan jantung.
- Batasi protein hingga 20-30 g/hari dan karbohidrat hingga 200 g/hari. Bila perlu pemberiannya melalui selang nasogastrik.
- Bila perlu, kebutuhan air dan karbohidrat dapat diberikan secara intravena dengan glukosa 10- 15%. Namun cara ini dapat menimbulkan trombosis pada pemberian setelah 6-10 jam terus-menerus.
- Bila semua cara di atas tidak berhasil, dapat dicoba untuk mengatasinya dengan dialisis, baik hemodialisis atau dialisis peritoneal.
6. Hipoglikemia (gula darah < 50 mg%).
a. Suntik 50 ml dekstrosa 40% iv dilanjutkan dengan infus dekstrosal 10%.
b. Pantau gula darah tiap 4-6 jam.
c. Bila gula darah berulang-ulang turun, pertimbangkan untuk memakai obat
yang menekan produksi insulin, seperti glukagon, diazoksid, atau analog
somatostatin.
B. Pengobatan spesifik
Pengobatan yang dapat diberikan adalah pengobatan
radikal malaria dengan membunuh semua stadium parasit yang ada di dalam tubuh
manusia. Tujuan dari pengobatan radikal adalah untuk mendapat kesembuhan klinis
dan parasitologik serta memutuskan rantai penularan. Semua obat antimalaria
tidak boleh diberikan dalam keadaan perut kosong karena menyebabkan iritasi
lambung.
PENGOBATAN MALARIA FALSIPARUM
Malaria
falsiparum (malaria ganas) disebabkan oleh Plasmodium falciparum.
Di sebagian besar wilayah dunia, Plasmodium falciparum telah
resisten terhadap klorokuin, sehingga obat ini tidak boleh digunakan untuk
malaria falsiparum.
Di
Indonesia, pengobatan lini pertama malaria falsiparum adalah
kombinasi artesunat, amodiakuin dan primakuin. Pemakaian artesunat dan
amodiakuin bertujuan untuk membunuh parasit stadium aseksual, sedangkan
primakuin bertujuan membunuh gametosit yang berada di dalam darah. Obat kombinasi diberikan per oral selama
tiga hari dengan dosis tunggal harian.
Primakuin (basa) diberikan per oral dengan dosis
tunggal 0,75 mg/kg bb yang diberikan pada hari pertama. Primakuin tidak boleh
diberikan kepada ibu hamil, bayi < 1 tahun dan penderita defisiensi G6-PD.
Apabila pemberian dosis obat tidak memungkinkan berdasarkan berat badan
penderita, pemberian obat dapat diberikan berdasarkan golongan umur seperti
tertera pada tabel di bawah.
Dosis
dewasa maksimal artesunat dan amodiakuin masing-masing 4 tablet, primakuin 3
tablet.
Pengobatan
efektif apabila sampai dengan hari ke-28 setelah pemberian obat, ditemukan
keadaan sebagai berikut: klinis sembuh (sejak hari ke-4) dan tidak ditemukan
parasit stadium aseksual sejak hari ke-7. Pengobatan tidak efektif apabila
dalam 28 hari setelah pemberian obat, gejala klinis memburuk dan parasit
aseksual positif atau gejala klinis memburuk tetapi parasit aseksual tidak
berkurang (persisten) atau timbul kembali (rekrudesensi).
Pengobatan
lini kedua malaria falsiparum diberikan, jika pengobatan lini pertama tidak
efektif di mana ditemukan: gejala klinis tidak memburuk tetapi parasit aseksual
tidak berkurang (persisten) atau timbul kembali (rekrudesensi).
Pengobatan
lini kedua adalah
kombinasi kina, doksisiklin/tetrasiklin dan primakuin. Kina diberikan per oral,
3 kali sehari dengan dosis sekali minum 10 mg/kgbb selama 7 hari. Doksisiklin
diberikan 2 kali per hari selama 7 hari, dengan dosis dewasa adalah 4 mg/kg bb/hari,
sedangkan untuk anak usia 8-14 tahun adalah 2 mg/kg bb/hari. Bila tidak
ada doksisiklin, dapat digunakan tetrasiklin yang diberikan 4 kali sehari
selama 7 hari, dengan dosis 4-5 mg/kg bb. Doksisiklin maupun tetrasiklin tidak
boleh diberikan pada anak dengan umur di bawah 8 tahun dan ibu hamil. Primakuin
diberikan dengan dosis seperti pada pengobatan lini pertama.
Jika
pemberian dosis obat tidak memungkinkan berdasarkan berat badan, pemberian obat
dapat diberikan berdasarkan golongan umur seperti pada tabel di bawah.
Tabel Pengobatan lini pertama
malaria falsiparum berdasarkan kelompok umur
Hari
|
Jenis obat
|
Jumlah tablet per hari berdasarkan
kelompok umur
|
|||||
0-1
bulan
|
2-11
bulan
|
1-4
tahun
|
5-9
tahun
|
10-14
tahun
|
≥
15 tahun
|
||
1
|
Artesunat
|
¼
|
½
|
1
|
2
|
3
|
4
|
Amodiakuin
|
¼
|
½
|
1
|
2
|
3
|
4
|
|
Primakuin
|
-
|
-
|
¾
|
1 ½
|
2
|
2-3
|
|
2
|
Artesunat
|
¼
|
½
|
1
|
2
|
3
|
4
|
Amodiakuin
|
¼
|
½
|
1
|
2
|
3
|
4
|
|
3
|
Artesunat
|
¼
|
½
|
1
|
2
|
3
|
4
|
Amodiakuin
|
¼
|
½
|
1
|
2
|
3
|
4
|
Tabel Pengobatan lini kedua untuk
malaria falsiparum berdasarkan kelompok umur
Hari
|
Jenis obat
|
Jumlah tablet per hari berdasarkan
kelompok umur
|
||||
0-11
bulan
|
1-4
tahun
|
5-9
tahun
|
10-14
tahun
|
≥
15 tahun
|
||
1
|
Kina
|
Dosis per kg bb
|
3 x ½
|
3x1
|
3x1 ½
|
3 x (2-3)
|
Doksisiklin
Atau
jika diganti tetrasiklin,
|
-
|
-
|
-
|
2x50
mg
|
2x100mg
|
|
-
|
-
|
-
|
*)
|
4 x 250 mg
|
||
Primakuin
|
-
|
¾
|
1
½
|
2
|
2-3
|
|
2-7
|
Kina
|
Dosis per kg bb
|
3 x ½
|
3x1
|
3x1 ½
|
3 x (2-3)
|
Doksisiklin
|
-
|
-
|
-
|
2x50
mg
|
2x100mg
|
Parenteral: Jika pasien sakit berat, kina harus
diberikan secara infus intravena Regimen dosis pada dewasa untuk
infus kina:dosis muatan 20 mg/kg bb (sebagai garam kina) (maks. 1,4 g)
diberikan selama 4 jam. Setelah 8 jam dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 10
mg/kg bb (maksimal 700 mg) sebagai garam kina, infus selama 4 jam dan diulangi
tiap 8 jam (sampai pasien dapat menelan tablet untuk melengkapi pengobatan
selama 7 hari), diikuti dengan sulfadoksin + pirimetamin atau doksisiklin
seperti keterangan diatas. Dosis kina secara infus intravena untuk anak
dihitung berdasarkan berat badan dewasa. KEHAMILAN. Malaria falsiparum malignan
sangat berbahaya untuk wanita hamil, terutama pada trimester terakhir. Pada
keadaan ini kina oral atau intravena dengan dosis dewasa dapat diberikan
(termasuk dosis muatan). Doksisiklin sebaiknya dihindari pada wanita hamil
(mempengaruhi perkembangan gigi dan skelet). Sulfadoksin + pirimetamin
sebaiknya juga dihindari sampai adanya data yang lebih lengkap.
PENGOBATAN MALARIA VIVAKS, MALARIA OVALE, MALARIA
MALARIAE
Malaria yang disebabkan oleh Plasmodium vivax dan
lebih jarang oleh Plasmodium ovale dan Plasmodium malariae umumnya termasuk
kategori malaria ringan.
Di Indonesia, lini pertama pengobatan malaria vivaks
dan malaria ovalea adalah kombinasi klorokuin dan primakuin. Pemakaian
klorokuin bertujuan untuk membunuh parasit stadium aseksual dan seksual,
sedangkan primakuin bertujuan untuk membunuh hipnozoit di sel hati, juga dapat
membunuh parasit aseksual di eritrosit.
Dosis: oral, DEWASA, Klorokuin tablet yang
beredar di Indonesia mengandung 250 mg garam difosfat yang setara dengan 150 mg
basa. Klorokuin diberikan sekali sehari selama 3 hari, dengan dosis total 25 mg
basa/ kg bb. Dosis primakuin adalah 0,25 mg/kg bb per hari yang diberikan
selama 14 hari dan diberikan bersama klorokuin.
ANAK
dan KEHAMILAN: Seperti pada pengobatan malaria falsiparum, primakuin tidak
boleh diberikan kepada ibu hamil, bayi < 1 tahun, dan penderita defisiensi
G-6-PD. Apabila pemberian dosis obat tidak memungkinkan berdasarkan berat badan
pasien, pemberian obat dapat diberikan berdasarkan golongan umur seperti pada
tabel di bawah.
Pengobatan
efektif apabila sampai dengan hari ke-28 setelah pemberian obat, ditemukan
keadaaan sebagai berikut: klinis sembuh (sejak hari ke-4) dan tidak ditemukan
parasit stadium aseksual sejak hari ke-7. Pengobatan tidak efektif apabila
dalam 28 hari setelah pemberian obat:
- Gejala klinis memburuk dan parasit aseksual positif atau
- Gejala klinis tidak memburuk tetapi parasit aseksual tidak berkurang (persisten) atau timbul kembali sebelum hari ke 14 (kemungkinan resisten)
- Gejala klinis membaik tetapi parasit aseksual timbul kembali antara hari ke 15 sampai hari ke-28 (kemungkinan resisten, relaps atau infeksi baru).
Foto mikrograf dari plasenta dari fetus yang meninggal karena kehamilan malaria. Pewarnaan Hematoxylin Eosin. Sel darah merah anuklear; warna biru/hitam dalam struktur merah terang (sel darah merah) mengindikasikan adanya nukleus asing yang berasal dari parasit . Hal ini menunjukkan organisme dalam eritrosit. Gambar oleh Michael Bonert dengan izin CC BY-SA 3.0
|
Tabel Pengobatan malaria vivaks
dan malaria ovale berdasarkan golongan umur
Hari
|
Jenis obat
|
Jumlah tablet berdasarkan kelompok
umur
|
|||||
0-1
bulan
|
2-11
bulan
|
1-4
tahun
|
5-9
tahun
|
10-14
tahun
|
≥
15
Tahun
|
||
H1
|
Klorokuin
|
¼
|
½
|
1
|
2
|
3
|
3 – 4
|
Primakuin
|
-
|
-
|
¼
|
½
|
¾
|
1
|
|
H2
|
Klorokuin
|
¼
|
½
|
1
|
2
|
3
|
3 – 4
|
Primakuin
|
-
|
-
|
¼
|
½
|
¾
|
1
|
|
H3
|
Klorokuin
|
1/8
|
¼
|
½
|
1
|
1 ½
|
2
|
Primakuin
|
-
|
-
|
¼
|
½
|
¾
|
1
|
|
H4-14
|
Primakuin
|
-
|
-
|
¼
|
½
|
¾
|
1
|
PENGOBATAN MALARIA VIVAKS RESISTEN KLOROKUIN.
Pilihan terapi yang dipakai di Indonesia adalah kombinasi kina dan primakuin.
Tablet kina yang beredar di Indonesia adalah tablet yang mengandung 200 mg kina
fosfat atau sulfat. Kina diberikan per-oral, 3 kali sehari dengan dosis 10
mg/kg bb/kali selama 7 hari. Dosis primakuin adalah 0,25 mg/kg bb per hari yang
diberikan selama 14 hari. Seperti pengobatan malaria pada umumnya, primakuin
tidak boleh diberikan kepada ibu hamil, bayi < 1 tahun, dan penderita
defisiensi G-6-PD. Dosis obat juga dapat diberikan berdasarkan tabel dosis
berdasarkan golongan umur, seperti pada tabel di bawah.
Tabel Pengobatan malaria vivaks
resisten klorokuin
Hari
|
Jenis
obat
|
Jumlah
tablet per hari berdasarkan kelompok umur
|
|||||
0-1 bulan
|
2-11 bulan
|
1-4 tahun
|
5-9 tahun
|
10-14 tahun
|
≥ 15
tahun
|
||
H
1-7
|
Kina
|
*)
|
*)
|
3 x ½
|
3 x 1
|
3 x 1 ½
|
3 x 3
|
H
1-14
|
Primakuin
|
-
|
-
|
¼
|
½
|
¾
|
1
|
PENGOBATAN MALARIA VIVAKS YANG MENGALAMI KEKAMBUHAN.
Pengobatan malaria vivaks kambuhan sama dengan
regimen sebelumnya hanya dosis primakuin ditingkatkan. Klorokuin diberikan
sekali sehari selama 3 hari, dengan dosis total 25 mg basa/kg bb dan primakuin
diberikan selama 14 hari dengan dosis 0,5 mg/kg bb/ hari. Dosis obat juga dapat
diberikan dengan menggunakan tabel dosis berdasarkan golongan umur pada tabel
di bawah.
Tabel Pengobatan malaria vivaks
yang relaps berdasarkan golongan umur
Hari
|
Jenis obat
|
Jumlah tablet berdasarkan kelompok
umur
|
|||||
0-1
bulan
|
2-11
bulan
|
1-4
tahun
|
5-9
tahun
|
10-14
tahun
|
≥
15
tahun
|
||
H1
|
Klorokuin
|
¼
|
½
|
1
|
2
|
3
|
3 - 4
|
Primakuin
|
-
|
-
|
½
|
1
|
1
½
|
2
|
|
H2
|
Klorokuin
|
¼
|
½
|
1
|
2
|
3
|
3 - 4
|
Primakuin
|
-
|
-
|
½
|
1
|
1
½
|
2
|
|
H3
|
Klorokuin
|
1/8
|
¼
|
½
|
1
|
1 ½
|
2
|
Primakuin
|
-
|
-
|
½
|
1
|
1
½
|
2
|
|
H4-14
|
Primakuin
|
-
|
-
|
½
|
1
|
1 ½
|
2
|
Khusus untuk penderita defisiensi enzim G6PD yang
dapat diketahui melalui anamnesis ada keluhan atau riwayat warna urin coklat
kehitaman setelah minum obat (golongan sulfa, primakuin, kina, klorokuin dan
lain-lain), pengobatan diberikan secara mingguan.
Klorokuin diberikan sekali seminggu selama 8-12
minggu, dengan dosis 10 mg basa/kg bb/kali. Primakuin juga diberikan bersamaan
dengan klorokuin setiap minggu dengan dosis 0,75 mg/kg bb/kali. Pengobatan juga
dapat diberikan berdasarkan golongan umur penderita seperti dapat dilihat pada
tabel di bawah.
Tabel Pengobatan malaria vivaks
penderita defisiensi G6PD
Lama minggu
|
Jenis obat
|
Jumlah tablet perminggu berdasarkan
kelompok umur
|
|||||
0
- 1 bulan
|
2
- 1 1 bulan
|
1
- 4 tahun
|
5
- 9 tahun
|
1
0 - 1 4 tahun
|
≥
15 tahun
|
||
8 s/d12
|
Klorokuin
|
¼
|
½
|
1
|
2
|
3
|
3-4
|
8 s/d12
|
Primakuin
|
-
|
-
|
¾
|
1
½
|
2
¼
|
3
|
PENGOBATAN MALARIA MALARIAE
Pengobatan malaria malariae cukup diberikan dengan klorokuin sekali sehari selama 3 hari, dengan dosis total 25 mg basa/kgBB. Klorokuin dapat membunuh Plasmodium malariae bentuk aseksual dan seksual. Pengobatan juga dapat diberikan berdasarkan golongan umur penderita yang dapat dilihat di tabel di bawah ini.
Tabel Pengobatan malaria malariae
berdasarkan kelompok umur
Hari
|
Jenis
obat
|
Jumlah
tablet berdasarkan kelompok umur (dosis tunggal)
|
|||||
0-1 bulan
|
2-11 bulan
|
1-4 tahun
|
5-9 tahun
|
10-14 tahun
|
≥ 15 tahun
|
||
H1
|
Klorokuin
|
¼
|
½
|
1
|
2
|
3
|
3-4
|
H2
|
Klorokuin
|
¼
|
½
|
1
|
2
|
3
|
3-4
|
H3
|
Klorokuin
|
1/8
|
¼
|
½
|
1
|
1 ½
|
2
|
PENGOBATAN MALARIA FALSIPARUM DI SARANA
KESEHATAN YANG TIDAK TERSEDIA OBAT ARTESUNAT-AMODIAKUIN
Di fasilitas pelayanan kesehatan dengan sarana
diagnostik malaria dan belum tesedia obat kombinasi artesunat dan amodiakuin,
infeksi Plasmodium falciparum diobati dengan
sulfadoksin-pirimetamin (SP) untuk membunuh parasit stadium aseksual. Obat
ini diberikan dengan dosis tunggal sulfadoksin 25 mg/kgbb atau berdasarkan
dosis pirimetamin 1,25 mg/kg bb. Primakuin juga diberikan untuk membunuh
parasit stadium seksual dengan dosis tunggal 0,75 mg/kg bb. Pengobatan juga
dapat diberikan berdasarkan golongan umur, seperti pada tabel di bawah.
Pengobatan tidak efektif apabila dalam 28 hari
setelah pemberian obat:
- Gejala klinik memburuk dan parasit aseksual positif atau
- Gejala klinik tidak memburuk tetapi parasit aseksual tidak berkurang (persisten) atau timbul kembali (rekrudesensi).
Tabel Pengobatan malaria
falsiparum di sarana kesehatan tanpa tersedia obat artesunat-amodiakuin
Hari
|
Jenis obat
|
Jumlah tablet berdasarkan
kelompok umur (dosis tunggal)
|
||||
< 1 tahun
|
1-4 tahun
|
5-9 tahun
|
10-14 tahun
|
≥ 15 tahun
|
||
H1
|
sulfadoksin-pirimetamin
|
-
|
¾
|
1 ½
|
2
|
3
|
Primakuin
|
-
|
¾
|
1 ½
|
2
|
2-3
|
PENGOBATAN MALARIA FALSIPARUM GAGAL ATAU ALERGI
SULFADOKSIN- PIRIMETAMIN (SP)
Jika pengobatan dengan SP tidak efektif (gejala
klinis tidak memburuk tetapi parasit aseksual tidak
berkurang atau timbul kembali) atau penderita mempunyai riwayat alergi terhadap
SP atau golongan sulfa lainnya penderita diberi regimen kombinasi kina,
doksisiklin/tetrasiklin dan primakuin.
Kina diberikan per-oral, 3 kali sehari dengan dosis
10mg/kg bb/kali selama 7 hari. Doksisiklin diberikan 2 kali per-hari selama 7
hari dengan dosis orang dewasa adalah 4 mg/kg bb/hari, sedangkan untuk anak
usia 8-14 tahun adalah 2 mg/kg bb/hari. Dosis maksimal dewasa yang diberikan
untuk kina adalah 9 tablet.
Doksisiklin tidak diberikan pada ibu
hamil dan anak usia < 8 tahun. Bila
tidak ada doksisiklin, dapat digunakan tetrasiklin. Tetrasiklin diberikan 4
kali per hari selama 7 hari, dengan dosis 4-5 mg/kg bb/kali. Seperti halnya
doksisiklin, tetrasiklin tidak boleh diberikan
pada anak dengan umur di bawah 8 tahun dan ibu
hamil.
Pengobatan dengan primakuin diberikan seperti pada
lini pertama. Dosis maksimal dewasa untuk primakuin adalah 3 tablet. Apabila
pemberian dosis obat tidak memungkinkan berdasarkan berat badan penderita,
pemberian obat dapat diberikan berdasarkan golongan umur, sebagaimana telah
tercantum pada salah satu tabel di atas yaitu tabel pengobatan lini kedua untuk
malaria falsiparum berdasarkan kelompok umur.
PENGOBATAN MALARIA DI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN
TANPA SARANA DIAGNOSTIK MALARIA
Penderita
dengan gejala klinis malaria dapat diobati sementara dengan regimen klorokuin
dan prima kuin. Pemberian kloroin 1 kali per hari selama 3 hari, dengan dosis
total 25 mg basa/kg bb. Primakuin diberikan bersamaan dengan klorokuin pada
hari pertama dengan dosis 0,75 mg/kg bb. Pengobatan juga dapat diberikan
berdasarkan golongan umur penderita seperti pada tabel di bawah ini.
Tabel Pengobatan terhadap
penderita suspek malaria
Hari
|
Jenis
obat
|
Jumlah
tablet berdasarkan kelompok umur (dosis tungal)
|
|||||
0-1
bulan
|
2-11
bulan
|
1-4
tahun
|
5-9
tahun
|
10-14
tahun
|
> 15
tahun
|
||
H1
|
Klorokuin
|
¼
|
½
|
1
|
2
|
3
|
3-4
|
Primakuin
|
-
|
-
|
¾
|
1½
|
2
|
2-3
|
|
H2
|
Klorokuin
|
¼
|
½
|
1
|
2
|
3
|
3-4
|
H3
|
Klorokuin
|
1/8
|
¼
|
½
|
1
|
1½
|
2
|
Apabila pengobatan tidak efektif (secara klinis
tidak membaik bahkan memburuk) penderita harus segera dirujuk untuk kepastian
diagnostik dan mendapatkan pengobatan yang cukup.
PENGOBATAN MALARIA DENGAN KOMPLIKASI
Penatalaksanaan
kasus malaria berat pada prinsipnya meliputi tindakan umum, pengobatan
simptomatik, pemberian obat antimalaria dan penanganan komplikasi.
Derivat
artemisinin parenteral yaitu artesunat intravena/intramuskular atau artemeter
intramuskular merupakan pilihan utama obat antimalaria untuk pengobatan kasus
malaria berat. Artesunat parenteral direkomendasikan untuk digunakan di rumah
sakit atau puskesmas perawatan, sedangkan artemeter intramuskular
direkomendasikan untuk di lapangan atau puskesmas tanpa fasilitas perawatan.
Obat ini tidak boleh diberikan pada ibu hamil trimester pertama yang menderita
malaria berat.
Artesunat
parenteral tersedia dalam vial yang berisi 60 mg serbuk kering asam artesunik
dan pelarut dalam ampul yang berisi 0,6 mL natrium bikarbonat 5%. Untuk membuat
larutan artesunat dengan mencampur 60 mg serbuk kering artesunik dengan larutan
0,6 mL natrium bikarbonat 5%. Kemudian ditambah larutan dekstrose 5% sebanyak
3-5 mL. Artensunat intravena diberikan dengan dosis muatan secara bolus: 2,4
mg/kg bb selama ± 2 menit dan diulang setelah 12 jam dengan dosis yang sama.
Selanjutnya artesunat diberikan 2,4 mg/kg bb secara intravena satu kali sehari
sampai penderita mampu minum obat. Larutan artesunat ini juga bisa diberikan
secara intramuskular pada dosis yang sama. Bila pasien sudah dapat minum obat,
pengobatan dilanjutkan dengan regimen kombinasi artesunat, amodiakuin dan
primakuin (lihat pengobatan malaria falsiparum tanpa komplikasi).
Artemeter
intramuskular tersedia dalam ampul yang berisi 80 mg artemeter
dalam larutan minyak. Artemeter diberikan dengan dosis muatan 3,2 mg/kg bb
intramuskular. Selanjutnya artemeter diberikan 1,6 mg/kg bb secara
intramuskular satu kali sehari sampai penderita mampu minum obat. Bila
penderita sudah dapat minum obat, maka pengobatan dilanjutkan dengan regimen
kombinasi artesunat, amodiakuin dan primakuin (lihat pengobatan malaria
falsiparum tanpa komplikasi).
Alternatif pengobatan malaria berat adalah kina
dihidroklorida parenteral, jika tidak tersedia derivat artemisinin parenteral
dan pengobatan pada ibu hamil trimester pertama. Obat ini dikemas dalam bentuk
ampul kina dihidroklorida 25%. Satu ampul berisi 500 mg/2 mL.
Pada
orang dewasa termasuk untuk ibu hamil, kina diberikan dengan dosis muatan 20 mg
garam/kg bb dilarutkan dalam 500 mL dekstrose 5% atau NaCl 0,9% diberikan
selama 4 jam pertama. Selanjutnya selama 4 jam kedua, hanya diberikan cairan
dekstrose 5% atau NaCl 0,9%. Setelah itu, diberikan kina dengan dosis
pemeliharaan 10 mg/kg bb dalam larutan 500 mL dekstrose 5% atau NaCl selama 4
jam. Empat jam selanjutnya, hanya diberikan lagi cairan dekstrose 5% atau NaCl 0,9%.
Setelah itu diberikan lagi dosis pemeliharaan seperti di atas sampai penderita
dapat minum kina per oral. Bila pasien sudah sadar atau dapat minum obat,
pemberian kina intravena diganti dengan kina tablet per oral dengan dosis 10
mg/kg bb/kali, pemberian 3 kali sehari (dengan total dosis 7 hari dihitung
sejak pemberian infus kina yang pertama). Jika tidak memungkinkan pemberian
infus kina, maka dapat diberikan kina dihidroklorida 10 mg/kg bb secara
intramuskular dengan masing-masing setengah dosis pada paha depan kiri-kanan
(jangan diberikan pada pantat). Untuk pemakaian intramuskular, kina diencerkan
dengan 5-8 mL NaCl 0,9% untuk mendapatkan kadar 60-100 mg/mL.
Pada
anak, infus kina HCl 25% diberikan dengan dosis 10 mg/kg bb (bila umur < 2
bulan: 6-8 mg/kg bb) diencerkan dengan dekstrosa 5% atau NaCl 0,9% sebanyak
5-10 mL/kg bb diberikan selama 4 jam, diulang setiap 8 jam sampai
penderita sadar dan dapat minum obat.
Catatan: Kina tidak boleh diberikan
secara bolus intravena karena toksik bagi jantung dan dapat menimbulkan
kematian. Pada penderita gagal ginjal, dosis muatan tidak diberikan dan dosis
pemeliharaan diturunkan hingga setengahnya Pada hari pertama pemberian kina
oral, berikan primakuin denga dosis 0,75 mg/kg bb. Dosis maksimum kina pada
orang dewasa adalah 2000 mg/hari.
TERAPI PROFILAKSIS TERHADAP
MALARIA
PERLINDUNGAN TERHADAP GIGITAN NYAMUK
Hal yang terpenting untuk diingat adalah profilaksis
bersifat relatif dan tidak mutlak dan infeksi baru dapat saja terjadi walaupun
sudah menggunakan obat-obat yang direkomendasikan. Perlindungan pribadi
terhadap gigitan nyamuk sangat penting. Kelambu yang telah diimpregnasi dengan
permetrin dapat mencegah berbagai gigitan nyamuk. Selain itu, dapat juga
digunakan antinyamuk bakar, antinyamuk listrik dan antinyamuk semprot. Formula
Dietiltoluamid (DEET) dalam lotion, obat semprot atau roll on sangat
efektif dan tidak berbahaya jika digunakan pada kulit, tetapi efek
perlindungannya hanya beberapa jam. Gunakan baju lengan panjang dan celana
panjang setelah senja untuk melindungi terhadap gigitan nyamuk.
LAMANYA PROFILAKSIS
Profilaksis sebaiknya diberikan satu minggu
(sebaiknya dua setengah minggu bila menggunakan meflokuin) sebelum berkunjung
ke daerah endemis. Bila tidak memungkinkan, maka diberikan sesegera mungkin 1
atau 2 hari sebelum masuk daerah endemis. Pemberian profilaksis dilanjutkan
sampai 4 minggu setelah keluar dari daerah endemis. Oleh karena Plasmodium
falciparum merupakan spesies yang virulensinya tinggi maka profilaksis
terutama ditujukan pada infeksi spesies ini.
Sehubungan dengan laporan tingginya
tingkat resistensi Plasmodium falciparum terhadap
klorokuin, maka doksisiklin menjadi pilihan untuk kemoprofilaksis. Doksisiklin
diberikan setiap hari dengan dosis 2 mg/kg bb selama tidak lebih dari 4-6 minggu.
Doksisiklin tidak boleh diberikan kepada anak umur < 8 tahun dan ibu hamil.
Profilaksis untuk Plasmodium vivax dapat
diberikan klorokuin dengan dosis 5 mg/kg bb setiap minggu. Obat tersebut
diminum satu minggu sebelum masuk ke daerah endemis sampai 4 minggu setelah
kembali. Dianjurkan tidak menggunakan klorokuin tidak lebih dari 3-6 bulan.
Namun, pada mereka yang memerlukan profilaksis jangka panjang, klorokuin dapat
digunakan selama 5 tahun. Meflokuin dapat digunakan sampai 1 tahun. Doksisiklin
dapat digunakan sampai 2 tahun. Pertimbangan spesialis sebaiknya diperhatikan
pada profilaksis jangka panjang.
KEMBALI DARI DAERAH MALARIA
Penyakit yang timbul dalam satu tahun, terutama
dalam 3 bulan setelah kembali dari daerah malaria, sangat mungkin merupakan
malaria walaupun semua cara pencegahan telah dilaksanakan. Orang tersebut
sebaiknya diingatkan terutama bila sakit dalam tiga bulan setelah perjalanan,
agar segera mengunjungi dokter dan melaporkan kemungkinan paparan dengan
malaria.
ANAK
Usia kurang dari 1 tahun: ¼ tablet mengandung 150 mg klorokuin basa setara fosfat/sulfat; usia 1-4 tahun: ½ tablet klorokuin; usia 5-9 tahun: 1 tablet; usia10-14 tahun: 1 ½ tablet klorokuin; usia >15 tahun: 2 tablet klorokuin sebagai dosis tunggal klorokuin dengan frekuensi 1 kali seminggu.
Usia kurang dari 1 tahun: ¼ tablet mengandung 150 mg klorokuin basa setara fosfat/sulfat; usia 1-4 tahun: ½ tablet klorokuin; usia 5-9 tahun: 1 tablet; usia10-14 tahun: 1 ½ tablet klorokuin; usia >15 tahun: 2 tablet klorokuin sebagai dosis tunggal klorokuin dengan frekuensi 1 kali seminggu.
Catatan: walaupun obat antimalaria
diekskresi ke air susu, jumlahnya sangat bervariasi, sehingga pemberian
profilaksis untuk bayi yang masih menyusui tetap diperlukan.
EPILEPSI
Klorokuin dan meflokuin tidak dianjurkan untuk pasien epilepsi. Bila ada resistensi klorokuin, dapat dipertimbangkan pemberian doksisiklin tapi metabolismenya dapat dipengaruhi oleh obat-obat anti epilepsi..
Klorokuin dan meflokuin tidak dianjurkan untuk pasien epilepsi. Bila ada resistensi klorokuin, dapat dipertimbangkan pemberian doksisiklin tapi metabolismenya dapat dipengaruhi oleh obat-obat anti epilepsi..
ASPLENIA
Individu dengan kondisi asplenik (atau orang yang mengalami disfungsi splenik berat) mempunyai risiko yang besar untuk mengalami penyakit malaria yang parah. Jika perjalanan ke daerah endemik malaria tidak terhindarkan, individu tersebut sebaiknya sangat berhati-hati dan melakukan tindakan pencegahan yang tepat agar terhindar dari penyakit malaria.
Individu dengan kondisi asplenik (atau orang yang mengalami disfungsi splenik berat) mempunyai risiko yang besar untuk mengalami penyakit malaria yang parah. Jika perjalanan ke daerah endemik malaria tidak terhindarkan, individu tersebut sebaiknya sangat berhati-hati dan melakukan tindakan pencegahan yang tepat agar terhindar dari penyakit malaria.
GANGGUAN FUNGSI GINJAL
Klorokuin hanya diekskresi secara parsial melalui
urin sehingga pengurangan dosis untuk profilaksis tidak diperlukan kecuali pada
pasien dengan gangguan fungsi berat. Meflokuin lebih tepat digunakan pada gangguan
fungsi ginjal dan tidak memerlukan pengurangan dosis. Doksisiklin juga
merupakan pilihan yang tepat. KEHAMILAN. Perjalanan menuju daerah endemik
malaria sebaiknya dihindari selama kehamilan. Jika perjalanan tersebut tak
terhindarkan, harus dilakukan profilaksis yang efektif. Klorokuin pada dosis
lazim dapat diberikan di daerah dimana Plasmodium falciparum masih
sensitif. Pada daerah dimana resistensi pada klorokuin sudah terjadi,
penggunaan meflokuin dapat dipertimbangkan walau sebenarnya tidak dianjurkan.
Doksisiklin dikontraindikasikan pada kehamilan.
Obat malaria dan antibiotik yang dipakai dalam
program pemberantasan malaria adalah
- Amodiakuin. Tablet amodiakuin 200 mg dari basa setara hidroklorid atau 153,1 mg dari basa setara klorohidrat.
- Artesunat. Tablet natrium artesunat 50 mg atau injeksi intramuskular/intravena 60 mg natrium artesunat dalam 1 mL larutan injeksi.
- Primakuin. Tablet 15 mg primakuin basa.
- Klorokuin. Tablet 150 mg klorokuin basa setara fosfat atau sulfat.
- Kina. Tablet 200 mg kina basa setara 20 mg bentuk garam atau injeksi kina HCl 25% berisi 500 mg basa dalam ampul 2 mL (250 mg basa/mL).
- Doksisiklin. Kapsul dan tablet mengandung 100 m g doksisiklin garam setara hidroklorid.
- Tetrasiklin. Kapsul dan tablet 250 mg tetrahidroklorid setara dengan 231 mg tetrasiklin basa.
Monografi:
ARTEMETER
Indikasi:
pengobatan malaria berat termasuk malaria Plasmodium
falciparum yang resisten terhadap klorokuin.
Peringatan:
jangan melebihi dosis yang direkomendasikan,
pemberian intramuskular dianjurkan pada pengobatan darurat pasien dengan
malaria parah.
Interaksi:
hindari pemberian bersama dengan obat yang
memperpanjang interval QT seperti eritromisin, terfenadin, astemizol, probukol,
antiaritmia kelas 1a (kuinidin, prokainamid, disopiramid), antiaritmia kelas
III (amiodaron, bretilium), bepridil, sotalol, antidepresan trisiklik,
neuroleptik tertentu dan fenotiazin.
Kontraindikasi:
hipersensitivitas, trimester pertama kehamilan,
kecuali manfaat lebih besar daripada risikonya dan tidak ada alternatif antimalaria
lain; riwayat aritmia, bradikardia yang secara bermakna klinis, dan gagal jantung kongestif yang diikuti dengan penurunan fraksi pemompaan ventrikular
kiri; riwayat keluarga meninggal tiba-tiba atau perpanjangan interval QT
kongenital; menyusui.
Efek Samping:
demam (transient low fever),
retikulositopenia, peningkatan SGOT, aritmia, nyeri perut, anoreksia, diare,
mual, muntah, palpitasi, batuk, sakit kepala, pusing, gangguan tidur, asthenia,
arthralgia, myalgia, ruam, pruritus.
Dosis:
Injeksi intramuskular selama 5 hari. Dosis awal 3,2
mg/kg bb diikuti dengan 1,6 mg/kg bb selama 4 hari.Dosis untuk anak-anak atau
pasien kelebihan berat badan harus diturunkan atau dinaikkan berdasarkan berat
ideal di bawah pengawasan dokter.
ARTEMETER + LUMEFANTRIN
Indikasi:
pengobatan malaria Plasmodium falciparum akut
tanpa komplikasi pada orang dewasa, anak dan bayi dengan berat badan 5 kg atau
lebih.
Peringatan:
tidak diindikasikan untuk pencegahan,gangguan fungsi
hati dan ginjal yang berat; monitor pasien yang tidak dapat makan (resiko
kambuh lebih besar); menyebabkan pusing sehingga perlu hati-hati saat
mengemudi.
Interaksi:
lihat kontra indikasi; tidak disarankan diberikan
bersama dengan antimalaria lain karena data khasiat dan keamanan belum memadai.
Jika diberikan setelah pemberian kina atau meflokuin, lakukan monitoring asupan
makanan (untuk meflokuin) atau monitoring EKG (untuk kina). Pada pasien yang
sebelumnya mendapat halofantrin, obat tidak boleh diberikan lebih cepat dari 1
bulan setelah dosis halofantrin; pemberian bersama ketokonazol dan inhibitor
CYP3A4 lain memerlukan penyesuaian dosis, mengurangi efektivitas kontrasepsi
bila diberikan bersamaan.
Kontraindikasi:
hipersensitivitas; malaria berat; kehamilan
trimester pertama; riwayat keluarga mengalami kematian mendadak atau
perpanjangan interval QTc; gangguan keseimbangan elektrolit (hipokalemia,
hipomagnesia); riwayat aritmia jantung; pasien mengkonsumsi obat yang
dimetabolisme oleh enzim sitokrom CYP2D6 (flekainid, metoprolol, imipramin, amitriptilin,
klomipramin); pasien mengkonsumsi obat yang dapat memperpanjang interval QTc
(antiaritmia kelas IA dan III, neuroleptik, antidepresan, antibiotik
(makrolida, flurokinolon, imidazol, dan antifungi triazol), antihistamin
nonsedatif (terfenadin, astemizol, cisaprid); riwayat bradikardi, riwayat gagal jantung kongestif yang disertai pengurangan left ventricular ejection
fraction; menyusui.
Efek Samping:
sangat umum: sakit kepala, pusing, sakit
perut, anoreksia; umum: gangguan tidur, palpitasi, perpanjangan
interval QT, batuk, diare, mual, muntah, pruritus, ruam kulit, artralgia,
mialgia, asthenia, kelelahan; sangat jarang: hipersensitivitas,
ataksia, hipoestesia, clonus.
Dosis:
Oral. Untuk meningkatkan absorpsi, diminum bersama
makanan atau susu. Jika pasien muntah dalam waktu 1 jam, dosis harus diulang.
Cara pemberian pada anak dan bayi: tablet dapat digerus. Dosis diberikan selama
3 hari berdasarkan berat badan: ≥ 35 kg (Dewasa dan Anak diatas 12 tahun), 4
tablet 2 kali sehari; 25 kg - < 35 kg, 3 tablet 2 kali sehari; 15 kg - <
25 kg, 2 tablet 2 kali sehari; ≥ 5 kg - <15 kg, 1 tablet 2 kali sehari.
ARTESUNAT
Indikasi:
pengobatan malaria berat termasuk malaria Plasmodium
falciparum yang resisten terhadap klorokuin.
Peringatan:
suntikkan setelah melarut, jangan digunakan jika
terbentuk kekeruhan, tidak boleh diberikan sebagai infus. Lakukan pengobatan
selama 5 hari pada malaria falciparum yang resisten terhadap
klorokuin. Tidak direkomendasikan untuk diberikan pada wanita hamil, selama
menggunakan obat ini tidak diperbolehkan mengendarai atau menjalankan mesin.
Interaksi:
Pemberian bersama dengan meflokuin dapat
meningkatkan efek kuratif.
Kontraindikasi:
pasien dengan riwayat hipersensitivitas.
Efek Samping:
mual, muntah diare, pankreatitis, pusing,
berkunang-kunang, sakit kepala, insomnia, tinnitus, ruam, batuk, arthralgia.
Dosis:
oral: DEWASA dosis total 600-800
mg/hari harus diberikan selama 5-7 hari. ANAK dosis total 12 mg/kg BB harus
diberikan selama 5-7 hari. Injeksi: dosis awal 2,4 mg/kg BB per
i.v, selanjutnya dengan dosis yang sama diberikan pada jam ke-12 dan jam ke-24.
Pada hari ke 2 sampai dengan ke 5 diberikan 2,4 mg/kg BB per 24 jam.
ARTESUNAT + AMODIAQUIN
Indikasi:
Pengobatan malaria falsiparum pada daerah di
mana Plasmodium falciparum telah dinyatakan resisten dengan
pengobatan kloroquin.
Interaksi:
Tidak direkomendasikan untuk diberikan bersama obat
penghambat sitokrom CYP2A6 (seperti metoksalen, pilokarpin, tranilcipromin)
dan/atau CYP2C8 (seperti trimetoprim, ketokonazol, ritonavir, sakuinavir,
lopinavir, gemfibrozil, montelukast). Bersama magnesium trisilikat dan kaolin
dapat menurunkan absorbsi amodiakuin pada saluran pencernaan.
Kontraindikasi:
hipersensitivitas, riwayat gangguan hati dan/atau
darah selama pengobatan dengan amodiakuin, retinopati (kasus pengobatan
berulang).
Efek Samping:
Artesunat: efek samping yang dilaporkan
dalam uji klinik adalah penurunan eritrosit retikuler, peningkatan SGPT dan
BUN, mual, sakit kepala, sinus bradikardi (>50 denyut/menit), efek diuretik
yang reversibel, hemolobulinuri makroskopik, jaundice, oligouri, penurunan
kadar gula darah, kejang, perdarahan, sepsis, edema, paru-paru, penurunan kadar
laktat plasma, cardiorespiratory arrest, irrectable hypotension,
pendarahan saluran cerna, black water fever, ulnar/median palsy,
infeksi saluran urin oleh Klebsiella sp., pneumoni,
herpes zoster dan erythematous urticarial rash.
Amodiaquin: efek samping ringan sampai sedang adalah nyeri abdomen, mual, muntah, sakit kepala, pusing, penglihatan kabur, kelemahan mental dan fisik serta kelelahan. Efek samping berat berupa gatal, abnormalitas kardiovaskular, diskinesia, kerusakan okuler, gangguan syaraf, dan kehilangan pendengaran. Juga dilaporkan terjadinya agranulositosis, hepatitis, dan neuropati periferal.
Amodiaquin: efek samping ringan sampai sedang adalah nyeri abdomen, mual, muntah, sakit kepala, pusing, penglihatan kabur, kelemahan mental dan fisik serta kelelahan. Efek samping berat berupa gatal, abnormalitas kardiovaskular, diskinesia, kerusakan okuler, gangguan syaraf, dan kehilangan pendengaran. Juga dilaporkan terjadinya agranulositosis, hepatitis, dan neuropati periferal.
Dosis:
Oral, Artesunat 50 mg adalah 4mg/kgBB sehari
sehingga dosis total selama 3 hari adalah 12 mg/kgBB. Oral, Amodiaquin 200 mg
adalah 10 mg/kg BB sehari sehingga dosis total selama 3 hari adalah 25-35
mg/kgBB. Dosis per hari berdasarkan kelompok umur: 1-4 tahun, masing-masing 1
tablet artesunat dan amodiakuin; 5-9 tahun, masing-masing 2 tablet artesunat
dan amodiakuin; 10-14 tahun: masing-masing 3 tablet artesunat dan amodiakuin;
dewasa dan anak (> 15 tahun), masing-masing 3 tablet artesunat dan
amodiakuin.
DIHIDROARTEMISININ + PIPERAKUIN
(DHP)
Indikasi:
Pengobatan malaria P. falciparum dan/atau P.
vivax tanpa komplikasi.
Peringatan:
hamil dan menyusui, penyakit hati dan ginjal,
penggunaan obat malaria lainnya, wanita lansia atau muntah.
Interaksi:
hindari pemberian bersama obat yang dapat
memperpanjang interval QTc (misal: meflokuin, halofantrin, lumefantrin,
klorokuin, atau kina).
Kontraindikasi:
hipersensitivitas, malaria berat, riwayat aritmia
atau bradikardia (penyakit jantung), riwayat keluarga meninggal tiba-tiba,
risiko perpanjangan interval QT kongenital, ketidakseimbangan elektrolit,
mengkonsumsi obat yang mempengaruhi denyut jantung.
Efek Samping:
umum: anemia, sakit kepala,
perpanjangan interval QTc, takikardia, astenia, pireksia, konjungtivitas, tidak
umum: anoreksia, pusing, kejang, gangguan konduksi jantung, sinus aritmia,
bradikardia, batuk, mual,muntah, nyeri lambung, diare, hepatitis, hepatomegali,
uji fungsi hati yang abnormal, pruritus, ruam kulit, artalgia, mialgia.
Dosis:
Dosis selama 3 hari, berdasarkan berat badan:
5 kg (0-1 bulan): ¼ tablet/hari; 6-10 kg (2-11 bulan): ½ tablet/hari; 11-17 kg
(1-4 tahun): 1 tablet/hari; 18-30 kg (5-9 tahun): 1 ½ tablet/hari; 31-40 kg
(10-14 tahun): 2 tablet/hari; 41-59 kg (≥ 15 tahun): 3 tablet/hari; ≥ 60 kg (≥
15 tahun): 3 tablet/hari. Jangan hentikan pengobatan sebelum 3 hari, meskipun
gejala telah hilang.
KINA
Indikasi:
malaria falsiparum; nocturnal leg cramp.
Peringatan:
fibrilasi atrium, gangguan konduksi, blokade
jantung, kehamilan. Periksa kadar gula darah selama pemberian parenteral;
defisiensi G6PD; hindarkan penggunaan bersama halofantrin.
Interaksi:
kina
Kontraindikasi:
hemoglobinuria, neuritis optic, miastenia gravis.
Efek Samping:
sinkonisme, termasuk tinitus, sakit kepala, rasa
panas di kulit, mual, sakit perut, gangguan penglihatan (termasuk buta
sementara), bingung; reaksi alergi, termasuk angio udem, gangguan darah
(termasuk trombositopenia dan koagulasi intravaskuler), gagal ginjal akut,
hipoglikemia (terutama sesudah pemberian parenteral), gangguan kardiovaskuler;
sangat toksik pada overdosis.
Dosis:
lihat keterangan di atas.
Catatan:
kina (basa anhidrida) 100 mg= kina bisulfat 169
mg=kina dihidroklorida 122 mg=kina sulfat 121 mg. Tersedia juga tablet
kina bisulfat 300 mg, tapi memberikan jumlah kina yang lebih sedikit
dibanding kina dihidroklorida, hidroklorida atau sulfat.
MEFLOKUIN
Indikasi:
profilaksis dan pengobatan malaria akut ringan sampai
sedang P. Falcifarum atau P. vivax, temasuk
profilaksis P. Falcifarum yang resisten klorokuin.
Peringatan:
kehamilan terutama trimester pertama (Disarankan
untuk menunda kehamilan selama penggunaan meflokuin sampai 3 bulan sesudahnya),
menyusui, profilaksis pada gangguan fungsi hati yang serius, gangguan konduksi
jantung; epilepsi (hindari untuk profilaksis), bayi di bawah 3 bulan (berat
badan 5 kg), PERHATIAN BAGI PENGENDARA. Selama minum obat ini tidak boleh
mengendarai kendaraan bermotor atau menjalankan mesin (efek dapat berlangsung
sampai 3 minggu), gangguan fungsi ginjal.
Kontraindikasi:
hipersensitif, profilaksis malaria pada riwayat
gangguan neuropsikiatri termasuk depresi, konvulsi, gangguan skizofrenia atau
gangguan kejiwaan lainnya.
Efek Samping:
mual, muntah, diare, sakit perut; pusing, vertigo,
hilang keseimbangan, sakit kepala, gangguan tidur (insomnia, mengantuk, mimpi
buruk); kecemasan, reaksi neuropsikiatri (termasuk neuropati sensoris dan
motoris, tremor, ansietas, depresi, panik, halusinasi, agitasi, kejang,
psikosis, paranoid); tinitus, gangguan vestibuler; gangguan penglihatan,
gangguan sirkulasi (hipotensi dan hipertensi), flushing; takikardi, bradikardi,
palpitasi, gangguan konduksi jantung, kelemahan otot, mialgia, artralgia, udem,
ruam, gatal, urtikaria, pruritus, alopesia, gangguan fungsi hati, astenia,
malaise, demam, nafsu makan hilang, leukopenia dan leukositosis, anemia
aplastik, trombositopenia; jarang terjadi sindrom Stevens-Johnson,
blok AV, ensefalopati dan anafilaksis.
profilaksis malaria: dimulai 2 ½ minggu sebelum
memasuki dan dilanjutkan sampai 4 minggu sesudah meninggalkan daerah endemis
malaria. DEWASA dan ANAK di atas 45 kg, 250 mg tiap minggu. BB 6-16 kg, 62,5 mg
tiap minggu; BB 16-25 kg, 125 mg tiap minggu; BB 25-45 kg, 187,5 mg tiap
minggu. Pengobatan malaria: DEWASA: 5 tablet (1250mg) meflokuin dalam dosis
tunggal oral. ANAK: >15 kg atau diatas 2 tahun: 20-25 mg/kg dalam dosis
tunggal atau dua dosis dibagi 6-8 jam terpisah.
PIRIMETAMIN
Indikasi:
malaria (tapi hanya digunakan dalam kombinasi dengan
sulfadoksin atau dapson).
Peringatan:
gangguan fungsi hati atau ginjal; kehamilan;
menyusui. Untuk penggunaan jangka panjang perlu hitung jenis sel darah;
hindari loading dose yang tinggi jika punya riwayat kejang.
Efek Samping:
depresi sistem hematopoesis pada dosis besar; ruam,
insomnia.
Dosis:
untuk malaria, tidak disebutkan karena tidak
direkomendasikan untuk diberikan tunggal.
SULFADOKSIN + PIRIMETAMIN
Indikasi:
terapi tambahan untuk kina untuk pengobatan
malaria Plasmodium falsiparum; tidak dianjurkan untuk profilaksis.
Peringatan:
lihat Pirimetamin dan Kotrimoksazol; kehamilan dan
menyusui; tidak direkomendasikan untuk profilaksis (efek samping yang parah
pada penggunaan jangka panjang).
Kontraindikasi:
lihat Pirimetamin dan Kotrimoksazol; alergi
sulfonamid.
Efek Samping:
lihat Pirimetamin dan Kotrimoksazol (dan tabel yang
berkaitan di atas); infiltrat paru (misalnya alveolitis alergi atau eosinofilik).
Hentikan obat bila timbul batuk atau napas berat.
Dosis:
Terapi, lihat keterangan di atas; Profilaksis, tidak
direkomendasikan.
PRIMAKUIN
Indikasi:
Tambahan untuk terapi Plasmodium vivax dan P.
ovale, dan gametosidal pada malaria falciparum,
eradikasi stadium hepar.
Peringatan:
anemia, methemoglobinemia, leukopenia, lansia.
Kontraindikasi:
hipersensitif, reumatoid artritis dan lupus
eritematosus, terapi obat yang dapat menyebabkan hemolisis dan depresi sumsum
tulang, anak <4 tahun, defisiensi G6PD dan NADH, penggunaan kuinakrin.
Efek Samping:
mual, muntah, anoreksi, sakit perut,
methemoglobinemia, anemia hemolitik terutama pada defisiensi G6PD, leukopenia.
Dosis:
pencegahan kambuh dan menularnya malaria vivax dan
ovale : 0,25 mg/kgBB untuk 14 hari. Sebagai efek gametosidal pada malaria
falciparum : dosis tunggal 0,75 mg/kgBB (dewasa 45 mg), dosis yang sama diulang
1 minggu terakhir.
Pengobatan Black Water Fever atau malaria dengan hemoglobinuria
1. Perawatan umum
- Istirahat total di tempat tidur.
- Rehidrasi (lihat rehidrasi pada syok dengan hipovolemia sebelumnya).
- Transfusi darah (lihat darah yang telah dijelaskan sebelumnya).
- Hemolisis: diberikan prednisolon sulfat 10-20 mg/jam sampai 40-60 mg/hari.
- Gangguan ginjal: pertolongan pertama sama seperti yang telah dijelaskan terdahulu. Bila ureum darah mendekati 33 mol/l, pasien perlu didialisis. Pemberian diuretik atau alkalisasi darah merupakan kontraindikasi.
2. Pengobatan spesifik
- Bila ditemukan parasit dalam darah, harus segera diobati dengan klorokuin (dosis sama seperti malaria berat lain), atau obat-obat sintetis lainnya.
- Pemakaian kina merupakan kontraindikasi.
- Rekrudesensi dapat dicegah bila pasien yang telah sembuh diobati secara radikal dan dilanjutkan dengan pengobatan profilaksis.
Prognosis
Malaria vivaks, prognosis biasanya baik, tidak menyebabkan kematian. Jika
tidak mendapat pengobatan, serangan pertama dapat berlangsung selama 2 bulan
atau lebih. Malaria malariae, jika tidak diobati maka infeksi dapat berlangsung
sangat lama. Malaria ovale dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan. Malaria
falsiparum dapat menimbulkan komplikasi yang menyebabkan kematian.
Kata Kunci Pencarian : Malaria, Infeksi Tropik, Referat, Makalah, Artikel, Jurnal, Tesis, Skripsi, Desertasi, Karya Tulis Ilmiah, SKP (Satuan Kredit Profesi), Kompetensi, pdf, word, .pdf, .doc, .docx, Ilmu Penyakit Dalam, Parasit, Parasitolog, Disertasi, Refrat, modul BBDM, Belajar Bertolak Dari Masalah, Problem Based Learning, askep (asuhan keperawatan)
Kata Kunci Pencarian : Malaria, Infeksi Tropik, Referat, Makalah, Artikel, Jurnal, Tesis, Skripsi, Desertasi, Karya Tulis Ilmiah, SKP (Satuan Kredit Profesi), Kompetensi, pdf, word, .pdf, .doc, .docx, Ilmu Penyakit Dalam, Parasit, Parasitolog, Disertasi, Refrat, modul BBDM, Belajar Bertolak Dari Masalah, Problem Based Learning, askep (asuhan keperawatan)
0 comments:
Posting Komentar